a. Pengertian
Secara etimologi, takwil berasal dari kata “al-aul” yang artinya “kembali”.(ada juga yang berpendapat berasal dari kata “awwala” yang artinya “pertama”). Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa takwil itu sinonim (murodlif) dari kata tafsir. Seorang pengarang kamus mengatakan; “seseorang menakwilkan ucapan dengan satu takwil, artinya ia merenungkan, memperkirkan, dan menafsirkannya”.
Takwil juga bisa berarti “memalingkan”. Maka takwil berarti memalingkan ayat pada satu makna yang tercakup dalam pengertian ayat yang mungkin mempunyai beberapa pengertian.
Sedangkan secara terminologi, para ahli tafsir berbeda pendapat dalam membumikan definisi takwil. Ulama mutaqaddimin berpendapat bahwa takwil merupakan sinonim dari tafsir, sehingga hubungan (nisbat) diantara keduanya adalah sama. Sementara takwil menurut ulama mutaakhkhirin adalah: memalingkan dan mengarahkan makna lafadz yang kuat atau rajih kepada makna yang lemah atau marjuh, karena ada dalil yang menyertainya.
Secara sederhana, takwil dapat dikatakan sebagai pengertian tersirat yang diproses atau istinbath dari ayat-ayat al-Qur’an, yang memerlukan perenungan, dan pemikiran (pertimbangan), serta sebagai sarana pembuka tabir.
b. Hubungn antara takwil dan teks.
Melihat pengertian dari takwil, maka tentu metode takwil muncul karena adanya teks, terlebih lagi karena adanya ke-tidaknyaman-an atas pemaknaan teks yang sudah ada oleh para pemikir klasik.
Takwil berhubungan erat dengan teks melalui bahasa dan gramatikal kata perkata untuk membentuk makna semantis. Takwil tidak mempermasalahkan bagaimana dan mengapa teks itu muncul (konsep historis) tapi takwil lebih mengutamakan bagaimana agar teks itu dapat berjalan sempurna bersama makna hakikinya, kini, esok, dan seterusnya, sesuai dengan realitas yang ditembusnya.
Menurut definisi kontemporer, teks adalah serangkai tanda-tanda yang tersusun di dalam suatu sistem relasi-relasi, yang menghasilkan makna umum yang mengandung pesan, baik tanda-tanda tersebut menggunakan bahasa –kata-kata- maupun merupakan tanda-tanda dengan menggunakan bahasa lainnya.. Tanda-tanda inilah yang menjadi bahan olah atas takwil. Kemudian tanda-tanda yang bersifat implisit ini diolah dengan pendekatn linguistik, hingga terpaut antara makna disetiap kata, dan memunculkan pesan yang dapat dimengerti. Berbeda dengan metode tafsir, yang diharuskan selalu menengok kebelakang (asal-usul adanya teks) dalam setiap langkah kedepan (relitas kontemporer), takwil lebih memandang –hingga jauh- kedepan dengan ideologi modern, walau juga dengan membandingkan antara prespektif budaya saat penulisan teks dengan masa kekinian, bahkan masa depan.
c. Penerapan Takwil terhadap teks al-Qur’an
Di masa kehidupan Rasulullah SAW. beliaulah layaknya al-Qur’an/ wahyu yang hidup dan berbicara. Apapun bentuk kegelisahan ummat dalam mengerti wahyu Tuhan dapat terjawab oleh Nabi sendiri. Tapi kemudian setelah kepergian beliau (karena telah “sempurna’ wahyu serta agama yang menjadi tugas dakwah beliau –walau masih banyak ummat yang belum dapat mengerti-, tepatnya setelah selesainya penyusunan mushaf al-Qur’an, pesan Tuhan seakan kembali tersembunyi di balik mushaf (budaya). Maka di sinilah mulai bermunculan berbagai metode dari para mujtahidun untuk –mencoba- mengungkap kembali pesan Tuhan, dengan satu-satunya bahan, yaitu teks (Mushaf ‘Utsmany).
Takwil adalah salah satu metode yang dipilih, dengan cara menganalisis kata per kata dari setiap ayatnya melalui pendekatan yang ketat dari segi bahasa dan budaya. Tetapi tidak semua ayat di-takwil-kan. Takwil lebih memfokuskan pada ayat-ayat mutasyabihat.
Boleh dikatakan, bahwa ini juga adalah bentuk ijtihad yang mempunyai tujuan mulia, walau berbeda dengan metode yang ditempuh oleh kebanyakan ulama, terutama tradisional. Mereka (ulama’ tradisional) menyerukan bahwa, jika menemui permasalahan apapun yang terkait dengan pemaknaan al-Qur’an, maka diselesaikan –hanya- dengan tafsirnya saja. Menurut kajian filsafat kontemporer hal ini disebut strukturalisme. Kaum inilah yang pada umumnya menolak metode takwil atas al-Qur’an.
