Kamis, September 30, 2010

PENYELAMATAN KATA “PERSATUAN” DARI HAMBARNYA SEKEDAR SLOGAN

Sekelumit Pengakuan

Ketika Nusantara telah percaya diri untuk berubah menjadi Indonesia, ketika para pejuang telah merasa kuat melawan penindas, dan ketika bendera Merah Putih telah berani berkibar bebas di tengah bangsa, sama sekali tidak ada perbedaan warna pakaian yang mengganggu. Tetapi kini, masyarakat justru telah terbiasa dengan berita-berita konyol, yang menyuguhkan berbagai perselisihan di tengah rakyat, maupun di kalangan pemerintah, yang konon disebabkan karena perbedaan golongan.

Memang terlalu memalukan jika diungkit lebih panjang. Tetapi berbicara tentang golongan dalam masyarakat yang beragam, sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang menjadi biang keladi sebuah perselisihan. Karena jika hal itu dianggap sebagai biang keladi, maka tentunya yang menjadi momok utama adalah konsep Demokrasi. Namun anehnya, ternyata Demokrasi masih dijunjung tinggi di Negara ini. Maka sebenarnya adanya keberagaman golongan adalah hal yang wajar dalam lapisan masyarakat, karena memang melalui media itulah ideologi dan ekspresi tersalurkan sesuai dengan taraf dan motif masing-masing. Bahkan keberagaman tersebut terhitung penting sebagai penyumbang berbagai ide yang menjadi opsi demi kemajuan, dan sebagai wujud pengabdian kepada bangsa.

Kata “Persatuan” telah tertera selama puluhan tahun pada poin nomor tiga Pancasila. Namun kini implementasinya sama sekali tidak memuaskan asumsi. Maka alih-alih persaingan memajukan bangsa dan negara, alasan itulah yang selalu dijadikan kambing hitam oleh para oknum, ditengah rakyat yang terlanjur lelah mendengarnya. Perselisihan bahkan pertikaian masih sering kita temui di Negeri ini, dan seringkali itu disebabkan oleh hal sepele. Tidak lain tentu yang demikian itu disebabkan adanya dominasi sifat egois dengan pendapat sendiri, gengsi jika harus menarik kembali pendapatnya, maupun memang ada unsur persaingan yang tidak sehat sejak lama. Sebagai contohnya, pertikaian antar suku terjadi di Poso, perselisihan antar organisasi islam, antar Partai Politik saling bertanding atas kepentingan Partai, fenomena keributan para Anggota Dewan di gedung DPR, dan masih banyak lagi.

Pancasila mewantikan sebuah persatuan. Sementara persatuan yang dimaksud tentu saja bukan sebagai pasukan perang yang berkumpul dalam satu komando, karena setiap golongan mempunyai keunggulan masing-masing dalam sikap Nasionalisnya. Tetapi persatuan yang dimaksud adalah adanya cita-cita yang sama terhadap bangsa dengan sikap fokus, terbuka, teliti, tegas dan toleran, meskipun berada pada berbagai kotak golongan/ komunitas yang berbeda.

Bangsa yang terkotak-kotak bukanlah suatu kecacatan, tetapi justru menunjukkan adanya berbagai komunitas dengan berbagai keistimewaannya pula. Sementara yang menjadi benalu di antara kotak-kotak tersebut adalah adanya budaya rivalitas golongan yang membawa pada rivalitas antar individu. Ini terjadi bukan hanya di kalangan pemerintahan, tetapi dimana pun dan dalam bidang apapun. Di masyarakat kota nuansa politik birokrasi sangat mempengaruhi, yang dapat membentuk pagar-pagar pemisah antar masyarakat secara alami dan betahap –selain karena di sisi lain, biasanya sikap warga perkotaan memang cenderung tertutup terhadap orang lain. Di masyarakat desa kini mulai merambah pula pengaruh dunia politis, namun tetap saja yang lebih menjadi perhatian adalah adanya perbedaan berbagai organisasi keagamaan dalam masyarakat. Tapi karena masyarakat desa mempunyai sifat yang terbuka dan mementingkan asas kekeluargaan, maka pagar pembatas antar masyarakat itu samar terlihat. Kemudian, jika masyarakat kota dan desa ini dikumplkan dalam satu wadah perbandingan, maka muncul pula hal lain yang turut membentuk dua kotak besar, yaitu kotak masyarakat modern yang identik dengan rasionalisme dan kotak masyarakat tradisional yang identik dengan mistisme.

Keberagaman komunitas ini juga terjadi pada kaum pemuda, terutama gerakan Mahasiswa. Bersifat non-akademis, terlepas dari kepentingan Perguruan Tinggi. Bisa bidang politik, agama, maupun yang lain. Pada Mahasiswa telah terbiasa pula -dan terus saja membiasakan diri- dengan rivalitas antar kelompok. Padahal banyak juga dari mereka yang tidak mengerti mengapa mereka harus mewaspadai kelompok lain. Keadaan ini tentu membawa dampak tersendiri di kegiatan akademis bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Gue sudah muak dengan semua itu. Sangat disayangkan jika orang-orang yang tergolong kaum intelektual justru menciptakan iklim dokmatis dalam suatu komunitas, yang biasanya dibungkus dengan konsep disiplin. Sehingga jika ada seorang anggota yang melanggar, akan muncul klaim penghianat, penyusup, sesat, murtad, atau yang lainnya, tanpa ada kesadaran untuk introspeksi kebijakan. Hal-hal semacam inilah yang membuat terputusnya rantai persatuan antar golongan (jika rantai itu pernah ada). Rantai yang memuat cita-cita esensial seluruh aktifis nasionalis, yaitu kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Cahaya Sebatang Lilin

Mendirikan sebuah Negara dapat diibaratkan dengan bekerja keras membangun pabrik. Pengelola tentu mempunyai segudang cita-cita dengan mempunyai pabrik itu. Namun dia juga sadar betul bahwa jika pabrik benar-benar telah berdiri, tentu dalam perjalanannya nanti akan banyak menemui rintangan, yang seolah-olah merupakan hal wajib yang harus dilalui seseorang yang ingin sukses. Baik rintangan yang bersifat intern maupun ekstern. Maka sistem yang bijak tentu akan membudayakan rapat atau musyawarah, baik secara formal maupun non-formal, untuk membicarakan segala permasalahan, tanpa membedakan status. Begitu pula Negara seharusnya, selalu membudayakan musyawarah antar golongan, instansi, maupun individual. Selain dapat menemukan titik pangkal permasalahan sekaligus penyelesaiannya secara bersama, juga dapat mempererat tali persaudaraan dan persatuan. Maka Negara yang dianalogikan dengan sebuah pabrik ini akan semakin berkembang karena menggunakan setiap potensi yang ada, sekecil apapun, tanpa ada pembedaan pihak. Dan yang lebih membanggakan lagi, perkembangan itu merupakan hasil pikiran bersama dengan hubungan kekeluargaan dan komunikasi yang baik.

Saya percaya bahwa setiap kelompok komunitas Nasionalis baik lembaga maupun non-lembaga mempunyai tujuan yang mulia untuk bangsa, kecuali beberapa oknum yang sengaja merusak citra pengabdian terhadap bangsa –yang jelas-jelas harus diadili. Hal ini sudah membentuk susunan visi dan misi umum yang seragam dari seluruh komunitas. Visi dan misi umum inilah yang harus selalu diperhatikan dalam menghadapi perbedaan persepsi dan aksi.

Semangat mempertahankan keindahan Negeri yang Bhineka juga harus tetap dipupuk dengan saling menghormati dan bangga akan kekayaan budaya. Karena setiap kebudayaan mempunyai nilai filosofi masing-masing yang diciptakan oleh para leluhur dan mengandung daya tarik keindahan yang beragam.

Sikap pluralitas dan humanistik menjadi alat penting dalam bermasyarakat. Karena jika memang ingin bersatu, maka semua sekat pemisah harus dihapuskan dan semua pihak turut andil ketika merumuskan sebuah keputusan. Tidak ada diskriminasi maupun pemaksaan kehendak.

Maka, untuk mewadahi semua itu perlu dibentuk beberapa forum komunikasi yang menjaring seluruh komunitas sesuai bidang masing-masing. Karena jelas tidak cukup jika fokus komunikasi suatu bidang hanya bertumpu pada sang menteri. Misalnya di bidang pariwisata, begitu banyak lokasi pariwisata di Indonesia, perwakilan pihak dari masing-masing lokasi itu dapat sharing dan bahkan bermitra melalui media sebuah forum, yangmana forum ini juga berperan penting dalam memberikan informasi tentang dunia pariwisata kepada masyarakat. Bukan hanya bertumpu pada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Begitu pula dengan bidang lain, sepertihalnya Politik, Agama, Kesenian, Organisasi Pemuda, dan Pembangunan. Kemudian, dari setiap masing-masing bidang itu akan dikumpulkan lagi dalam suatu forum besar yang langsung berhubungan erat pula dengan Presiden, karena di forum besar inilah wajah Indonesia terlihat dengan lengkap. Sebuah moment pertemuan langsung antara informasi fakta lapangan dengan Pusat Pemerintahan secara rutin.

Terdapat banyak keuntungan dari pertemuan besar secara rutin ini, di antaranya :

1. Semua bidang telah terkumpul untuk saling melengkapi satu sama lain. Maka solusi untuk sebuah permasalahan akan lebih mudah ditemukan.

2. Sebagai media komunikasi antar golongan dengan azas kekeluargaan, yang mempunyai manfaat besar.

3. Sebagai wujud kedekatan rakyat dengan Pemerintah, merupakan kesempatan diskusi bersama dalam satu meja terhadap suatu permasalahan.

Jadi intinya, Nasionalisme Ala Gue, adalah adanya komunikasi yang sehat dan tertata, dengan sikap bijak dan penuh kekeluargaan, karena hal itu akan menciptakan pikiran jernih, sikap toleran, dan kesadaran atas keseragaman cita-cita bangsa.

Selasa, Juli 27, 2010

TAFSIR AL-KASYSYAF

Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil

Fi Wujuh At-Ta’wil

Adalah karya dari Abu al-Qasim Jârullâh Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari yang lebih masyhur dengan nama Az-Zamakhsyari (467-538 H.). Zamakhsyar adalah suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia, yang sekarang masuk dalam negara Uzbekistan bagian dari Uni Soviet.

Tafsir Al-Kasysyaf disusun dalam empat jilid, dan dicetakkan oleh berbagai penerbitan. Kitab ini merupakan karya yang ditunggu-tunggu oleh para sahabat Az-Zamakhsyari. Seperti yang tertera dalam muqaddimah tafsirnya;

“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia, selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan Tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku menjelaskan kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`an, serta mengajarkannya kepada mereka ‘sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur`an dan pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan’. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan yang mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya fardhu ‘ain. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi (negeri) sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu Bayân dan ilmu Badi`”[1].

Az-Zamakhsyari adalah tokoh yang diakui kehebatannya dalam hal bahasa Arab, hadits, gramatika, bahasa, retorika, filologi, dan seni deklamasi (elocution), hingga dapat menghasilkan tafsir al-Qur’an yang cemerlang.

Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Kasysyaf

Al-Zamakhsyari seringkali berpindah tempat untuk mengejar ilmu. Untuk pertama kalinya Ia belajar tentang bahasa dan nahwu kepada Muhamamad bin Jarir al-Dhabi al-Ashfahani Abu Mudhar, yang bermazhab Mu’tazilah di Khawarizm. Kemudian dengan ambisi kuat ia pergi ke Khurasan dan Isfahan untuk mendekati para pemegang kekuasaan seperti Muji al-Daulah `Ubaidillah bin Nizham al-Mulk, dan Muhammad bin Malik Syah dengan memberikan bait-bait syair pujian. Namun, ia gagal dan ia sempat sakit parah sekitar tahun 512 H. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya karena berambisi mengejar kekuasaan, Ia pergi ke Makkah dan bertemu dengan seorang pemuka `Alawi bin Isa bin Hamzah bin Wahhas, dan membaca kitab Sibawaih atas bimbingan `Abdullah bin Thalhah al-Yabiri. Sebelumnya, Al-Zamakhsyari juga sempat pergi ke Baghdad untuk belajar hadits kepada Abu al-Khitab bin al-Bathar, Abu Sa`d al-Syafani, dan Syaikh Islam Abu Manshur al-Haritsi, dan belajar ilmu Fiqh kepada al-Damghani (seorang Hanafiah) dan Ibn al-Syajari.

Kemudian al-Zamakhsyari kembali ke daerahnya. Saat itu Muhammad Anushtikin (mantan kepala daerah Khawarizm) telah mendirikan rumah raja (Sultan Sinjar) yang kemudian mengukuhkannya sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya, Atsaz. Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsyari dapat berada di dekatnya, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya. Karya-karyanya itu kebanyakan dalam bidang bahasa, sastra, dan gramatika (sehingga layak untuk disebut pakar bidang ini). Kepakarannya itu membuatnya menjadi rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdhil al-nâjiyah al-`adhiyyah), terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsyari sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl. Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan ia mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya. Sehingga ia berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di Baitullah[2].

Karakteristik Penafsiran

Dari segi akidah al-Zamakhsyari dikenal sebagai tokoh mu’tazilah. Sedangkan dalam bemadzhab Ia penganut madzhab Hanafi. Kemazhaban itu tercermin dari sya’irnya sebagai berikut:

“Dan aku sandarkan agamaku, keyakinanku dan mazhabku ke jalan yang lurus. Aku memilihnya dan memegang teguh pada Islam adalah pengikut Hanafi sebagai mazhab mereka yang tidak mengharapkan bagian.”[3]

Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsyârî terhadap mazhabnya belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadits, bahkan tafsir al-Kasysyaf sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas al-Qur`an[4]

Karakteristik ini terlihat mulai dari pembentukan rasionalitas-metodologis penafsiran hingga penerapannya dalam merasionalisasikan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung doktrin-doktrin Mu’tazilah. Rumusan prinsip rasionalitas metodologisnya di dasarkan pada ayat 7 surah Âli `Imrân;

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muhkamat, dalam pandangan al-Zamakhsyârî, adalah yang berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu’tazilah yang terhimpun dalam Ushûl al-Khamsah: 1) Tauhid, 2) Keadilan, 3) Janji dan Ancaman, 4) Manzilah bayn al-Manzilatain, dan 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar. Sedang semua ayat yang zahirnya bertentangan dengan Ushûl al-Khamsah termasuk dalam kategori mutasyâbihât. Untuk menopang rasionalisasinya ini al-Zamakhsyârî sering memanfaatkan pengetahuan bahasa, sastra, gramatika, bahkan qirâ’at.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, termasuk juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Metode Penafsiran

Menurut al-Farmâwî ada empat macam metode dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu tahlily, ijmâly, muqâran, dan mawdhû’iy. Kemudian berdasarkan rumusan al-Farmâwî tersebut, maka metode tafsir yang digunakan dalam al-Kasysyâf adalah metode tahlily. Hal ini terlihat dari langkah-langkah al-Zamakhsyârî dalam menafsirkan al-Qur`an. Ketika menafsirkan al-Qur’an, ia berusaha mengungkapkan seluruh pengertian yang dimaksud hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengertian tentang nash al-Qur`an, hadits, riwayat sahabat, dan tabi`in, pengetahuan tentang nasikh- mansukh, ilmu qira`at, cerita Israiliyyat, ilmu Ushul Fiqih, ilmu Balaghah serta rahasianya, ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam (teologi). Tahlily, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani.

