Jumat, Desember 04, 2009

FILSAFAT IBNU SINA vs TEOLOGI AL-GHAZALI


Telah dimaklumi bahwa pemikiran filsafat produk barat begitu "berhasil" mempengaruhi dunia sorban. Kendati demikian, para filsuf muslim tentunya tidak begitu saja menerima hasil “ijtihat” para filsuf barat, tanpa dengan pagar paradigma pribadi (yang tentunya lebih islami). Melalui proses pemikiran yang panjang, dengan pengolahan interpretasi secara matang.

Setelah dunia islam -juga- berhasil memunculkan tokoh-tokoh filsuf terkemuka, dan mereka menuangkan ekspresi pemikiran itu di beberapa kitab, maka menjadi jelaslah letak perbedaan gaya filofistik antar ulama. Karena memang, kebebasan berfikir menjadi suatu hal yang lumrah dikala itu (tidak seperti zaman sekarang). Sehingga jika terjadi suatu pertentangan atau bahkan perdebatan dikalangan pemikir, itu menjadi hal yang wajar. Semua itu demi membentuk pondasi awal yang ditetapkan sebelum melangkah lebih besar ke tahap pembelajaran selanjutnya.

Salah satu bentuk pertentangan di dunia filsuf muslim adalah pertentangan tinta antara filsuf ibnu Sina dan teologi al-Ghazali yang menjadi pengaruh besar bagi generasi setelahnya, bahkan dikalangan pemikir barat.

Ibnu Sina (yang juga sangat dikenal di dunia kedokteran) mendapat pencerahan tentang pelajaran filsafat terutama dari ajaran Aristoteles. Tetapi saat itu ibnu Sina kurang begitu menangkap makna dari ajaran filsuf barat itu. Kemudian, setelah ibnu Sina membaca kitab Agradhu kitab ma waraid tabi’at li li Aristho karangan al-Farabi, ia mulai mendapat penjelasan dan jawaban-jawaban yang ia cari. Maka al-Farabi juga sebagai guru dari ibnu Sina, yang tentunya sama-sama “mengidolakan” Aristoteles.

Secara ringkas, filsafat ibnu Sina terbagi menjadi tiga bagian; filsafat jiwa, filsafat wujud, dan filsafat wahyu dan Nabi. Seperti halnya al-Farabi, ibnu Sina menyetujui adanya konsep Emanasi (al-faidh), yang telah diperkenalkan oleh Aristoteles. Yaitu paham pancaran, yang bersumber dari satu titik, yaitu Tuhan. Tuhan sebagai satu-satunyan yang berwujud memancarkan kepada selainNya, sehingga selainNya menjadi berwujud. Dalam arti bahwa, wujud Tuhan melimpahkan wujud alam semesta.

Menurut ibnu Sina, tidak ada sifat banyak dari Tuhan. Tuhan tidak berhubungan/langsung menangani alam yang mempunyai banyak unsur ini. Tuhan terlalu "rendah" jika harus pula mengurusi hal-hal yang remeh, yang sebenarnya bisa ditangani oleh pihak yang sebagai pancaranNya. Karena jika hal itu terjadi, maka dalam pemikiran Tuhan terdapat banyak pikiran. Maka akan merusak Tauhid. Menurutnya, Allah-lah dzat yang memberikan wujud kekal pada segala yang ada. Tuhan berpikir tentang diriNya, itulah ilmu Tuhan, yang berposisi sebagai hakikat ilmu, yang kemudian menciptakan akal pertama (malaikat tertinggi). Kemudian akal pertama itulah yang memunculkan akal kedua, hingga akal ke sepuluh (jibril), yang mengatur bumi.

Ini artinya, setiap akal dapat menjadi "hidup sendiri", terlepas dari Tuhan. Tuhan hanya sebatas mengetahuinya. Maka menurut ibnu Sina, akal pertama (dan seterusnya) mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah (yang juga berwujud wajib), dan sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat dirinya (karena dirinya bukan Tuhan).

Al-Ghazali mengkritik keras hasil interpretasi ibnu Sina itu. Menurut al-Ghazali, ada 12 poin yang muncul dari filsafat ibnu Sina, yang dapat mengarah pada kekafiran, yaitu: alam yang qadim (tidak bermula), alam kekal (tidak berakhir), Tuhan tidak mempunyai sifat, Tuhan tidak diberi sifat jenis (al-jins) dan diferensia (al-fashl), Tuhan tidak punya hakikat (mahiyah), Tuhan tidak mempunyai juz'iyat (perincian yang ada di alam), planet-planet bergerak dengan kemauannya sendiri, jiwa-jiwa planet mengetahui juz'iyat, hukum alam tidak berubah, jiwa manusia adalah substansi yang berdiri sendiri, mustahilnya kehancuiran jiwa manusia, dan tidak adanya pembangkitan jasmani dari kubur.

"kegeraman"nya itu ia tuangkan dalam kitabnya, tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsuf), tanggapan al-Ghazali terhadap para filsuf (termasuk ibnu Sina). Ia berpendapat bahwa yang qadim hanyalah Allah. Karena jika selainNya juga qadim maka akan menyebabkan dua hal:

1. Akan banyak hal yang Qadim. Dan itu jelas syirik besar yang tak terampuni.

2. Atheisme, alam yang qadim tidak memerlukan penciptanya.

Melihat cara berfikir al-Ghazali, ia lebih tepat disebut sebagai teolog, bukan filsuf. Dan memang antara kaum filsuf dan kaum teolog terdapat perbedaan mendasar mengenai arti dari al-ihdats dan Qadim. Bagi kaum teolog, al-ihdats berarti mencipktakan dari "tidak ada" (creatio ex nihilo). Sedangkan bagimkaum filsuf, betrarti menciptakan deri "ada".

Pertentangan dari al-Ghazali terhadap ibnu Sina ini ramai diperbincangkn pemikir setelahnya. Sayangnya, perdebatan itu hanya terjadi melalui tinta. Ibnu Sina tidak sempat bertemu dengan al-Ghazali karena perbedaan zaman. Padahal sangat kita harapkan ibnu Sina dapat memberi jawaban atas kritikan-kritikan dari al-Ghazali itu. Tapi walau demikian, kemudian muncul seorang pemikir yang berani mengkritik balik pendapat al-Ghazali. Dia dikenal dengan nama ibnu Rusyd, yang menulis kitab Tahafut tahafut al-Falasifah (kekacauan kitab tahafut al-Falasifah). Karena hal ini, perdebatan tetap berjalan panjang, bahkan hingga saat ini.

Senin, November 16, 2009

PENGARUH FILSAFAT PLATO DAN ARISTOTELES TERHADAP THEOLOGI ISLAM

Berbagai macam paradigma muncul dari para pendahulu kita dalam menanggapi sebuah kehidupan dan keadaan. Mereka tetap aktif dengan berbagai pemikiran dan argumen walaupun tanpa kemampuan untuk mengungkap dengan sebuah pembuktian secara ilmiah.

Secara umum, hasil pemikiran itu terbagi menjadi tiga kelompok besar; yaitu ranah filosofistik, sufistik, dan normatif. Ketiganya itu mempunyai alur masing-masing yang berbeda dan memunculkan tokoh-tokoh yang berbeda pula. Tetapi, seiring dengan perjalanan ilmu pengetahuan yang semakin pesat, ketiga bentuk pemikiran itu menjadi mungkin untuk dipadukan, yang kemudian pada gilirannya melahirkan bentuk pemikiran baru yang tentunya juga mempunyai taraf relefansi tersendiri.

Bentuk pemikiran pada ranah filosofistik memunculkan banyak tokoh terkemuka. Diantaraya adalah Plato dan Aristoteles. Sebagaimana yang lain, pemikiran mereka tidak terbatasi oleh pengaruh komunitas apapun, termasuk agama, khususnya islam. Bahkan tentunya mereka belum pernah sempat mengenal agama islam. Tetapi tanpa terpungkiri, jasa dari pemikiran mereka dapat memberikan sumbangan besar bagi pemikir-pemikir muslim yang resah dengan ketidakpuasan atas doktrin. Kemudian menjadi suatu kajian atau bahkan penuntun untuk menggali lebih dalam hakikat dari kehidupan dan penentuan sikap dalam memahami al-Qur’an.

