Selasa, Mei 31, 2011

MENGANGKAT PERAN USHUL FIQH

Seiring dengan perkembangan zaman maka mau tidak mau hukum islam pun juga harus memposisikan diri. Posisi dari hukum islam ini tentu bukan berarti memanjakan kepentingan perkembangan zaman tersebut, namun bentuk adaptasi sebagai pengarah dan pendamping, agar perkembangan zaman itu selalu tak lepas dari perhatian, pengawasan, bahkan dukungan dari islam sendiri.
Dukungan islam ini sangat penting untuk perkembangan kehidupan masyarakat islam khususnya. Karena posisi islam bukan hanya sekedar identitas agama, tetapi telah menyatu dengan jiwa umat, yang akan selalu menjadi pertimbangan di setiap sikap yang mereka ambil. Maka selalu diperlukan pula keputusan hukum yang bijak atas nama agama yang dapat memenuhi esensi kebutuhan jiwa umat. Sekali lagi, bukan untuk memanjakan, tetapi untuk mengarahkan agar selalu dalam koridor kemaslahatan.
Sebagai sumber pokok dalam memberi kebijakan tersebut adalah al-Qur’an dan Hadits. Sementara sudah menjadi kesadaran umum bahwa dalam al-Qur’an dan Hadits belum ditemukan keputusan konkrit yang sesuai dengan permasalahan yang selalu baru. Maka masih perlu adanya ijtihad untuk mempertimbangkan dan menentukan keputusan yang harus segera diambil.
Kemudian salah satu metode yang ditawarkan untuk mengambil keputusan bijak itu adalah metode Ushul Fiqh yang dikonsep oleh imam Syafi’i. keistimewaan ushul fiqh sudah cukup dikenal di kalangan muslimin. Bahkan hampir seluruh kelompok muslim mengapresiasi dan menyetujui metode yang dikandung. Selain itu, ushul fiqh juga mempunyai kaidah-kaidah yang memuat alternatif dalam menghadapi suatu permasalahan.
Namun ternyata, ketika mereka menghadapi konflik atau sebuah pertentangan seputar agama, mereka seakan melupakan metode ushul fiqh ini. Mereka hanya rajin mempelajari metode ushul fiqh di bangku sekolah saja, tanpa menjadikannya referensi dan petunjuk untuk menyelesaikan problem keagamaan mereka. Seringkali terjadi pertentangan yang tak kunjung berakhir karena memakai ijtihad hanya di seputar al-Qur’an dan Hadits saja, atau memakai produk pemikiran barat. Adapun jika pertentangan itu akhirnya selesai, seringkali semata-mata karena unsur perdamaian atau penghormatan terhadap pendapat orang lain. Tidak ada titik temu yang jelas dalam pertentangan itu yang dapat menjadi penerang di masing-masing pihak. Sementara saya yakin hasil dari ushul fiqh inilah yang dapat menjadi penerang itu.

Minggu, Februari 13, 2011

PROGRESIFITAS PERAN AL-QUR’AN DALAM SEMANGAT BERWACANA DAN BERAGAMA

Slogan al-Qur’an yang Shalihun li kulli zaman wa makan, tetap menjadi acuan tersendiri yang memberikan semangat untuk tetap mengkaji al-Qur’an dengan berbagai penafsiran kontemporer yang disesuaikan dengan akselerasi perkembangan kondisi sosial budaya dan peradaban manusia. Dekonstruksi sekaligus rekonstruksi metodologi penafsiran al-Qur’an dilakukan oleh para tokoh pemikir muslim kontemporer, seperti Fazlur Rahman, M. Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Hasan Hanafi, Muhammad Syahrur, Farid Esack, dan sebagainya. Selain itu ada pula beberapa tokoh yang memaknai al-Qur’an dengan gaya rasionalitasnya, seperti Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.

Selain itu, berbagai komunitas intelektual muslim di Indonesia juga mempunyai sikap kritis dalam mengkaji al-Qur’an. Salah satunya adalah sebuah kelompok yang telah cukup dikenal dengan nama Jaringan Islam Liberal (JIL). Mereka menganggap bahwa al-Qur’an (islam) adalah layaknya organisme yang hidup dan harus dihidupkan, bukan sebuah monument mati yang dipahat pada abad ke tujuh masehi yang tidak boleh disentuh tangan sejarah. Maka pemaknaan terhadap al-Qur’an harus tetap hidup dengan relefansinya terhadap problem manusia, sesuai konteks kontemporer, sebagai progresifitas penafsiran.

Penafsiran progresif ini menawarkan kontekstualisasi penafsiran al-Qur’an (islam) yang terbuka, ramah, segar, serta responsif terhadap persoalan-persoalan manusia, dengan tanpa taqlid buta. Hal ini tentu berbeda dengan islam militan dan ekstrimis yang tetap berusaha menghadirkan wacana penafsiran masa lalu serta menutup diri terhadap ide-ide baru yang berasal dari luar kelompoknya.