Sedangkan yeng lebih condong menggunakan metode takwil atas al-Qur’an adalah kaum liberalis. Memaknai kembali (reinterpretasi) pada ayat-ayat al-Qur’an mereka gencarkan dengan sikap desakraliasi pada wujud al-Qur’an. Menurut mereka, dari segi eksistensi al-Qur’an sama dengan karya-karya ilmiah yang lain. Tapi dari segi pesan, mereka mengakui bahwa al-Qur’an memang lebih unggul daripada yang lain. Mereka mengupayakan agar al-Qur’an langsung dirasakan oleh siapapun yang ingin mengkajinya (bukan merasakan kitab tafsir, apalagi buku-buku bacaan lain).
Didalam al-Qur’an kata takwil mencakup penakwilan makanan/ ta’wil ath-tha’am (QS. Yusuf : 37), penakwilan perbuatan-perbuatan/ ta’wil al-af’al (QS. Al-kahfi: 78), penakwilan al-Qur’an, atau ancaman, dan penaklukan di dalamnya (QS. Yunus: 39), dan penakwilan ayat-ayat mutasyabihat (QS. Ali ‘imran: 7). Namun demikian, Nasr Hamid menyatakan dalam bukunya bahwa penakwilan ayat mutasyabihat harus dikembalikan pada ayat-ayat muhkamat yang merupakan ‘induk kitab’(ummu al-kitab). Jadi ayat-ayat muhkamat diyakinkan mampu menjelaskan ayat-ayat mutasyabihat. Inilah takwil yang absah dan takwil lainnya tercela lantaran merupakan hawa nafsu, pendapat pribadi, dan kepentingan subyektif.
Nasr Hamid menyatakan bahwa interpretasi adalah wajah lain dari teks. Tapi dalam segi yang lain teks mempunyai eksistensi yang terlepas dari interpretasi dan komentar, sehingga teks mengarahkan tindak interpretasi untuk menguak dunia teks itu sendiri. Interpretasi dan teks adalah dua sisi dari satu mata uang.
Teks al-Qur’an telah ditundukkan pada interpretasi sejak masa pewahyuannya. Muhammad adalah penafsir yang pertama yang melalui dialah al-Qur’an untuk pertama kalinya berinteraksi dengan fikiran manusia..
Kemudian untuk perkembangan interpretasi al-Qur’an selanjutnya para ilmuan muslim biasanya menggunakan tiga macam metode utama: Interpretasi tekstual (tafsir bi al-ma’tsur/ tafsir bi al-riwayah), interpretasi rasional (tafsir bi al-ra’yi/ tafsir bi al-dirayah), dan interpretasi intuitif atau menghunakan indikasi tanda-tanda (tafsir isy’ari).
d. Kebenaran Yang Relatif
Dalam wacana ilmiah, al-Qur’an adalah buku yang melambangkan 損engetahuan dalam bentuk grand teks, yang memperkenalkan dirinya dalam beberapa kategori, yaitu; al-Qur’an mempertunjukkan dirinya sebagai petunjuk manusia (hudan); QS. al-Baqarah: 2, lalu sebagai sinar yang menerangi (nur); QS. al-Nisa’: 174, sebagai kasih (rahmat); QS. Yunus: 58, sebagai penengah (hakim); QS. Yunus: 1, sebagai ilmu; QS. al-Ra’d: 37, dan lain sebagainya, sehingga al-Qur’an pada akhirnya jatuh menjadi kitab yang ambique dan berkarakter ambivalensi (mendua)-dengan sudut pandang intern dan ekstern.
Artinya bahwa al-Qur’an bila dipandang oleh setiap orang dengan masing-masing tingkat kecerdasannya, akan menghasilkan corak pemikiran yang beragam. Termasuk apabila menggunakan cara pandang dan methodologi yang sama.
Maka pengakuan kebenaran suatu makna dari al-Qur’an dalam suatu permasalahan, akan dapat dikatakan sebagai kesalahan jika ditempatkan di permasalahan yang lain, menurut konteks yang ada pada saat itu. Inilah kebenaran relatif makna al-Qur’an, atas paradikma bahwa al-Qur’an itu manusiawi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Abu Zaid, Nasr Hamid, Teks Otoritas kebenaran, 1995
2. Dr. Machasin MA., Al-Qadi Abd Al-Jabbar. Mutasyabih al-Qur’an: Dalih Rasionalitas al-Qur’an, 2000
3. Haryono, M. Yudhie R., Bahasa Politik Al-Qur’an. Mencurigai Makna Tersembunyi di Balik Teks, 2002
4. Kamus al-Munawwir, 厖..
5. Ichwan, Moch. Nur, Meretas Kesarjanaan Kritis Al-Qur’an. Teori Hermeneutika Nasr Abu Zaid, 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar