Minggu, Februari 13, 2011

PROGRESIFITAS PERAN AL-QUR’AN DALAM SEMANGAT BERWACANA DAN BERAGAMA

Slogan al-Qur’an yang Shalihun li kulli zaman wa makan, tetap menjadi acuan tersendiri yang memberikan semangat untuk tetap mengkaji al-Qur’an dengan berbagai penafsiran kontemporer yang disesuaikan dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh para tokoh pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Muhammad Syahrur, Farid Esack, dan sebagainya. Selain itu ada pula beberapa tokoh yang memaknai al-Qur’an dengan gaya rasionalitasnya, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Selain itu, berbagai komunitas intelektual muslim di Indonesia juga mempunyai sikap kritis dalam mengkaji al-Qur’an. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang telah cukup dikenal dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL). Mereka menganggap bahwa al-Qur’an (islam) adalah layaknya organisme yang hidup dan harus dihidupkan, bukan sebuah monument mati yang dipahat pada abad ke tujuh masehi yang tidak boleh disentuh tangan sejarah. Maka pemaknaan terhadap al-Qur’an harus tetap hidup dengan relefansinya terhadap problem manusia, sesuai konteks kontemporer, sebagai progresifitas penafsiran.

Penafsiran progresif ini menawarkan kontekstualisasi penafsiran al-Qur’an (islam) yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan manusia, dengan tanpa taqlid buta. Hal ini tentu berbeda dengan islam militan dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya.

Hermeneutika disebut-sebut sebagai salah satu metode kontemporer dalam mengkaji al-Qur’an sejak dekade 1960-an, dan mulai dikenal luas pada tahun 1970-an, tepatnya setelah Fazlur Rahman merumuskan konsep Hermeneutikanya. Para pemikir yang berkonsentrasi pada konsep hermeneutika ini mempunyai sikap yaitu pemberdayaan teks sebagai pusat makna, seperti apa yang diupayakan oleh Arkoun dan Abu Zayd; atau pembaca sebagai pusat makna, seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Farid Esack, dan Amina Wadud Muhsin. Dalam konteks pemberdayaan pembaca inilah muncul hermeneutika yang dikonstruksi untuk maksud-maksud tertentu, seperti untuk pembebasan rakyat dari ketertindasan, untuk membangun hubungan harmonis antar agama, untuk menghilangkan ketidakadilan gender, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena pandangan bahwa pembaca, baik dalam pengertian individual maupun komunallah yang menjadi pusat makna. Pengalaman hidup dan situasi kekinian pembacalah yang menuntut upaya pembacaan ulang atas teks keagamaan. Al-Qur’an ditarik ke masa kini, dan bukannya manusia masa kini yang ditarik ke masa turunnya al-Qur’an. Pembacalah yang menyerap teks, bukan sebaliknya.

Walau dengan teks al-Qur’an yang sama, namun pemaknaan yang berbeda-beda, dunia tafsir sudah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi teks lain yang tak kalah rumitnya. Perkembangan teks sealur dengan kebutuhan, bukan teks itu diubah secara materi, tetapi bagaimana teori, metode, teknik mengartikannya yang dikembangkan. Ilmu tafsir dengan begitu telah menemukan dan menciptakan dunianya, yang justru lebih berkembang dari teks al-Qur’an. Karena bentuk material dari teks tidak bisa diubah maka unsur immaterialnya: verstehende yang berubah setiap saat.

“Setiap orang memahami teks al-Qur’an sesuai dengan kedudukan politik, sosial dan ekonominya. Dan interpretasi tentu saja sangat dipengaruhi oleh kedudukan mereka itu. Sangat sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang berusaha mengetahui maksud Tuhan sesuai dengan kedudukannya. Dan interpretator-interpretator zaman klasik, setelah mengutarakan pendapatnya tentang suatu ayat, selalu mengatakan Allahu a’lam bissawab, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya”.

(Asghar Ali Engineer)