Sementara Basuni Faudah mengkategorikan tafsir al-Kasysyâf ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y, yakni penafsiran yang lebih memberikan keleluasan kepada akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam al-Kasysyâf juga dipergunakan hadits-hadits shahih, al-Zamakhsyârî pun mengutip dari para sahabat dan tabi’in, tetapi tentunya tidak bertolak belakang dengan mazhabnya yang i`tizâl itu.[5]



[1] Zamakhsyârî, al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah, hal. 17

[2] Hal ini dijelaskannya dalam mukaddimah tafsirnya al-Zamakhsyârî, Al-Ksysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah cet. I, jilid I, hlm. 3.

[3] M.S. Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyârî fî Tafsîr al-Qur`ân, Dâr al-Fikr, Kairo, 1968, hlm. 179.

[4] Nadvi Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, Pustaka, 1984, hlm. 37.

[5] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, terj. H.M. Mochtar Zaerni dan Abdul Qodir, Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 104.

MASIH TENTANG HERMENEUTIKA

Ketika tradisi ideologi kritis mulai merebak, berbagai kalangan pun mulai lebih hidup dengan bermacam responnya. Salah satunya yaitu ketika kemunculan konsep Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran teks kitab suci. Metode ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa, bahkan hingga kini. Sementara konsep tersebut yang awalnya berskala kecil, yakni direncanakan untuk membedah teks kitab Bibel, kini berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan sekaligus salah satu metode untuk membedah teks apapun, termasuk al-Qur’an.

A. Konsepsi Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; Hermeneuo (menafsirkan). Berangkat dari sebuah sebutan untuk dewa penyampai berita kepada manusia, Dewa Hermes. Dewa ini juga yang menguasai perihal yang ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian (Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, 1983). Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan –sebuah mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain (Richard E. Palmer, Hermeneutika - Teori Baru Mengenai Interpretasi, 2003).

Sebagai obyek kajian dalam metode Hermeneutika ini adalah teks. Sementara pada Hermeneutika modern segala bentuk apapun adalah merupakan teks, baik berupa benda hidup, benda mati, simbol, maupun teks murni. Kesemuanya itu diyakini mempunyai sesuatu yang tersembunyi dibaliknya, yang sesuatu itu merupakan maksud terdalam dari teks, bahkan kemudian dianggap aposteriori oleh personalitas.

Dalam proses interpretasi hermeneutis terhadap al-kitab –dan kini terhadap teks lain pula-, ada beberapa tahapan yang dilalui, diantaranya; Kritik Bentuk dan Kritik Tradisi.

1. Kritik Bentuk

Kritik Bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini (Hasan Sutanto, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, 1998). Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.

Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks (Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, 2006).

2. Kritik Tradisi

Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Sebuah tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll.

Salah satu mediasi antar generasi itu adalah dengan kitab. Kita mengetahui bahwa sebuah teks dapat mengalami perbedaan redaksi dengan teks sejenisnya. Berbagai versi berbeda ditemukan dengan pembahasan yang sama. Hal ini terjadi pula dalam al-kitab, misalnya pada kitab Perjanjian Lama, tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11, berbeda redaksi dengan yang ada pada kitab Ulangan 5:12-15. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjadi perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

B. Implikasinya terhadap al-Qur’an.

Ketika metode hermeneutis ini telah sampai pada ranah teks islam, khususnya al-Quran, maka pembahasan peran metodologi ini menjadi sangat panjang. Begitu banyak tokoh muslim yang merasakan pengaruhnya, diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.(I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me)” (Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, 2004).

Selanjutnya Nasr Hamid mengatakan, “Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia” (Tekstualitas Al-Quran, 2000). Bahkan Mohammed Arkoun menegaskan bahwa; sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999).

Penolakan konsep Hermeneutika terhadap al-Qur’an pun juga digencarkan oleh tokoh-tokoh berbeda. Pro dan kontra bersahutan, hingga berlanjut dalam karya mereka masing-masing. Di antara penolakan interpretasi hermeneutis, dan menentang pendapat tokoh pro hermeneutis tersebut adalah adanya pernyataan, “Jika Al-Qur'an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Al-Qur'an dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui makna fatir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim” (Jalal at-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum AI-Qur'an, 2003).

Ada pula pendapat lain, “Al-Qur'an bukanlah produk budaya, karena Al­-Qur'an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur'an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur'an bukanlah produk budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari Al-Qur'an, bukan sebaliknya” (Adnin Armas, Metodologi Dalam Studi Al-Qur’an, 2005).

Tetapi tak dapat dibendung bahwa nalar kritis telah mampu merambah di benak ummat islam sejak lama. Seiring dengan masuknya materi filsafat barat ke dunia timur, bahkan jauh sebelumnya, di dunia islam pun telah mempunyai metode falsafi yang kemudian disebut dengan epistemologi islam. Jika kita kembali ke sejarah awal Hermeneutika, bahwa Dewa Hermes adalah sosok mistis pengantar pesan dari para dewa kepada manusia, maka dapat disinggungkan pula dengan metode epistemologi irfani yang mengandalkan ilham sebagai patokan.

Walaupun hingga kini konsep Hermeneutika masih menjadikan pro dan kontra antar tokoh, tetapi yang jelas metode ini –sedikit banyak- telah memberi kontribusi berharga dalam khazanah keilmuan, termasuk di dunia islam. Bukan hanya ketelitian terhadap teks al-Qur’an, tetapi juga terhadap teks apapun, sesuai dengan ajarannya.

Senin, Juli 26, 2010

EPISTEMOLOGI IRFANI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.

Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui[1]. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).

Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.

  1. Konsep

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf[2]. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemu-dian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan[3];

    1. Persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât), Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).

    1. Penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[4]

Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[5]

Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[6]

    1. Pengungkapan

Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan[7], sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[8] Hal ini dibe-narkan pula oleh Ali Issa Othman;

pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[9]

Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atauAna al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.

Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik[10], yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat[11]. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.

BAB III

KESIMPULAN

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.


[1] Kamus al-Munawwir Arab-Indinesia Terlengkap, A.W. Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

[2] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. (Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 228)

[3] Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi,al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd al-Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.

[4] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi , terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994), 51-53.

Uraian tentangkasyf, lihat al-Qusyairi,al-Risâlah, 75.

[5] Teori ini merupakan salah satu dari tiga teori lainnya, Teori Korespondensi, Teori Konsistensi, dan Teori Pragmatisme. (Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Burhanddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. hal. 58)

[6] Manusia Menurut Al-Ghazali, Ali Issa Othman (terj. Johan Smit, Anas, Yusuf), Pustaka, Bandung, 1981. hal. 67

[7] Konsep semacam ini juga erat di kalangan masyarakat jawa dengan pengalaman rohaninya, yang kemudian diistilahkan dalam beberapa sebutan; “Pamoring Kawula-Gusti” (Berhimpunnya Manusia-Tuhan), “Curiga Manjing Warangka” (Manusia Masuk ke dalam Tuhan), “Warangka Manjing Curiga” (Tuhan Masuk ke dalam Manusia), dan lain sebagainya. (Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Mohammad Damami, Lesfi, Yogyakarta, 2002. hal.41)

[8] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi, hal 245-268

[9] Manusia…, Ali Issa Othman. hal. 64

[10] Bersifat rahasia, hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.