Pada abad 8 dan 9 karya-karya kedua filsuf itu mulai diterjemahkan kedalam bahasa arab. Ini merupakan salah satu sebab dari munculnya filsuf-filsuf arab yang begitu berpengaruh pada gejolak kajian keislaman. Diantaranya adalah al-Kindi, ibnu Sina, ibnu Rusyd, dan al-Ghazali.

Secara garis besar, ajaran dari Plato dan Aristoteles yang terkenal adalah tentang rasio, dengan adanya dualisme dalam diri manusia. Menurut Plato, bahwa dalam diri manusia terdapat dua “dunia”, yaitu dunia ide dan dunia panca indra. Apa yang ada pada dunia ide itu tetap, sementara apa yang ada pada dunia panca indra itu selalu berubah karena pengaruh ruang dan waktu (merupakan perpaduan dari pemikiran dua gurunya yang saling bertentangan). Dunia panca indra selalu tidak mampu memenuhi hasrat dunia ide yang “sempurna”.

Aristoteles yang merupakan murid dari Plato juga mengatakan adanya dualisme dalam diri manusia. Perbedaannya, dualisme itu bukan berupa dunia ide dan dunia panca indra, tetapi lebih luas lagi yaitu berupa bentuk dan materi. Teori bentuk dan materi ini juga dapat berlaku untuk benda apapun selain manusia, yang mana mempunyai materi (bahan dasar) dan bentuk (wujud hasil). Ia juga mengkritik pendapat Plato tentang ide. Jika berbicara tentang ide, maka saat itu pula sedang berbicara tentang manusia. Jika berbicara tentang manusia, Aristoteles tidak spesifik mengarah pada ide (yang berbeda-beda), tetapi secara kongkrit membedakan antara manusia dengan manusia yang lain (seutuhnya). Dalam arti, dia tidak menafikan dunia ide, hanya saja ide itu sudah bersemayam dalam tiap (jiwa) manusia yang berada dalam bentuk masing-masing (wujud manusia).

Dengan melihat kedua paradigma diatas, bisa dinilai bahwa keduanya itu benar menurut rasio, karena bisa diterima oleh nalar. Dan keduanya tetap berada dalam kebenaran rasio walaupun seandainya al-Qur’an tidak diturunkan. Tetapi kemudian islam –melalui para pemikirnya- turut membenarkan teori dualisme diatas, yang kemudian dipakai untuk metode relasi horisontal antar sesama manusia dan alam, dan vertikal antara manusia dan Tuhan.

Sebagai salah satu contoh adalah pemikiran al-Ghazali. Ia adalah tokoh yang berupaya mendamaikan antara teori filsafat, tasawuf, dan syari’at. Terlihat dari ungkapan dalam kitabnya yang masyhur, Ihya ‘Ulum al-Din;

“…akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang yang mendukung taqlid tanpa memakai ilmu pengetahuan intelektual, adalah orang yang bodoh. Dan orang yang puas hanya dengan ilmu-ilmu tersebut tanpa cahaya dari al-Qur’an dan Sunnah adalah orang yang sombong”

Menurut al-Ghazali, wahyu dan akal itu saling membutuhkan. Dan kebenaran agamawi dapat diperoleh dengan korelasi antara keduanya. Karena itulah fungsi akal yang dimiliki manusia. Maka akal mempunyai peran penting untuk mencari sebuah kebenaran. Ini pulalah maksud dari para filsuf barat manganai kebenaran yang juga mereka bidik sejak dahulu, sebagai pembuktian bahwa setiap unsur itu mempunyai makna yang dapat dimengerti oleh akal budi.

Rabu, September 30, 2009

KASUS KUNO - IDEALISME MAHASISWA


Bayak yang beranggapan bahwa “mahasiswa” adalah suatu macam “pangkat” pelajar yang tertinggi, sehingga akibatnya orang-orang yang masih berstatus “siswa”(tanpa "Maha") dianggap lebih rendah dari pada mahasiswa, sehingga tidak mau rajin belajar lagi, seperti halnya siswa. Ini adalah kasus kuno yang masih sulit diselesaikan.