Hermeneutika disebut-sebut sebagai salah satu metode kontemporer dalam mengkaji al-Qur’an sejak dekade 1960-an, dan mulai dikenal luas pada tahun 1970-an, tepatnya setelah Fazlur Rahman merumuskan konsep Hermeneutikanya. Para pemikir yang berkonsentrasi pada konsep hermeneutika ini mempunyai sikap yaitu pemberdayaan teks sebagai pusat makna, seperti apa yang diupayakan oleh Arkoun dan Abu Zayd; atau pembaca sebagai pusat makna, seperti Fazlur Rahman, Hasan Hanafi, Farid Esack, dan Amina Wadud Muhsin. Dalam konteks pemberdayaan pembaca inilah muncul hermeneutika yang dikonstruksi untuk maksud-maksud tertentu, seperti untuk pembebasan rakyat dari ketertindasan, untuk membangun hubungan harmonis antar agama, untuk menghilangkan ketidakadilan gender, dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena pandangan bahwa pembaca, baik dalam pengertian individual maupun komunallah yang menjadi pusat makna. Pengalaman hidup dan situasi kekinian pembacalah yang menuntut upaya pembacaan ulang atas teks keagamaan. Al-Qur’an ditarik ke masa kini, dan bukannya manusia masa kini yang ditarik ke masa turunnya al-Qur’an. Pembacalah yang menyerap teks, bukan sebaliknya.

Walau dengan teks al-Qur’an yang sama, namun pemaknaan yang berbeda-beda, dunia tafsir sudah berkembang sedemikian rupa hingga menjadi teks lain yang tak kalah rumitnya. Perkembangan teks sealur dengan kebutuhan, bukan teks itu diubah secara materi, tetapi bagaimana teori, metode, teknik mengartikannya yang dikembangkan. Ilmu tafsir dengan begitu telah menemukan dan menciptakan dunianya, yang justru lebih berkembang dari teks al-Qur’an. Karena bentuk material dari teks tidak bisa diubah maka unsur immaterialnya: verstehende yang berubah setiap saat.

“Setiap orang memahami teks al-Qur’an sesuai dengan kedudukan politik, sosial dan ekonominya. Dan interpretasi tentu saja sangat dipengaruhi oleh kedudukan mereka itu. Sangat sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh Tuhan. Setiap orang berusaha mengetahui maksud Tuhan sesuai dengan kedudukannya. Dan interpretator-interpretator zaman klasik, setelah mengutarakan pendapatnya tentang suatu ayat, selalu mengatakan Allahu a’lam bissawab, hanya Allah yang mengetahui kebenarannya”.

(Asghar Ali Engineer)

Kamis, September 30, 2010

PENYELAMATAN KATA “PERSATUAN” DARI HAMBARNYA SEKEDAR SLOGAN

Sekelumit Pengakuan

Ketika Nusantara telah percaya diri untuk berubah menjadi Indonesia, ketika para pejuang telah merasa kuat melawan penindas, dan ketika bendera Merah Putih telah berani berkibar bebas di tengah bangsa, sama sekali tidak ada perbedaan warna pakaian yang mengganggu. Tetapi kini, masyarakat justru telah terbiasa dengan berita-berita konyol, yang menyuguhkan berbagai perselisihan di tengah rakyat, maupun di kalangan pemerintah, yang konon disebabkan karena perbedaan golongan.

Memang terlalu memalukan jika diungkit lebih panjang. Tetapi berbicara tentang golongan dalam masyarakat yang beragam, sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang menjadi biang keladi sebuah perselisihan. Karena jika hal itu dianggap sebagai biang keladi, maka tentunya yang menjadi momok utama adalah konsep Demokrasi. Namun anehnya, ternyata Demokrasi masih dijunjung tinggi di Negara ini. Maka sebenarnya adanya keberagaman golongan adalah hal yang wajar dalam lapisan masyarakat, karena memang melalui media itulah ideologi dan ekspresi tersalurkan sesuai dengan taraf dan motif masing-masing. Bahkan keberagaman tersebut terhitung penting sebagai penyumbang berbagai ide yang menjadi opsi demi kemajuan, dan sebagai wujud pengabdian kepada bangsa.

Kata “Persatuan” telah tertera selama puluhan tahun pada poin nomor tiga Pancasila. Namun kini implementasinya sama sekali tidak memuaskan asumsi. Maka alih-alih persaingan memajukan bangsa dan negara, alasan itulah yang selalu dijadikan kambing hitam oleh para oknum, ditengah rakyat yang terlanjur lelah mendengarnya. Perselisihan bahkan pertikaian masih sering kita temui di Negeri ini, dan seringkali itu disebabkan oleh hal sepele. Tidak lain tentu yang demikian itu disebabkan adanya dominasi sifat egois dengan pendapat sendiri, gengsi jika harus menarik kembali pendapatnya, maupun memang ada unsur persaingan yang tidak sehat sejak lama. Sebagai contohnya, pertikaian antar suku terjadi di Poso, perselisihan antar organisasi islam, antar Partai Politik saling bertanding atas kepentingan Partai, fenomena keributan para Anggota Dewan di gedung DPR, dan masih banyak lagi.

Pancasila mewantikan sebuah persatuan. Sementara persatuan yang dimaksud tentu saja bukan sebagai pasukan perang yang berkumpul dalam satu komando, karena setiap golongan mempunyai keunggulan masing-masing dalam sikap Nasionalisnya. Tetapi persatuan yang dimaksud adalah adanya cita-cita yang sama terhadap bangsa dengan sikap fokus, terbuka, teliti, tegas dan toleran, meskipun berada pada berbagai kotak golongan/ komunitas yang berbeda.

Bangsa yang terkotak-kotak bukanlah suatu kecacatan, tetapi justru menunjukkan adanya berbagai komunitas dengan berbagai keistimewaannya pula. Sementara yang menjadi benalu di antara kotak-kotak tersebut adalah adanya budaya rivalitas golongan yang membawa pada rivalitas antar individu. Ini terjadi bukan hanya di kalangan pemerintahan, tetapi dimana pun dan dalam bidang apapun. Di masyarakat kota nuansa politik birokrasi sangat mempengaruhi, yang dapat membentuk pagar-pagar pemisah antar masyarakat secara alami dan betahap –selain karena di sisi lain, biasanya sikap warga perkotaan memang cenderung tertutup terhadap orang lain. Di masyarakat desa kini mulai merambah pula pengaruh dunia politis, namun tetap saja yang lebih menjadi perhatian adalah adanya perbedaan berbagai organisasi keagamaan dalam masyarakat. Tapi karena masyarakat desa mempunyai sifat yang terbuka dan mementingkan asas kekeluargaan, maka pagar pembatas antar masyarakat itu samar terlihat. Kemudian, jika masyarakat kota dan desa ini dikumplkan dalam satu wadah perbandingan, maka muncul pula hal lain yang turut membentuk dua kotak besar, yaitu kotak masyarakat modern yang identik dengan rasionalisme dan kotak masyarakat tradisional yang identik dengan mistisme.

Keberagaman komunitas ini juga terjadi pada kaum pemuda, terutama gerakan Mahasiswa. Bersifat non-akademis, terlepas dari kepentingan Perguruan Tinggi. Bisa bidang politik, agama, maupun yang lain. Pada Mahasiswa telah terbiasa pula -dan terus saja membiasakan diri- dengan rivalitas antar kelompok. Padahal banyak juga dari mereka yang tidak mengerti mengapa mereka harus mewaspadai kelompok lain. Keadaan ini tentu membawa dampak tersendiri di kegiatan akademis bahkan dalam kehidupan sehari-hari.

Gue sudah muak dengan semua itu. Sangat disayangkan jika orang-orang yang tergolong kaum intelektual justru menciptakan iklim dokmatis dalam suatu komunitas, yang biasanya dibungkus dengan konsep disiplin. Sehingga jika ada seorang anggota yang melanggar, akan muncul klaim penghianat, penyusup, sesat, murtad, atau yang lainnya, tanpa ada kesadaran untuk introspeksi kebijakan. Hal-hal semacam inilah yang membuat terputusnya rantai persatuan antar golongan (jika rantai itu pernah ada). Rantai yang memuat cita-cita esensial seluruh aktifis nasionalis, yaitu kemajuan dan kemakmuran bangsa.

Cahaya Sebatang Lilin

Mendirikan sebuah Negara dapat diibaratkan dengan bekerja keras membangun pabrik. Pengelola tentu mempunyai segudang cita-cita dengan mempunyai pabrik itu. Namun dia juga sadar betul bahwa jika pabrik benar-benar telah berdiri, tentu dalam perjalanannya nanti akan banyak menemui rintangan, yang seolah-olah merupakan hal wajib yang harus dilalui seseorang yang ingin sukses. Baik rintangan yang bersifat intern maupun ekstern. Maka sistem yang bijak tentu akan membudayakan rapat atau musyawarah, baik secara formal maupun non-formal, untuk membicarakan segala permasalahan, tanpa membedakan status. Begitu pula Negara seharusnya, selalu membudayakan musyawarah antar golongan, instansi, maupun individual. Selain dapat menemukan titik pangkal permasalahan sekaligus penyelesaiannya secara bersama, juga dapat mempererat tali persaudaraan dan persatuan. Maka Negara yang dianalogikan dengan sebuah pabrik ini akan semakin berkembang karena menggunakan setiap potensi yang ada, sekecil apapun, tanpa ada pembedaan pihak. Dan yang lebih membanggakan lagi, perkembangan itu merupakan hasil pikiran bersama dengan hubungan kekeluargaan dan komunikasi yang baik.