[11] Jabiri, bunyah, 378

Sabtu, Februari 27, 2010

UPAYA MEMPOSISIKAN ISLAM DI BUMI NUSANTARA: Sebuah Aufklarung yang melelahkan



Telah diterangkan bahwa sebelum islam datang ke Nusantara, Negara ini sudah mempunyai dua bagian agama; lokal (agama yang berasal dari nenek moyang sendiri) dan impor (yang berasal dari negara lain). Agama lokal ini mempunyai dua bagian yaitu animisme dan dinamisme, yang mana keduanya tersebut merupakan kepercayaan sekaligus pengabdian masyarakat kepada benda atau kekuatan gaib. Hal ini dapat dikatakan wajar karena masyarakat pasti cenderung bergantung pada sebuah kekuatan yang paling unggul. Terlepas dari kepercayaan ber-Tuhan, di negeri mana pun juga telah banyak menerapkan hal serupa, dimana sebuah kepercayaan –pada apapun- menjadi inti dari sumber kehidupan. Sementara jenis agama yang disebut sebagai produk impor itu adalah agama Hindu dan Budha. Kedua agama itu terbilang cukup berhasil menarik simpati kaum yang masih merasa resah dengan kebergantungan. Hingga sampai kini pun jutaan penganut agama Hindu dan Budha di Indonesia tetap setia menjadi ummat yang taat.

Beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad VII islam mulai menjamah Nusantara, dan mulai berkembang luas di abad ke XIII. Perihal siapa pembawa agama ini pun menjadi kontroversi di kalangan pemikir. Hingga muncul empat tempat yang sering disebut sebagai asal dari agama islam masuk ke Nusantara; yaitu India, Arab, Persia, dan Cina.

Arab dan Persia disebut sebagai dua tempat yang lebih dicenderungi sebagai pembawa islam ke Nusantara. Berasal dari arab, karena ada keterangan bahwa dahulu pada tahun 674 M. pertamakali kapal Bani Umayah berlabuh di Aceh dengan tujuan dakwah islam dan berdagang. Sementara Persia juga disinyalir sebagai asal islam di Nusantara karena adanya kesamaan corak islam yang saat itu dibawa oleh Hamzah Fansuri. Ia membawa ajaran islam dengan corak islamnya al-Hallaj dari Persia, yaitu konsep wahdat al-wujud, atau kemudian dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti, dengan tokohnya Siti Jenar. Hamzah Fansuri inilah yang dikenal sebagai pembawa islam pertama ke Nusantara melalui pelabuhan Aceh.

Seperti telah diketahui bahwa islam datang ke Nusantara setelah datangnya dua agama yang juga berstatus impor, yaitu Hindu dan Budha. Bahkan sebelumnya lagi ada pula sebuah kepercayaan nenek moyang (agama lokal); animisme dan dinamisme. Maka agama islam tentu menjadi hal baru bagi mereka yang dapat dibilang sudah mapan dalam beragama. Tetapi pada faktanya islam –secara tidak langsung- mampu mencuri perhatian dari masyarakat dengan metode cerdas dari Hamzah Fansuri yang mampu mendialogkan tasawuf falsafi timur tengahnya dengan budaya setempat. Tasawuf falsafi itu seperti halnya yang diginakan oleh al-Hallaj, yang menggabungkan antara filsafat Plato dan Tasawuf, tentang wujud mutlak dan wujud mungkin, yang kemudian berlanjut pada konsep Hulul dan ittihad.

Hamzah Fansuri pertama kali memperkenalkan islam di Aceh. Ajarannya disambut dengan baik oleh masyarakat karena Ia mampu melogikakan ajarannya secara baik dengan sentuhan syari’at islam yang tepat. Berbeda degan agama-agama sebelumnya yang melulu menuntut kepercayaan, walau tanpa dengan logika kehidupan.

Hal inilah yang membuat islam lebih mudah diterima di benak masyarakat, bahkan lingkup kerajaan Aceh. Sehingga Hamzah Fansuri diangkat sebagai Penasehat Kerajaan (Mufti), yaitu pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1589-1602 M). Maka, pengenalan ajaran islam pun semakin mudah meluas di bumi Sumatera. Yang terkenal dari tasawuf Fansuri adalah tentang filsafat wujudiyah. Masih dengan corak wahdat al-wujud, Fansuri meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Karena sebenarnya alam tidak berwujud, hanya Tuhanlah yang berwujud hakiki.

Pandangan wujudiyahnya itu kemudian menimbulkan kontroversi. Banyak dari masyarakat yang sudah berpikir kritis di ranah ajaran agama. Maka kemudian banyak orang yang meninggalkan ajaran Fansuri. Sementara para penguasa justru mengalihkan perhatiannya pada kebutuhan duniawi. Sejak itulah Fansuri mulai mengasingkan diri dari publik. Karena itulah penganut ajarannya tidak dapat berkembang luas, hanya konsep pemikirannya saja yang dapat dikenal luas.

Seseorang yang masih setia dengan ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syamsuddin al-Sumatrani, atau dikenal juga dengan sebutan Samudra Pasai. Ia juga diangkat sebagai penasehat kerajaan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Fansuri dan as-Sumatrani mempunyai pemikiran falsafi yang benar. Tetapi ajaran keduanya mulai melenceng setelah al-Sumatrani meninggal dunia, hingga terjadi kekacauan di kalangan masyarakat. Kemudian pada saat itu pula datang seorang ulama dari India ke Aceh, bernama Nuruddin Arraniri. Ulama bermadzhab Syafi'I ini menentang keras ajaran Fansuri dan as-Sumatrani, karena Ia penganut tasawuf Sunni, bukan tasawuf falsafi.

Saat kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (II) Arraniri diangkat menjadi mufti kerajaan. Posisi itu dimanfaatkan Arraniri untuk menyebarkan ajaran sunninya dan menghapus seluruh ajaran Fansuri dan as-Sumatrani. Ia membakar kitab-kitab Fansuri dan mengusir bahkan membunuh siapapn dari masyarakat yang masih menjalankan ajaran Fansuri. Menurut Arraniri, Hamzah Fansuri membawa ajaran sesat karena menganggap bahwa alam, manusia, dan Tuhan itu sama saja. Karena itu seluruh ajarannya harus dihapuskan, serta seluruh pengikutnya harus bertaubat.

Tasawuf falsafi tentu berbeda dengan tasawuf sunni. Tasawuf falsafi lebih bersifat plural, yang hanya memandang maghza dari segala sesuatu. Sementara tasawuf sunni lebih bersifat normatif, yang sangat rentan dengan justifikasi kafir, murtad, dan sebagainya, hingga dapat berujung pada pendiskriminasian, kekerasan, bahkan pembunuhan bagi siapapun yang menolak.

Dalam konteks kemasyarakatan, termasuk dalam hal sosialisasi ajaran agama dengan mengundang keimanan murni masyarakat, tentu sangat mustahil jika seandainya saat itu islam datang ke Nusantara dengan ajaran tasawuf sunni (apalagi dengan sikap Arraniri yang berlebihan). Metode tasawuf falsafi begitu sukses mengambil perhatian dari masyarakat dengan tanpa kekerasan dan paksaan, sejalan dengan misi Rasulullah SAW. Sementara metode tasawuf sunni, juga bisa mengambil perhatian, tentu dengan sistem paksa, serta proyek politisnya melalui pemerintah kerajaan. Maka sebenarnya metode tasawuf sunni ini tentu tidak akan diterima di Nusantara tanpa didahului dengan tasawuf falafi oleh Hamzah Fansuri, yang secara beratahap mengenalkan islam, dan mengarahkan pada Tuhan yang Esa.