Perlu disadari bahwa jika seseorang sudah berstatus mahasiswa,maka iapun masih tetap sebagai seorang pelajar yang harus rajin belajar, sekaligus menjadi utusan masyarakat sekitarnya. Semua orang tahu hal ini, tapi yang sering diabaikan adalah mencoba melengkapi seluruh jenis kebutuhan diri dan masyarakatnya. Kebutuhan itu tidak hanya kesejahteraan dan perlindungan, tapi juga pengetahuan dan wawasan.

Sebenarnya dalam hal ini tidak ada bedanya antara siswa, mahasiswa, atau siapapun. Karena yang dibicarakan adalah perihal kemampuan untuk terus memaksimalkan penggunaan fasilitas berupa kemampuan dan kesempatan demi melengkapi kebutuhan diri dan orang-orang sekitarnya. Tanpa kemalasan, atau memanjakan diri hanya pada satu bidang saja, sementara sebagai kaum muda tentu masih mempunyai potensi tinggi di bidang apapun.

Maka arah dari tulisan ini adalah mengajak para mahasiswa agar menjadi benar-benar mahasiswa. Memenuhi kapasitas normal sebagai mahasiswa, menggunakan kemaksimalan otak kanan dan kiri. Mahasiswa yang aktif bergerak dalam organisasi, tapi juga cerdas dalam tiap pelajarannya (mengingat statusnya adalah juga pelajar).

Ada beberapa permasalahan yang sering terjadi. Diantaranya, adanya mahasiswa yang rajin belajar tapi lemah dalam pergerakan, adanya mahasiswa yang aktif dalam pergerakan tapi lemah dalam pelajarannya. Bahkan yang lebih parah, lemah kedua-duanya. Penulis menganggap hal ini bukan suatu karakter paten yang terbilang wajar. Tapi hal ini merupakan kasus yang harus diselesaikan, tidak boleh dibiarkan. Karena jika tidak, rantai pemisah antar mahasiswa itu akan tetap terus mengulur panjang. Kalimat "kita adalah satu" yang sering mereka teriakkan itu tak akan pernah terwujud.

Sungguh miris jika mendengar kabar bahwa dari 100 mahasiswa, ada 60 mahasiswa yang malas mengunjungi perpustakaan. Dan dari 100 mahaiswa, ada 70 mahasiswa yang malas mengikuti pergerakan. Seolah mereka lupa akan kebutuhannya kelak. Dalam dunia mahasiswa, hal ini bukanlah suatu kewajaran tapi merupakan suatu kesalahan yang harus secepatnya disadari dan dibenahi. Maka bagi mahasiswa baru hendaknya mewaspadai dan mengingat hal ini sejak awal. Tidak sembarang mengikuti arus, tapi selalu berfikir panjang dan matang, tanpa main-main. Karena kampus adalah tempat yang baik untuk menentukan jatidiri.

Sabtu, September 19, 2009

‘IDUL FITRI; HARI KESEDIHAN


Hari Raya ‘idul fitri sering disebut dengan “Hari Kemenangan”. Dimana semua orang islam bersuka cita . tertawa bercanda disana-sini. Dan suara petasan turut ramaikan suasana. Tentu hal itu wajar dilakukan bagi orang normal. Bertemu sanak saudara dan saling berma’afan. Senyum bahagia selalu terpasang sebagai tanda bahwa hari itu memang sungguh istimewa.