Saya percaya bahwa setiap kelompok komunitas Nasionalis baik lembaga maupun non-lembaga mempunyai tujuan yang mulia untuk bangsa, kecuali beberapa oknum yang sengaja merusak citra pengabdian terhadap bangsa –yang jelas-jelas harus diadili. Hal ini sudah membentuk susunan visi dan misi umum yang seragam dari seluruh komunitas. Visi dan misi umum inilah yang harus selalu diperhatikan dalam menghadapi perbedaan persepsi dan aksi.

Semangat mempertahankan keindahan Negeri yang Bhineka juga harus tetap dipupuk dengan saling menghormati dan bangga akan kekayaan budaya. Karena setiap kebudayaan mempunyai nilai filosofi masing-masing yang diciptakan oleh para leluhur dan mengandung daya tarik keindahan yang beragam.

Sikap pluralitas dan humanistik menjadi alat penting dalam bermasyarakat. Karena jika memang ingin bersatu, maka semua sekat pemisah harus dihapuskan dan semua pihak turut andil ketika merumuskan sebuah keputusan. Tidak ada diskriminasi maupun pemaksaan kehendak.

Maka, untuk mewadahi semua itu perlu dibentuk beberapa forum komunikasi yang menjaring seluruh komunitas sesuai bidang masing-masing. Karena jelas tidak cukup jika fokus komunikasi suatu bidang hanya bertumpu pada sang menteri. Misalnya di bidang pariwisata, begitu banyak lokasi pariwisata di Indonesia, perwakilan pihak dari masing-masing lokasi itu dapat sharing dan bahkan bermitra melalui media sebuah forum, yangmana forum ini juga berperan penting dalam memberikan informasi tentang dunia pariwisata kepada masyarakat. Bukan hanya bertumpu pada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Begitu pula dengan bidang lain, sepertihalnya Politik, Agama, Kesenian, Organisasi Pemuda, dan Pembangunan. Kemudian, dari setiap masing-masing bidang itu akan dikumpulkan lagi dalam suatu forum besar yang langsung berhubungan erat pula dengan Presiden, karena di forum besar inilah wajah Indonesia terlihat dengan lengkap. Sebuah moment pertemuan langsung antara informasi fakta lapangan dengan Pusat Pemerintahan secara rutin.

Terdapat banyak keuntungan dari pertemuan besar secara rutin ini, di antaranya :

1. Semua bidang telah terkumpul untuk saling melengkapi satu sama lain. Maka solusi untuk sebuah permasalahan akan lebih mudah ditemukan.

2. Sebagai media komunikasi antar golongan dengan azas kekeluargaan, yang mempunyai manfaat besar.

3. Sebagai wujud kedekatan rakyat dengan Pemerintah, merupakan kesempatan diskusi bersama dalam satu meja terhadap suatu permasalahan.

Jadi intinya, Nasionalisme Ala Gue, adalah adanya komunikasi yang sehat dan tertata, dengan sikap bijak dan penuh kekeluargaan, karena hal itu akan menciptakan pikiran jernih, sikap toleran, dan kesadaran atas keseragaman cita-cita bangsa.

Selasa, Juli 27, 2010

TAFSIR AL-KASYSYAF

Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil

Fi Wujuh At-Ta’wil

Adalah karya dari Abu al-Qasim Jârullâh Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari yang lebih masyhur dengan nama Az-Zamakhsyari (467-538 H.). Zamakhsyar adalah suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia, yang sekarang masuk dalam negara Uzbekistan bagian dari Uni Soviet.

Tafsir Al-Kasysyaf disusun dalam empat jilid, dan dicetakkan oleh berbagai penerbitan. Kitab ini merupakan karya yang ditunggu-tunggu oleh para sahabat Az-Zamakhsyari. Seperti yang tertera dalam muqaddimah tafsirnya;

“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia, selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan Tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku menjelaskan kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`an, serta mengajarkannya kepada mereka ‘sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur`an dan pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan’. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan yang mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya fardhu ‘ain. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi (negeri) sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu Bayân dan ilmu Badi`”[1].

Az-Zamakhsyari adalah tokoh yang diakui kehebatannya dalam hal bahasa Arab, hadits, gramatika, bahasa, retorika, filologi, dan seni deklamasi (elocution), hingga dapat menghasilkan tafsir al-Qur’an yang cemerlang.

Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Kasysyaf

Al-Zamakhsyari seringkali berpindah tempat untuk mengejar ilmu. Untuk pertama kalinya Ia belajar tentang bahasa dan nahwu kepada Muhamamad bin Jarir al-Dhabi al-Ashfahani Abu Mudhar, yang bermazhab Mu’tazilah di Khawarizm. Kemudian dengan ambisi kuat ia pergi ke Khurasan dan Isfahan untuk mendekati para pemegang kekuasaan seperti Muji al-Daulah `Ubaidillah bin Nizham al-Mulk, dan Muhammad bin Malik Syah dengan memberikan bait-bait syair pujian. Namun, ia gagal dan ia sempat sakit parah sekitar tahun 512 H. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya karena berambisi mengejar kekuasaan, Ia pergi ke Makkah dan bertemu dengan seorang pemuka `Alawi bin Isa bin Hamzah bin Wahhas, dan membaca kitab Sibawaih atas bimbingan `Abdullah bin Thalhah al-Yabiri. Sebelumnya, Al-Zamakhsyari juga sempat pergi ke Baghdad untuk belajar hadits kepada Abu al-Khitab bin al-Bathar, Abu Sa`d al-Syafani, dan Syaikh Islam Abu Manshur al-Haritsi, dan belajar ilmu Fiqh kepada al-Damghani (seorang Hanafiah) dan Ibn al-Syajari.

Kemudian al-Zamakhsyari kembali ke daerahnya. Saat itu Muhammad Anushtikin (mantan kepala daerah Khawarizm) telah mendirikan rumah raja (Sultan Sinjar) yang kemudian mengukuhkannya sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya, Atsaz. Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsyari dapat berada di dekatnya, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya. Karya-karyanya itu kebanyakan dalam bidang bahasa, sastra, dan gramatika (sehingga layak untuk disebut pakar bidang ini). Kepakarannya itu membuatnya menjadi rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdhil al-nâjiyah al-`adhiyyah), terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsyari sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl. Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan ia mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya. Sehingga ia berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di Baitullah[2].

Karakteristik Penafsiran

Dari segi akidah al-Zamakhsyari dikenal sebagai tokoh mu’tazilah. Sedangkan dalam bemadzhab Ia penganut madzhab Hanafi. Kemazhaban itu tercermin dari sya’irnya sebagai berikut:

“Dan aku sandarkan agamaku, keyakinanku dan mazhabku ke jalan yang lurus. Aku memilihnya dan memegang teguh pada Islam adalah pengikut Hanafi sebagai mazhab mereka yang tidak mengharapkan bagian.”[3]

Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsyârî terhadap mazhabnya belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadits, bahkan tafsir al-Kasysyaf sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas al-Qur`an[4]

Karakteristik ini terlihat mulai dari pembentukan rasionalitas-metodologis penafsiran hingga penerapannya dalam merasionalisasikan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung doktrin-doktrin Mu’tazilah. Rumusan prinsip rasionalitas metodologisnya di dasarkan pada ayat 7 surah Âli `Imrân;

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muhkamat, dalam pandangan al-Zamakhsyârî, adalah yang berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu’tazilah yang terhimpun dalam Ushûl al-Khamsah: 1) Tauhid, 2) Keadilan, 3) Janji dan Ancaman, 4) Manzilah bayn al-Manzilatain, dan 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar. Sedang semua ayat yang zahirnya bertentangan dengan Ushûl al-Khamsah termasuk dalam kategori mutasyâbihât. Untuk menopang rasionalisasinya ini al-Zamakhsyârî sering memanfaatkan pengetahuan bahasa, sastra, gramatika, bahkan qirâ’at.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, termasuk juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Metode Penafsiran

Menurut al-Farmâwî ada empat macam metode dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu tahlily, ijmâly, muqâran, dan mawdhû’iy. Kemudian berdasarkan rumusan al-Farmâwî tersebut, maka metode tafsir yang digunakan dalam al-Kasysyâf adalah metode tahlily. Hal ini terlihat dari langkah-langkah al-Zamakhsyârî dalam menafsirkan al-Qur`an. Ketika menafsirkan al-Qur’an, ia berusaha mengungkapkan seluruh pengertian yang dimaksud hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengertian tentang nash al-Qur`an, hadits, riwayat sahabat, dan tabi`in, pengetahuan tentang nasikh- mansukh, ilmu qira`at, cerita Israiliyyat, ilmu Ushul Fiqih, ilmu Balaghah serta rahasianya, ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam (teologi). Tahlily, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani.

Sementara Basuni Faudah mengkategorikan tafsir al-Kasysyâf ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y, yakni penafsiran yang lebih memberikan keleluasan kepada akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam al-Kasysyâf juga dipergunakan hadits-hadits shahih, al-Zamakhsyârî pun mengutip dari para sahabat dan tabi’in, tetapi tentunya tidak bertolak belakang dengan mazhabnya yang i`tizâl itu.[5]



[1] Zamakhsyârî, al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah, hal. 17

[2] Hal ini dijelaskannya dalam mukaddimah tafsirnya al-Zamakhsyârî, Al-Ksysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah cet. I, jilid I, hlm. 3.

[3] M.S. Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyârî fî Tafsîr al-Qur`ân, Dâr al-Fikr, Kairo, 1968, hlm. 179.

[4] Nadvi Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, Pustaka, 1984, hlm. 37.