Pada suatu masa kemudian muncul seorang sufi sunni bernama 'Abdurauf al-Singkili, saat posisi penasehat kerajaan dipegang oleh Syaif Rijal setelah 30 tahun Arraniri kembali ke negara asalnya, India. Abdurrauf menawarkan jalan tengah antara tasawuf falsafi yang ternyata juga masih dianut oleh Syaif Rijal sebagai penerus dari Hamzah Fansuri dengan tasawuf sunni dari Arraniri. Maka Abdurrauf diangkat sebagai Qadli Malik al-Adil pada masa pemerintahan Sultan ke 3, Zakiyah al-Din (1678-1688). Dia mendamaikan dua jenis tasawuf itu dengan merujuk pada al-Qur'an dan al-Hadits. Statemennya tentang wahdat al-wujud, tidak penyatuan mutlak antara Tuhan dan alam seperti halnya ajaran Hamzah, tetapi harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits (syari'at). Tetapi Ia juga sempat mengecam Arraniri yang telah berani memvonis sesat pada Fansuri.

Sikap moderatnya itu menjadikan perhatian tersendiri dari Raja maupun masyarakat. Maka setelah itu muncul pula seorang sufi sunni yang meneruskan perjuangan 'Abdurrauf as-Singkili, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari. Ia adalah sufi yang juga mencoba mengambil jalan tengah antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, yang menurut Azyumardi Azra disebut dengan tasawuf Syuhudi (sejalan dengan konsep al-Sirkhindi dan al-Dihlawi).

Pada masa selanjutnya perjalanan islam diwarnai juga dengan kedatangan pasukan belanda pada abad 17, yang juga membawa misi kristenisasi, setelah berhasil menguasai Nusantara. Peperangan berlatar belakang agama itu dikenal dengan Perang Padri yang ditokohi oleh Imam Bonjol. Muncul pula penegasan identitas untuk rakyat Nusantara (baca: Indonesia) bahwa siapa yang anti belanda berarti dia islam, dan jika pro belanda berarti dia bukan islam.

Seiring waktu, peperangan itu bergeser menjadi "peperangan" antara kaum Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu disebabkan karena adanya tiga orang yang datang dari belajar di Makkah, lalu mengajarkan ajaran Wahabi di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh kubu Muhammadiyah dan sebagian kubu Sarikat Islam. Sementara kaum NU tetap getol mempertahankan tradisi agama nenek moyang (islam tradisional setempat). Setelah itu datang pula ajaran islam garis keras yang kemudian berusaha merebut kekuasaan Muhammadiyah dan NU. Hingga kini ratusan masjid Muhammadiyah dan ratusan masjid NU telah berhasil direbut oleh cabang-cabang islam garis keras.

Selasa, Februari 16, 2010

FALSAFAH CINTA


Segala permasalahan dalam kehidupan manusia ini bersumber dari berbagai hal yang mempengaruhi akal manusia. Sementara akal belum tentu sepenuhnya mampu menyambut dengan tepat atas apa yang sudah tertangkap sehingga akibatnya dapat memunculkan tindakan-tindakan keliru sebagai wujud dari kasimpulan pemikiran yang belum matang.

Perasaan sangat erat kaitannya dengan hal ini. Dan salah satu hal yang paling berpengaruh pada perasaan manusia adalah Cinta. Baik disadari atau tidak, perasaan cinta ini dapat menimbulkan tindakan-tindakan tertentu yang -secara langsung atau tidak langsung- mewujudkan perasaan cinta tersebut. Cinta adalah perasaan abstrak yang sulit dimengerti, sehingga banyak orang yang merasa salah tingkah, atau bahkan sembarang melakukan tindakan yang justru dapat menodai kesucian cinta itu sendiri.

Maka, dalam makalah ini kita akan membahas tentang perasaan cinta tersebut, yang tentunya tidak hanya sebatas sesama manusia, tetapi juga dengan semua makhluk lain, dan terlebih lagi dengan Tuhan. Dalam pembahasan ini, diawali dengan pemaparan definisi cinta menurut berbagai sumber. Kemudian diteruskan dengan pemaparan berbagai problematika tentang cinta, ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan cinta, dan dilanjutkan dengan kandungan filosofis dalam ayat-ayat tersebut. Kemudian diulas pula kandungan filosofis dalam kisah-kisah cinta yang masyhur.

***

Munculnya berbagai problematika tentang cinta dalam kehidupan manusia membuat ruang kegelisahan tersendiri di benak kita. Cinta telah dirasakan dan dikenal manusia sejak manusia itu pertama akali ada -yaitu Adam. Tetapi hingga kini pun, cinta masih banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang rumit jika dituntaskan. Malihat kenyataan ini, maka ini menunjukkan bahwa cinta masih menyimpan misteri yang belum terungkap. Dan sesuatu yang tersembunyi itu tentu merupakan pesan moral bagi manusia yang perlu digali.

Perasaan cinta itu memang manusiawi. Tetapi disaat-saat tertentu, perasaan cinta menjadi tidak manusiawi jika manusia itu terseret oleh arus cintanya sendiri. Seolah ada kakuatan lain yang menguasai hatinya, yang kemudian menjadikannya sebagai budak dari hatinya sendiri. Sehingga akibatnya jika ia tidak dapat mengambil alih kendali (berhasil menguasai hakikat cinta), maka ia akan terseret jauh dan membiarkan hatinya yang kosong serta akal fikirannya yang mati.

Banyak kita temukan kisah-kisah tentang cinta dari tokoh-tokoh terkemuka yang sedikit-banyak memberikan gambaran pesan-pesan yang terkandung di kisah-kisah itu, dengan bentuk pengalaman yang mereka alami. Sebagai contoh, yaitu kisah dari Adam dan Hawa, Laila “Majnun”, Rabi’ah al-‘adawiyah. Dapat pula dicontohkan kisah-kisah cinta dari negeri barat yang tentunya memiliki keresahan yang sama dalam mengerungi dunia cinta. Karena diyakini bahwa semua manusia mempunyai perasaan cinta yang dapat membuat bahagia di saat tertentu, dan dapat menyakitkan di saat tertentu pula.

Tuhan tentu tidak hanya sekedar iseng menciptakan perasaan aneh ini. Dia pasti menyisipkan pesan-pesan di dalamnya, agar kemudian manusia dapat mengambil sikap yang bijak dalam menanggapi dan menggunakannya. Kemudian menjadikan kesempurnaan dalam berkehidupan, sesuai dengan petunjukNya itu.

Berangkat dari kegelisahan itulah makalah ini dibuat, dengan harapan agar menjadi bahan perenungan tersendiri, terlebih lagi agar dapat menambah wawasan serta menenukan pesan-pesan yang terkandung pada perasaan dari Tuhan itu.

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sebelum membahas cinta lebih jauh, terlebih dahulu kita merambah ke segi definisinya. Ada beberapa opsi yang ditawarkan dari sumber-sumber yang berbeda. Cinta/Love/al-Hubb mempunyai arti: Perasaan kasih dan sayang; perasaan cenderung dan terpikat terhadap lain jenis; perasaan ingin dimiliki dan memiliki; perasaan rindu yang teramat dalam.[1]

Sebagian orang berpendapat bahwa cinta itu sulit untuk didefinisikan, karena merupakan hal yang tidak dapat diraba dan tidak tampak, sehingga sulit dijangkau dengan kata-kata. Seperti yang diungkapkan oleh ibn Qayyim, yang mengatakan; ”cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Bahkan jika didefinisikan, tidak menghasilkan (sesuatu), melainkan menambah kabur dan tidak jelas. (Berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri”. (Madarius Salikin, 3/9).[2]

Berbeda lagi jika mengais definisi cinta dari orang-orang yang sedang patah hati atau kecewa. Rasa sakit yang mereka rasakan sangat berpengaruh pada gaya pendefinisian cinta versi bebas. Dari mereka, diperoleh ungkapan bahwa cinta itu menyakitkan; cinta itu kejam; cinta itu tidak adil; bahkan menjijikan. Menanggapi hal ini, orang-orang yang berpikir lebih panjang mengatakan bahwa yang telah membuat sakit, kejam, tidak adil, dan sebagainya itu sebenarnya bukan cinta. Tetapi bisa dari sifat egois, matrealis, atau rasis dari si empunya cinta itu sendiri.