Sementara, di”pojok” keramaian itu, dalam kerahasiaan penulis merasa sedih, khawatir, dan takut yang bercampur menjadi satu. Memang, tidak lazim jika bersedih hati saat datangnya hari raya. Hal ini mirip dengan ke-tidaklazim-an kesedihan Abu Bakar RA. atas kesempurnaan agama islam. Saat itu, para sahabat bersorak gembira setelah Rasulullah SAW. berkata bahwa agama islam telah sempurna turun di bumi ini, berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Dan anehnya Abu Bakar justru bersedih hati dan terus menangis ditengah kegembiraan itu. Beliau menutup diri hingga tiga hari di rumahnya. Para sahabat lain pun menjadi heran, apa sebenarnya yang difikirkan Abu Bakar. Setelah terus didesak, beliau baru menjelaskan bahwa jika agama islam telah sempurna maka tugas Rasulullah telah selesai pula. Itu artinya, tidak lama lagi Rasulullah akan wafat meninggalkan mereka semua. Mendengar penjelasan itu, barulah para sahabat sadar dan kemudian ikut bersedih dan menangis. Maka benarlah terjadi apa yang ditakutkan Abu Bakar. Rasulullah SAW. meninggal dunia, dengan dua warisan besar, al-Qur’an dan al-Hadits.

Seperti itulah agaknya yang dirasakan penulis, saat ini. Merasa bersedih saat orang lain bergembira karena datangnya ‘idul fitri. Penulis tak menafikan bahwa hari itu memang hari kebahagiaan, karena ampunan sedang diobral dari siapa saja, untuk siapa saja. Itulah hari raya besar islam, dimana para insan kembali suci ibarat bayi yang baru lahir.

Maka bukan hal itu yang membuat penulis bersedih. Ia bersedih, karena dengan adanya hari raya ‘idul fitri, maka ia akan ditinggalkan bulan ramadlan. Itu artinya, ia akan kembali jauh dari saat-saat penuh pahala, berkah, dan pelipatan ganda kebaikan di bulan paling mulia itu. Para iblis terpasung sebagai simbol kesempatan bagi kita agar lebih bersemangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bulan penuh perenungan, syukur atas segala nikmat, dan kembai pada kesucian. Sementara tentu tak ada kepastian bahwa kelak akan bertemu lagi dengan buan suci itu di tahun depan, dan selamanya. Mungkin tak banyak orang yang juga turut merasakan hal ini. Penulis tak tahu, ia sedang normal atau tidak. Yang jelas, itulah sebenarnya.

Tapi kemudin, penulis melakukan aktifitas favoritnya, yaitu merenung, dan merenung. Dan akhirnya ia menemukan suatu keputusan, yang mungkin juga bisa dipakai siapa saja;

Pertama, boleh saja bergembira, bahkan berpesta di hari raya ‘idul fitri. Tapi disamping itu harus diingat pula, tidak akan bertahan lama kesucian hati insan terjaga. Semakin lama hidup, semakin banyak pula dosa yang diperbuat. Disinilah seyogyanya rasa takut itu ditumbuhkan. Dan untuk selanjutnya, sebisa mungkin mencegah kesalahan-kesalahan di masa mendatang.

Kedua, memang sudah maklum, bahwa bulan ramadlan adalah yang paling mulia. Tapi itu bukan berarti bulan-bulan yang lain kurang tepat jika dipakai untuk rajin beribadah. Balasan dari Allah tidak mungkin terpaku pada satu bulan saja. Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil. Tidak pandang apa, siapa, dimana, dan kapan. Asal amalan dilakukan dengan ikhlash, maka tentu tak ada kerugian darinya.

Terbukalah senyum semangat penulis, menyambut bulan syawal, DzulQa’dah, DzulHijjah, dan seterusnya…..

1 Syawal 1430 H.

Selasa, September 08, 2009

PUASA; ANTARA KESIA-SIAAN DAN KEPAHAMAN

Telah kita ketahui bahwa tujuan murni (maqâshid asy-syar’iyyah) dari puasa berbeda dengan pengertian istilahnya, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. Disana dikatakan bahwa pengertian puasa adalah menahan makan, minum, marah, bersetubuh, dan segala nafsu lainnya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. (Dan penulis lebih setuju jika itu disebut metode, bukan pengertian).