[5] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, terj. H.M. Mochtar Zaerni dan Abdul Qodir, Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 104.

MASIH TENTANG HERMENEUTIKA

Ketika tradisi ideologi kritis mulai merebak, berbagai kalangan pun mulai lebih hidup dengan bermacam responnya. Salah satunya yaitu ketika kemunculan konsep Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran teks kitab suci. Metode ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa, bahkan hingga kini. Sementara konsep tersebut yang awalnya berskala kecil, yakni direncanakan untuk membedah teks kitab Bibel, kini berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan sekaligus salah satu metode untuk membedah teks apapun, termasuk al-Qur’an.

A. Konsepsi Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; Hermeneuo (menafsirkan). Berangkat dari sebuah sebutan untuk dewa penyampai berita kepada manusia, Dewa Hermes. Dewa ini juga yang menguasai perihal yang ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian (Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, 1983). Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan –sebuah mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain (Richard E. Palmer, Hermeneutika - Teori Baru Mengenai Interpretasi, 2003).

Sebagai obyek kajian dalam metode Hermeneutika ini adalah teks. Sementara pada Hermeneutika modern segala bentuk apapun adalah merupakan teks, baik berupa benda hidup, benda mati, simbol, maupun teks murni. Kesemuanya itu diyakini mempunyai sesuatu yang tersembunyi dibaliknya, yang sesuatu itu merupakan maksud terdalam dari teks, bahkan kemudian dianggap aposteriori oleh personalitas.

Dalam proses interpretasi hermeneutis terhadap al-kitab –dan kini terhadap teks lain pula-, ada beberapa tahapan yang dilalui, diantaranya; Kritik Bentuk dan Kritik Tradisi.

1. Kritik Bentuk

Kritik Bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini (Hasan Sutanto, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, 1998). Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.

Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks (Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, 2006).

2. Kritik Tradisi

Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Sebuah tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll.

Salah satu mediasi antar generasi itu adalah dengan kitab. Kita mengetahui bahwa sebuah teks dapat mengalami perbedaan redaksi dengan teks sejenisnya. Berbagai versi berbeda ditemukan dengan pembahasan yang sama. Hal ini terjadi pula dalam al-kitab, misalnya pada kitab Perjanjian Lama, tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11, berbeda redaksi dengan yang ada pada kitab Ulangan 5:12-15. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjadi perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

B. Implikasinya terhadap al-Qur’an.

Ketika metode hermeneutis ini telah sampai pada ranah teks islam, khususnya al-Quran, maka pembahasan peran metodologi ini menjadi sangat panjang. Begitu banyak tokoh muslim yang merasakan pengaruhnya, diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.(I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me)” (Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, 2004).

Selanjutnya Nasr Hamid mengatakan, “Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia” (Tekstualitas Al-Quran, 2000). Bahkan Mohammed Arkoun menegaskan bahwa; sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999).

Penolakan konsep Hermeneutika terhadap al-Qur’an pun juga digencarkan oleh tokoh-tokoh berbeda. Pro dan kontra bersahutan, hingga berlanjut dalam karya mereka masing-masing. Di antara penolakan interpretasi hermeneutis, dan menentang pendapat tokoh pro hermeneutis tersebut adalah adanya pernyataan, “Jika Al-Qur'an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Al-Qur'an dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui makna fatir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim” (Jalal at-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum AI-Qur'an, 2003).

Ada pula pendapat lain, “Al-Qur'an bukanlah produk budaya, karena Al­-Qur'an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur'an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur'an bukanlah produk budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari Al-Qur'an, bukan sebaliknya” (Adnin Armas, Metodologi Dalam Studi Al-Qur’an, 2005).

Tetapi tak dapat dibendung bahwa nalar kritis telah mampu merambah di benak ummat islam sejak lama. Seiring dengan masuknya materi filsafat barat ke dunia timur, bahkan jauh sebelumnya, di dunia islam pun telah mempunyai metode falsafi yang kemudian disebut dengan epistemologi islam. Jika kita kembali ke sejarah awal Hermeneutika, bahwa Dewa Hermes adalah sosok mistis pengantar pesan dari para dewa kepada manusia, maka dapat disinggungkan pula dengan metode epistemologi irfani yang mengandalkan ilham sebagai patokan.

Walaupun hingga kini konsep Hermeneutika masih menjadikan pro dan kontra antar tokoh, tetapi yang jelas metode ini –sedikit banyak- telah memberi kontribusi berharga dalam khazanah keilmuan, termasuk di dunia islam. Bukan hanya ketelitian terhadap teks al-Qur’an, tetapi juga terhadap teks apapun, sesuai dengan ajarannya.

Senin, Juli 26, 2010

EPISTEMOLOGI IRFANI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.

Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui[1]. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).

Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.

  1. Konsep

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf[2]. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemu-dian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan[3];

    1. Persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât), Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).

    1. Penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[4]

Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[5]

Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[6]

    1. Pengungkapan

Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan[7], sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[8] Hal ini dibe-narkan pula oleh Ali Issa Othman;

pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[9]

Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atauAna al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.

Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik[10], yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat[11]. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.

BAB III

KESIMPULAN

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.


[1] Kamus al-Munawwir Arab-Indinesia Terlengkap, A.W. Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

[2] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. (Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 228)

[3] Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi,al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd al-Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.

[4] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi , terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994), 51-53.

Uraian tentangkasyf, lihat al-Qusyairi,al-Risâlah, 75.

[5] Teori ini merupakan salah satu dari tiga teori lainnya, Teori Korespondensi, Teori Konsistensi, dan Teori Pragmatisme. (Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Burhanddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. hal. 58)

[6] Manusia Menurut Al-Ghazali, Ali Issa Othman (terj. Johan Smit, Anas, Yusuf), Pustaka, Bandung, 1981. hal. 67

[7] Konsep semacam ini juga erat di kalangan masyarakat jawa dengan pengalaman rohaninya, yang kemudian diistilahkan dalam beberapa sebutan; “Pamoring Kawula-Gusti” (Berhimpunnya Manusia-Tuhan), “Curiga Manjing Warangka” (Manusia Masuk ke dalam Tuhan), “Warangka Manjing Curiga” (Tuhan Masuk ke dalam Manusia), dan lain sebagainya. (Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Mohammad Damami, Lesfi, Yogyakarta, 2002. hal.41)

[8] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi, hal 245-268

[9] Manusia…, Ali Issa Othman. hal. 64

[10] Bersifat rahasia, hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.

[11] Jabiri, bunyah, 378

Sabtu, Februari 27, 2010

UPAYA MEMPOSISIKAN ISLAM DI BUMI NUSANTARA: Sebuah Aufklarung yang melelahkan



Telah diterangkan bahwa sebelum islam datang ke Nusantara, Negara ini sudah mempunyai dua bagian agama; lokal (agama yang berasal dari nenek moyang sendiri) dan impor (yang berasal dari negara lain). Agama lokal ini mempunyai dua bagian yaitu animisme dan dinamisme, yang mana keduanya tersebut merupakan kepercayaan sekaligus pengabdian masyarakat kepada benda atau kekuatan gaib. Hal ini dapat dikatakan wajar karena masyarakat pasti cenderung bergantung pada sebuah kekuatan yang paling unggul. Terlepas dari kepercayaan ber-Tuhan, di negeri mana pun juga telah banyak menerapkan hal serupa, dimana sebuah kepercayaan –pada apapun- menjadi inti dari sumber kehidupan. Sementara jenis agama yang disebut sebagai produk impor itu adalah agama Hindu dan Budha. Kedua agama itu terbilang cukup berhasil menarik simpati kaum yang masih merasa resah dengan kebergantungan. Hingga sampai kini pun jutaan penganut agama Hindu dan Budha di Indonesia tetap setia menjadi ummat yang taat.

Beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad VII islam mulai menjamah Nusantara, dan mulai berkembang luas di abad ke XIII. Perihal siapa pembawa agama ini pun menjadi kontroversi di kalangan pemikir. Hingga muncul empat tempat yang sering disebut sebagai asal dari agama islam masuk ke Nusantara; yaitu India, Arab, Persia, dan Cina.

Arab dan Persia disebut sebagai dua tempat yang lebih dicenderungi sebagai pembawa islam ke Nusantara. Berasal dari arab, karena ada keterangan bahwa dahulu pada tahun 674 M. pertamakali kapal Bani Umayah berlabuh di Aceh dengan tujuan dakwah islam dan berdagang. Sementara Persia juga disinyalir sebagai asal islam di Nusantara karena adanya kesamaan corak islam yang saat itu dibawa oleh Hamzah Fansuri. Ia membawa ajaran islam dengan corak islamnya al-Hallaj dari Persia, yaitu konsep wahdat al-wujud, atau kemudian dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti, dengan tokohnya Siti Jenar. Hamzah Fansuri inilah yang dikenal sebagai pembawa islam pertama ke Nusantara melalui pelabuhan Aceh.

Seperti telah diketahui bahwa islam datang ke Nusantara setelah datangnya dua agama yang juga berstatus impor, yaitu Hindu dan Budha. Bahkan sebelumnya lagi ada pula sebuah kepercayaan nenek moyang (agama lokal); animisme dan dinamisme. Maka agama islam tentu menjadi hal baru bagi mereka yang dapat dibilang sudah mapan dalam beragama. Tetapi pada faktanya islam –secara tidak langsung- mampu mencuri perhatian dari masyarakat dengan metode cerdas dari Hamzah Fansuri yang mampu mendialogkan tasawuf falsafi timur tengahnya dengan budaya setempat. Tasawuf falsafi itu seperti halnya yang diginakan oleh al-Hallaj, yang menggabungkan antara filsafat Plato dan Tasawuf, tentang wujud mutlak dan wujud mungkin, yang kemudian berlanjut pada konsep Hulul dan ittihad.