B. PROBLEMATIKA CINTA

Cinta merupakan perasaan yang sulit dikendalikan., bahkan selalu terkesan memaksa untuk dipenuhi apapun kemauannya. Inilah kiranya sebab dari munculnya berbagai problematika di dunia cinta.

Untuk mengulas problematika itu, disini perlu adanya pembagian terlebih dahulu tentang jenis-jenis cinta yang ada, berdasarkan pihak yang berbeda sebagai sasarannya. Karena dengan adanya perbedaan pihak ini, menyebabkan munculnya problematika yang berbada-beda pula. Jenis-jenis cinta itu adalah:

  1. Cinta antara dua insan

Cinta inilah yang kiranya paling sering memunculkan problematika. Jika masyarakat diluar sana mengucapkan kata “cinta”, maka mayoritas cinta jenis inilah yang mereka maksud. Ini adalah jenis cinta yang mengarah pada pernikahan dan hidup berdampingan. Perasaan yang muncul dengan tiba-tiba melalui tatapan mata. Tetapi bisa juga perasaan ini muncul secara tidak langsung, tapi bertahap seiring waktu.

Dari segi normalitas, cinta jenis ini dialami oleh sepasang pria dan wanita, yang kemudian mereka ingin menuju ke pernikahan. Baik pernikahan yang pertama maupun yang ke sekian kalinya. Perasaan ini tidak begitu mempedulikan perbedaan umur, harta , rupa, bahkan sifat. Tetapi yang ada hanyalah rasa sayang, kagum, dan rindu yang teramat dalam.

Sebagai suatu kecacatan dari perasaan cinta jenis ini adalah munculnya perasaan cita antara sesama laki-laki atau sesama perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di zaman sekarang, tapi sejak dahulu pun kasus ini telah menjadi kebiasaan pada zaman Nabi Nuh. Kemudian mereka mendapat laknat dari Allah sebagai tanda bahwa hal itu sangatlah dilarang.

Kemudian yang menjadi problematika dari cinta jenis ini adalah karena tidak adanya restu (dari siapapun), keadaan geografis yang tidak memungkinkan, atau adanya perasaan cinta yang hanya sepihak. Dari berbagai faktor tersebut, bisa menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti perilaku yang aneh, hilangnya semangat hidup, bahkan kriminalisasi.

Sebagai gambaran dari problematika itu, muncul kisah-kisah fiktif masyhur yang bukan tidak mungkin dialami juga oleh siapapun yang sedang jatuh cinta. Kita ambil contoh kisah cinta antara Laila dengan Qais (karya Nizami, dari Nadj, Jazirah Arab), dan kisah Romeo dengan Juliet (karya William Shakespeare, dari Verona, Italia):

1. Kisah “Laila-Majun”: Laila dan Qais adalah dua insan yang saling mencinta. Mereka berniat untuk hidup bersama sampai kapan pun. Tapi ketika Qais sedang mendampingi ayahnya pergi berniaga ke negeri lain (Damsyik, Jerussalem, Hims, Halb, dan Irak), laila akan dinikahkan secara paksa oleh ayahnya, dengan seorang saudagar kaya bernama Sa’d bin Munif dengan maskawin 1.000 dinar, yang membuat ayah laila kegirangan. Laila tidak bias menolak keputusan ayahnya, karena saat itu adapt mengatakan bahwa laki-laki brkuasa atas perempuan (apalagi antara ayah dan anak). Dalam pelayarannya, Qais merasakan kerinduan yang teramat dalam. Karena merasakasihan dengan Qais, ayahnya memutuskan untuk kembali pulang, dan kemudian langsung melamarkan Lailauntuk Qais, dengan maskawin seratus unta. Tapi kemudian ayah Qais sangat kecewa setelah lamarannya ditolak, dan mendengar keputusan bahwa Laila akan segera menikah dengan orang lain. Setelah Qais mengetahuio hal ini, tentu saja hatinya terasa hancur tak terkira. Sampai-sampai ia menjadi pendiam, bahkansering berbicara sndiri. Karena itulah orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan “majnun” (orang gila). Walau telah menjadi istri Sa’d, tapi cinta suci Lila tetap hsnys untuk Qais. Karena tidak kuatdengan penderitaan cinta itu, Laila menjadi sakit, dan selalu menyebut nama Qais. Qais pun dipanggil untuk menemani Laila. Setelah mereka bertemu, Laila mengatakan sesuatu pada Qais, bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai kekasih ang abadi. Kemudian Laila meninggal. Hancurlah hati Qais untuk kedua kalinya. Kini Qais tidak mempunyai semangat hidup lagi. Yang ia lakukan hanya menunggui pusara Lila, smpai ia meninggal. Kemudian jasat Qais pun dimakamkan di samping makam Laila. Sekitar sepuluh tahun kemudian, ada beberapa musafir berziarah kemakam Laila dan Qais. Mereka melihat rumpun bamboo yang tumbuh di atas kedua makam itu. Dan bagian ujung bamboo itu saling berpelukan. Maka mulai masyhurlah kisah Lila dan Qais dengan sebutan Lila “Majnun”.

2. Kisah Romeo-Juliet: Ketika Juliet telah berusia 17 tahun, orang tuanya mengadakan pesta ulang tahun untuk puteri mereka itu, sekaligus juga memperkenalkan Juliet dan Valiant Paris, pemuda pilihan orang tuanya. Ayah Juliet adalah pemimpin dalam keluarga Capulets yang mempunyai permusuhan begitu lsms dengan keluarga Mountage, sejak nenek moyang keduannya. Romeo, adalah pemuda dari keluarga Mountage yang saat itu baru saja putus cinta karena kekasihnya menikah dengan pria lain. Pada malam pesta dikediaman Capulets, Romeo yang lewat depan Puri kediaman Capulets secara tiba-tiba tertarik untuk masuk secara diam-diam ke dalam Puri kediaman Capulets untuk mengetahui keramaian yang ada di dalamnya. Disanalah Romeo menemukan perasaan cintanya kembali ketika terpesona saat melihat Juliet di pesta ulang tahunnya. Kemudian mereka dapat berkenalan, dan mempunyai kesan didalam hati masing-masing. Sejak pertemuan itu Romeo dan Juliet menjadi pasangan kekasih dimana cinta mereka dirahasiakan dari kedua belah pihak keluarga mereka, yang tentunya tidak menyetujui hubungan itu. Hingga pada suatu hari, terjadi peristiwa yang melibatkan Romeo dan salah satu keluarga Capulets, yang menyebabkan kematian seseorang bernama Mercutio. Mercutio adalah kerabat dari keluarga Mountage. Ia meninggal karena bertarung dengan Tybalt dari keluarga Capulets. Kematian sahabatnya membuat Romeo menjadi gelap mata, dan kemudian balas membunuh Tybalt. Perbuatan Romeo membuat dia dihukum tidak boleh lagi kembali dari Verona untuk selama-lamanya, sehingga terpisah dari kekasihnya Juliet. Dilain pihak, orang tua Juliet tidak bisa menolak lamaran dari Valiant Paris untuk menikahi Juliet. Sehingga mereka memaksa Juliet untuk menikah secepatnya dengan pilihan orang tuanya. Juliet bersedih akan keputusan itu dan ia berusaha menghubungi Romeo melalui guru Romeo atas rencana pernikahannya dengan Valiant Paris. Untuk mencegah pernikahan yang akan dilangsungkan dalam dua hari mendatang, maka sang guru menggunakan ramuan obat tidur untuk membuat Juliet mati suri selama 2 hari sehingga keluarga Juliet tidak bisa menikahkan dia. Sang guru juga berusaha menghubungi Romeo akan rencana itu, tapi surat yang berisikan rencana matang itu tidak sampai pada Romeo. Dan ketika Romeo kembali ke kota dan mendapati sang kekasihnya telah meninggal, maka ia langsung mendatangi tempat Juliet dibaringkan. Melihat Juliet telah mati maka Romeo pun membunuh dirinya disamping jasat kekasihnya dengan membawa perasaan sedih mendalam. Ketika pengaruh obat tidur itu hilang, Juliet tersadar tapi ketika melihat Romeo yang ada disampingnya telah mati membuat Juliet menyusul Romeo dengan mengakhiri hidupnya juga. Sebuah akhir dari tragedi cinta dalam permusuhan diantara dua keluarga besar Capulets dan Mountage.