Sedangkan sebagai maqâshid asy-syar’iyyah dari puasa bisa disimpulkan dengan satu kata; “Tirakat”(jawa, yang bisa diartikan dengan menjauhi enak-enakan). Tirakat ini akan bisa berlanjut ke prihatin pada saudara-saudara kita di luar sana yang susah makan, agar kita sedikit turut merasakan penderitaan itu. Kemudian, sebagai cambuk untuk diri sendiri yang selama ini telah dibudak nafsu. Karena itu puasa juga dipakai sebagai hukuman bagi suatu pelanggaran. Puasa juga sebagai ajang menggali makna hakikat hidup yang sesungguhnya, yang seharusnya jauh dari keserakahan, kesombongan, kemunafikan, dan tentunya ke-tergila-gila-an terhadap dunia. Karena dengan perut yang kenyang nafsu bisa menjadi liar, merasa berkuasa, merasa bisa hidup sendiri, bahkan lupa dengan si Pemberi makanan/rizqi. Padahal sering kita temui ayat al-Qur’an, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. 2:183)

Menangkap keabsahan puasa itu mudah. Anak SD pun mampu melakukannya. Tapi yang sangat sulit (dan yang sering dilupakan) adalah tujuan dari puasa itu sendiri. Kebanyakan orang selalu bangga atas kesuksesan puasanya. Karena mereka pikir itulah finishnya. Hingga nanti di hari Fitri (hari kemenangan) mereka juga merasa menang. Menang melawan lapar, suatu kebanggaan?? Pasti ayam pun tertawa jika mendengarnya.

Puasa tidak sekedar menunaikan kewajiban, tapi banyak nilai-nilai besar yang bisa diambil di dalamnya, yang tentunya harus diimbangi dengan sikap yang lain. Seperti dalam ayat berikut, yang artinya:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 33:35)

Maka tidakkah sangat merugi bagi orang yang sudah terlanjur kelaparan satu bulan, tapi ia tidak bisa mengambil “ganti rugi” apa-apa dari itu. Mungkin ia sudah mendapatkan pahala atas keabsahan puasanya. Tapi sekali lagi, mungkin. Karena pahala memang tidak bisa sembarangan diperoleh.

Akal kita pasti mampu merambah lebih lebar daripada lebarnya ulasan teks. Kita harus tahu apa saja yang kita lakukan. Atas dasar apa, bagaimana caranya, dan untuk apa kita lakukan. Bukan hanya perihal puasa, tapi juga pekerjaan apapun, sekecil apapun.

Saatnya merenung......

18 Ramadlan 1430 H.

Senin, Agustus 17, 2009

17 AGUSTUS HARI KEMERIAHAN ATAU HARI PERENUNGAN ?


64 tahun Indonesia merdeka. Dan selama itu pula selalu dirayakan pada tanggal 17 Agustus sebagai hari kemerdekaan bangsa Indonesia.

Kita lihat hingga kini sebagai adat, tiap tanggal 17Agustus selalu dirayakan dengan berbagai perlombaan serta bersuka ria, dengan pengeluaran dana yang tidak sedikit. Bahkan ada yang terkesan berfoya-foya, menguras dana besar untuk waktu 24 jam itu.

Sementara di sisi lain, di berbagai station TV serta dalam upacara selalu dikisahkan sejarah jeripayah serta kegigihan para pejuang untuk kemerdekaan bangsa. Dimana tidak ada tawa di bibir mereka. Tapi keseriusan, serta tekat baja kuat melekat di setiap detik. Sama sekali tak ada gentar di bola mata mereka, walau para kerabat merekapun gugur tergulai.

Jika ada dua orang sebagai subyek kita, si A dan si B. Si A senang sekali mengikuti perayaan berupa perlombaan, pesta, dan bernyanyi-nyanyi. (walau tentang kemerdekaan). Yang ia fikirkan hanya bagaimana bisa menang, dan bisa senang. Kemudian si B, ia selalau mengikuti sejarah para pahlawan, serta suka merenungkan nasib bangsa. Ia selalu berfikir apa yang bisa ia lakukan untuk bangsa Indonesia ini, seakan ia merasa terpanggil untuk menjadi pahlawan berikutnya, karena ia merasa kemerdekaan negeri ini belum sempurna.

Maka siapa yang lebih anda pilih?

Senin, Agustus 10, 2009

SURGA DI BAWAH TELAPAK KAKI PERAWAN


Makhluk ini adalah sosok yang sensitif, juga men-sensitif-kan. Ia pintar menyimpan rahasia, tapi sangat jelas terlihat saat menyembunyikannya.