Dengna melihat dari kedua fiksi diatas, dan umumnya dari semua problematika cinta yang terjadi, menunjukkan adanya ketidakmulusan perjalanan cinta. Jika ndirenungkan lebih dalam, maka akan memunculkan lebih banyak pertanyaan yang membuat pemnbahasan melebar jauh.

  1. Cinta kepada Keluarga

Perasaan jenis ini berbeda dengan jenis yang pertama. Karena lebih berupa rasa saying, bakti dan hormat kepada orang tua dan saudara, yang sama sekali tidak -bahkan dilarang- jika berniat pada pernikahan. Rasa saying ini mulai timbul setelah pengenalan. Bayi yang baru mengenal ayah dan ibunya, adik yang baru manganal kakaknya, cucu yang baru mengenal neneknya, dan lain sebagainya.

Pada suatu ketika perasaan cinta dalam jenis ini dapat bertentangan dengan cinta yang berupa asmara kepada seorang kekasaih. Sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang rumit. Maka memerlukan keputusan yang tepat dan bijak agar dapat diterima oleh kedua pihak tersebut.

Sebagai wujud dari cinta kepada keluarga adalah mematuhi kadua orang tua, saling bantu-membantu antar saudara, menjaga kerukunan, perasaaan, dan nama baik keluarga.

  1. Cinta kepada Tuhan

Cinta jenis ini tentu bereda dengan jenis sebelumnya. Perasaan ini susah sekali terwujud, karena memang memerlukan “usaha” yang besar , terutama usaha yang berupa kesungguhan dalam batin.

Lain halnya dengan praktek peribadatan. Perasaan terhadap Tuhan tidak bisa diukur dengan ketaatan dalam menjalankan syari’at yang berupa praktek peribadatan, baik yang sakral maupun tidak. Karena seperti yang kita tahu bahwa perasaan cinta bukanlah sesuatu benda yang terlihat mata, apalagi terukur. Karena itu, terasa sukar juga jika mendevinisikan cinta kepada Tuhan.

Telah disepakati bahwa cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa pamrih. Maka dapat dikatakan disini bahwa cinta kepada Tuhan sangat erat kaitannya dengan keikhlasan. Percaya bahwa Tuhan itu ada dengan ke-Esa-anNya, percaya atas firman-firmanNya, dan mematuhi segala “permintaan”Nya dengan tanpa pamrih. Walau tentu belum pernah memandang wujud Tuhan, tetapi hal itu justru menjadi unsur kerinduan yang mendalam.

Ketiga jenis cinta diatas jelas mempunyai arah masing-masing yang sama sekali berbeda. Jika dalam diri seseorang mempunyai upaya untuk melengkapi ketiga jenis cinta itu, tentu sangat sulit untuk membaginya. Bukan hanya membagi hati, tapi juga membagi waktu agar ketiganya dapat secara maksimal terpenuhi. Karena itu, muncul suatu solusi alternatif yang menawarkan pencerahan, yang mengatakan bahwa cinta terhadap manusia itu sama dengan cinta terhadap Tuhan. Keduanya cukup berada pada satu tempat yaitu hati. Maka tidak perlu dibedakan, yang akibatnya harus membagi hati. Kemudian, yang menjadi ukuran hingga taraf 100% adalah kesungguhan hati, memusatkan cinta terhadap apa yang saat itu berada di “depannya”. Jika pada suatu waktu kita memenuhi dan menyelesaikan suatu hal yang menjadi perintah agama, maka saat itulah kita sedang memenuhi 100% cinta kepada Tuhan (tentunya dengan hati yang ikhlas). Jika pada waktu yang lain kita memenuhi dan menyelesaikan hal yang bersifat sosialis, maka saat itu pula kita sedang memenuhi 100% cinta kepada manusia, yang bisa juga terkait bagian dari cinta kepada Tuhan. Maka, taraf cinta antara satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda, dan dapat pula sama, tergantung keikhlasan hati. Maka sekali lagi, tidak perlu mempertentangkan antara sasaran pihak yang dicintai.[3]

C. FALSAFAH CINTA

Salah satu nama Tuhan adalah al-Wadud, dan di dalam al-Qur’an terdapat begitu banyak keterangan tentang cinta atau hubb, seperti ayat yang mengatakan, “....maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”. (QS.al-Ma’idah (5): 54). Adalah keyakinan umat islam bahwa Allah Maha Mencintai sebagaimana Dia adalah Maha Pengasih dan Maha Pemaaf seperti ditegaskan dalam ayat-ayat berikut ini, ”.....sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih” (QS. Hud (11): 90), dan , “Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Buruj (85): 14).[4]

Islam menyatakan bahwa Tuhan adalah Cinta, karena hal ini merupakan salah satu nama-nama Tuhan. Tetapi islam tidak mengidentifikasi Tuhan semata-mata dengan cinta saja karena Dia juga adalah Pengetahuan, Cahaya, Keadilan, dan Kebesaran, begitujuga Keamaian dan Keindahan. Namun, Dia tidak pernah tanpa cinta, dan cintaNya adalah faktor dasar bagi penciptaan alam serta bagi hubungan kita dan Dia.[5]

Maka telah jelaslah bahwa Tuhan mempunyai keagungan cinta. Allah menciptakan segala makhluk (termasuk manusia) dengan rasa cinta. Maka sangatlah wajar jika objek penciptaan Tuhan dengan rasa cinta itu memiliki cinta pula yang merupakan pancaran dari cinta Tuhan. Hal ini harus diketahui, dimengerti, dan disadari. Karena ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa jika mausia mempunyai rasa cinta pada sesuatu harus karena Allah. Cinta yang dirasakan manusia adalah merupakan pancaran dari cinta yang dimiliki Tuhan. Maka jika manusia mencintai sesuatu hal disekelilingnya, haruslah karena Allah, atau atas dasar cinta kepada Allah. Agar selalu mengingat dari mana rasa cinta itu berasal, dan agar timbul pula unsur rasa syukur terhadap Tuhan atas kenikmatan cinta yang telah diberikan.

Pada level yang lebih praktis, cinta dalam kehidupan muslim memiliki contohnya dalam cinta Tuhan kepada nabi dan cinta nabi kepada Tuhan. Bagi manusia, cinta kepada Tuhan mensyaratkan cinta kepada nabi, dan cinta kepada nabi serta para wali, yang merupakan pewaris biologis maupun spiritual nabi, mengharuskan cinta kepada Tuhan. Lebih juah, terdapat level cinta yang alamiah pada manusia: cinta romantis, cinta anak dan orang tua, cinta keindahan seni dan alam, cinta pengetahuan, dan bahkan cinta kekuasaan, kekayaan, ketenaran, yang kesemuanya, karena diarahkan kepada dunia, bagaimana pun, dapat membahayakan jiwa. Dalam pandangan islam, semua cinta yang bersifat duniawi harus didasarkan dan tidak dipisahkan dari cinta kepada Tuhan, dan segala cinta yang menafikan Tuhan dan menjauhkan kita dari Tuhan adalah suatu ilusi yang dapat menggiring pada keruntuhan jiwa. Para wali islam bahkan telah menetapkan doktrin bahwa hanya cinta tuhanlah yang riil dan cinta yang lain hanyalah metafora atau hiasan. Akan tetapi, cinta metafora ini juga riil pada tatanannya sendiri dan bahkan merupakan anugrah Tuhan kalau cinta itu dihayati dengan seberarnya dsan digunakan sebagai tangga untuk mencapai cinta yang paling riil yaitu cinta kepada sumber dari segala cinta, Tuhan.[6]

Dalam dunia cinta dikenal pula rasa patah hati, kecewa, dan cemburu. Hal ini terjadi kepada seseorang yang telah disakiti dengan diduakan, disepelekan, dibohongi, atau diacuhkan cintanya. Hampir semua orang pernah merasakan hal ini. Tetapi sepertinya sedikit dari mereka yang menyadari bahwa hal itu juga merupakan gambaran yang ditunjukkan oleh Tuhan atas pesrasaan cinta Tuhan yang sering diduakan, disepelekan, dibohongi dan di acuhkan oleh manusia.

Tuhan tidak merasakan sakit atas semua perlakuan manusia itu. Hanya saja mempunyai rasa cemburu yang besar jika ada cinta lain (baca: tuhan lain) yang disukai oleh manusia. Bahkan dijelaskan bahwa dosa atas perlakuan itu tidak terampuni.

”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat mencintai Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaamn Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaanNya (niscaya mereka menyesal)”. (QS. al-Baqarah: 165)

Tuhan memerintahkan agar kita berbakti dan mencintai orang tua dan keluarga, karena didalam sikap itu terdapat kebaikan-kebaikan yang tanpa mengandung kerugian dan dosa berbakti kepada orang tua adalah sikap yang sangat relevan dan mulia, karena memang orang tualah yang telah mengandung, melahirkan, merawat kita, dan sebagainya. Sudah seharusnya seorang anak membalas budi dengan bakti dan cinta terhadap orang tua, walaupun seandainya Tuhan tidak memerintahkan. Tetapi walau demikian relevennya, tetap saja banyak dari manusia yang mengacuhkan kewajibannya itu hingga Tuhan pelu mengingatkannya.

Cinta erat kaitannya dengan nafsu. Bahkan terkadang sulit dibadakan antara keduanya. Hal ini bisa terjadi pada kaum muda, yang masih mempunyai hati yang rawan bergelora. Sehingga banyak dari mereka yang menganggap bahwa perasaan cinta hanyalan sebuah permainan nyang dapat diperlakukan suka-suka. Mereka tak menyadari bahwa cinta telah pergi dari hati mereka karena tertindih nafsu yang lebih besar.

Setan sangat menyukai hal itu. Karena justru si empunya nafsu itulah yang saat itu sedang menjadi bahan permainan oleh setan. Kemudian, setanlah uyang menjadi nahkoda dari perahu yang tak berdaya itu untuk menerobos batu-batu karang syari’at agama.

Perbedaan antara cinta dan nafsu adalah; kedatangan perasasan cinta itu tak bisa ditolak, selama belum dengan sendirinya menghilang, perasaan cinta akan tetap terasa, bahkan semakin menguat, walaupun dihalang dengan segala upaya untuk menghilangkannya. Berbeda dengan nafsu (syahwat) yang bersifat selalu menuju pada kejelekan. Memang juga datang dengan sendirinya, tetapi nafsu itu dapat dicegah, atau mungkin diarahkan pada hal yang lebih pantas. Tidak mudah mengusir nafsu negatif ini. Maka yang dapat mengusirnya dengan kuat adalah kekuatan hati pula. Karena yang menjadi sasaran utama nafsu sadalah hati. Jika raga melakukan upaya keras (misaklnya dengan selalu menjaga kesucian, mengalihkan perbuatan pada hal-hal positif), kemudian diiringi dengan kesungguhan hati, maka Tuhan akan menolong orang-orang yang berupaya keras. Bahkan al-Qur’an pun juga telah menyampaikan contoh cara-cara mencegah merajanya nafdsu.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihata kemaluannya; yang demikian itu adalah labih suci bagi mereka, sesungguhnay Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. al-Nur: 30)

“katakanlah pada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiaannya kecuali kepada suami merka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau perta-perta mereka” (QS. al-Nur: 31)

Sementara jika berbicara tentang cinta kepada Tuhan, berkaitan erat dengan ranah sufistik. Seorang sufi sejati adalah orang yang melabuhkan cintanya hanya kepada Allah SWT., walaupun tetap bergaul dengan duniawi. Dia mempunyai cinta yang begitu besar pada tuhan, hingga tak terhalang oleh apapun. Ia melakukan peribadatan atas dasar cinta, bukan syari’at,. Itu sebabnya seringkali mereka tak begitu memperhatikan syari’at, tapi justru mengunggulinya. Surga bukanlah tujuan mereka, melainkan hanya berupa “bonus” yang mana mereka juga tidak menolaknya. Karena yang mereka inginkan hanyalah balas cinta dari Tuhan, kemudian dapat bertemu dan berada di sisinya selalu.

Bahkan dikisahkan dalam alur fiktif, bahwa ada seseorang yang bernama farisi terbiasa hidup dengan sederhana kemudian takdir mengatakan bahwa ia mendapatkan surga, tetapi setelah sampai di surga farisi justru muak melihat gelimang kemewahan kenikmatan dan orang-orang yang mengumbar nafsu di surga. Ia terus berjalan mencari keberadaan Allah.,tetapi setiap orang yang ditanyainya selalu tak peduli karena keenakan dengan nafsunya. Ia muak berada di surga. Ia ingin kembali ke dunia menikmati hidup bersama Tuhan, menikmati indahnya beribadah dengan kesederhanaan. Tetapi setelah ia bertemu Tuhan disurga, kemudain ia di tempatkan di manzilah baina manzilataini.[7]

Salah satu nikmat cinta adalah, ia selalu memuat hati merasa bahagia dan hidup. Tetapi sakit hati juga tentu tak luput dari perjulanan cinta, karena itu semata-mata hanyalah ujian dan peringatan dari Allah, bahwa segala cinta akan hilang, kecuali cinta Tuhan yang Maha Kasih. Cinta Allah meliputi seluruh alam. Itulah cinta teragung yang pernah ada. Jika seorang manusia menjadikan pihak lain sebagai sekutu cinta dari Allah, maka sungguh itu merupakan suatu kebodohan yang tanpa disadari.


[1] Kamus Bahasa Indonesia, Amran Y.S. Chaniago, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997

[2] Arti Sebuah Cinta, Abu Usamah Abdurrahman (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online

[3] Disampaikan di Work Shop Bedah Buku Islam Madzhab Cinta

[4] the heart of islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan, Seyyed Hossein Nasr, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2003. hal.251

[5] ibid, hal.252

[6] Ibid, hal.254

[7] Kitab Dusta Dari Surga, Aguk Irawan MN., P_idea, kelompok Pilar Media (anggota IKAPI), Yogyakarta, 2007.