Ia rentan sekali dengan keanggunan serta mengagumkan. Semua itu memang terpancar dari sucinya kehormatan. Dan sebenarnya dengan sendirinya keanggunan itu akan menebar, walau tidak dengan ucapan yang boros dan tingkah yang merugikan.

Peran mereka di bumi ini adalah sebagai “perhiasan”. Bukan hanya perhiasan untuk suaminya kelak, tapi juga perhiasan bagi kehidupan mereka sendiri. Perhiasan dalam belajarnya, perhiasan dalam karirinya, dan perhiasan dalam bermasyarakatnya, dengan skill kecerdasan dan etika yang mereka miliki (bukan dengan “trik-trik panas”nya). Hanya saja sayangnya, hingga kini masih banyak dari mereka yang suka “berjalan di belakang” dan “berbicara belakangan”.

Penghormatan bukan hanya untuk kaum ibu. Tapi kaum perawan pun mempunyai ruang hak yang besar sebagai penghormatan bagi mereka. Penghormatan dengan menjaga kata-kata, perilaku, serta anggapan pada mereka.

Maka mulai kini harus kembali digalakkan Gerakan ”berbakti” kepada perawan, dengan lebih menghormati, mencoba mengerti apa yang mereka kehendaki, dan mengangkat mereka dari kezaliman dan ketidakadilan.

JALAN PINTAS MENUJU ROMA: KRITIK ANALISIS WACANA


Banyak orang menganggap bahwa Analisis Wacana adalah sebuah mata pelajaran. Hingga barang siapa yang tidak pernah mempelajarinya atau kurang serius mempelajarinya, maka dianggap tidak bisa beranalisis wacana.

Kemudian banyak juga orang yang menganggap bahwa analisis wacana itu pelajaran yang sulit, bahkan membingungkan karena banyak di dalamnya istilah-istilah asing dan pembagian-pembagian. Karena itu mereka takut atau malas berdiskusi tentang Analisis Wacana.

Tapi menurut penulis, Analisis Wacana lebih tepat merupakan sikap reflek yang spontan terjadi pada manusia (manusiawi). Ada yang secara kecil (sebentar), dan ada yang secara besar (lama) dalam prakteknya. Jadi, siapapun bisa melakukannya, bahkan dengan tanpa disadarinya.

Wacana itu bisa berupa apa saja yang mempunyai kapasitas 5W 1H, walau sekecil apapun. Jika seseorang menemui suatu permasalahan kemudian memikirkannya sejenak, maka dia pun telah beranalisis wacana, walau ia tidak pernah mengikuti pendidikan itu.

Sedangkan proses Analisis Wacana sebenarnya sangatlah sederhana dan samasekali tidak sulit. Kita menemukan suatu benda/permasalahan, kemudian kita mencari tahu asal-muasal perkara itu, kemudian bagaimana proses terbentuknya perkara itu, lalu yang terakhir, apa pengaruh yang timbul darinya. Kemudian jika ingin melebar lebih jauh, kita bisa kembangkan dengan mencari tahu juga pendukung-pendukung lain, dampak buruk yang mungkin terjadi, memikirkan apa yang bisa kita sikapi dari perkara itu, dan lainnya.

Seorang bayi yang sedang digendong orang selain ibunya, dia akan berfikir bahwa orang yang menggendongnya terlihat lain dari biasanya. Bahkan mungkin cara mengangkatnya pun berbeda. Selain itu dia juga teringat pada wajah ibunya yang berbeda dengan orang yang sedang menggendongnya. Dia merasa tidak nyaman, takut, bingung, kemudian menangis. Proses yang panjang itu hanya terjadi dalam beberapa detik saja. Dan penulis sudah menamakan hal itu sebagai proses Analisis Wacana.

Maka mulai sekarang, jangan tertipu dengan kulit luar. Kita sendiri mempunyai akal yang bebas berfikir, menembus kulit, dan langsung menggapai inti terdalam, yang biasanya lebih sangat sederhana dari pada persangkaannya.

Banyak jalan menuju Roma. Tapi pasti ada juga jalan pintasnya.