Hamzah Fansuri pertama kali memperkenalkan islam di Aceh. Ajarannya disambut dengan baik oleh masyarakat karena Ia mampu melogikakan ajarannya secara baik dengan sentuhan syari’at islam yang tepat. Berbeda degan agama-agama sebelumnya yang melulu menuntut kepercayaan, walau tanpa dengan logika kehidupan.

Hal inilah yang membuat islam lebih mudah diterima di benak masyarakat, bahkan lingkup kerajaan Aceh. Sehingga Hamzah Fansuri diangkat sebagai Penasehat Kerajaan (Mufti), yaitu pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1589-1602 M). Maka, pengenalan ajaran islam pun semakin mudah meluas di bumi Sumatera. Yang terkenal dari tasawuf Fansuri adalah tentang filsafat wujudiyah. Masih dengan corak wahdat al-wujud, Fansuri meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Karena sebenarnya alam tidak berwujud, hanya Tuhanlah yang berwujud hakiki.

Pandangan wujudiyahnya itu kemudian menimbulkan kontroversi. Banyak dari masyarakat yang sudah berpikir kritis di ranah ajaran agama. Maka kemudian banyak orang yang meninggalkan ajaran Fansuri. Sementara para penguasa justru mengalihkan perhatiannya pada kebutuhan duniawi. Sejak itulah Fansuri mulai mengasingkan diri dari publik. Karena itulah penganut ajarannya tidak dapat berkembang luas, hanya konsep pemikirannya saja yang dapat dikenal luas.

Seseorang yang masih setia dengan ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syamsuddin al-Sumatrani, atau dikenal juga dengan sebutan Samudra Pasai. Ia juga diangkat sebagai penasehat kerajaan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Fansuri dan as-Sumatrani mempunyai pemikiran falsafi yang benar. Tetapi ajaran keduanya mulai melenceng setelah al-Sumatrani meninggal dunia, hingga terjadi kekacauan di kalangan masyarakat. Kemudian pada saat itu pula datang seorang ulama dari India ke Aceh, bernama Nuruddin Arraniri. Ulama bermadzhab Syafi'I ini menentang keras ajaran Fansuri dan as-Sumatrani, karena Ia penganut tasawuf Sunni, bukan tasawuf falsafi.

Saat kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (II) Arraniri diangkat menjadi mufti kerajaan. Posisi itu dimanfaatkan Arraniri untuk menyebarkan ajaran sunninya dan menghapus seluruh ajaran Fansuri dan as-Sumatrani. Ia membakar kitab-kitab Fansuri dan mengusir bahkan membunuh siapapn dari masyarakat yang masih menjalankan ajaran Fansuri. Menurut Arraniri, Hamzah Fansuri membawa ajaran sesat karena menganggap bahwa alam, manusia, dan Tuhan itu sama saja. Karena itu seluruh ajarannya harus dihapuskan, serta seluruh pengikutnya harus bertaubat.

Tasawuf falsafi tentu berbeda dengan tasawuf sunni. Tasawuf falsafi lebih bersifat plural, yang hanya memandang maghza dari segala sesuatu. Sementara tasawuf sunni lebih bersifat normatif, yang sangat rentan dengan justifikasi kafir, murtad, dan sebagainya, hingga dapat berujung pada pendiskriminasian, kekerasan, bahkan pembunuhan bagi siapapun yang menolak.

Dalam konteks kemasyarakatan, termasuk dalam hal sosialisasi ajaran agama dengan mengundang keimanan murni masyarakat, tentu sangat mustahil jika seandainya saat itu islam datang ke Nusantara dengan ajaran tasawuf sunni (apalagi dengan sikap Arraniri yang berlebihan). Metode tasawuf falsafi begitu sukses mengambil perhatian dari masyarakat dengan tanpa kekerasan dan paksaan, sejalan dengan misi Rasulullah SAW. Sementara metode tasawuf sunni, juga bisa mengambil perhatian, tentu dengan sistem paksa, serta proyek politisnya melalui pemerintah kerajaan. Maka sebenarnya metode tasawuf sunni ini tentu tidak akan diterima di Nusantara tanpa didahului dengan tasawuf falafi oleh Hamzah Fansuri, yang secara beratahap mengenalkan islam, dan mengarahkan pada Tuhan yang Esa.

Pada suatu masa kemudian muncul seorang sufi sunni bernama 'Abdurauf al-Singkili, saat posisi penasehat kerajaan dipegang oleh Syaif Rijal setelah 30 tahun Arraniri kembali ke negara asalnya, India. Abdurrauf menawarkan jalan tengah antara tasawuf falsafi yang ternyata juga masih dianut oleh Syaif Rijal sebagai penerus dari Hamzah Fansuri dengan tasawuf sunni dari Arraniri. Maka Abdurrauf diangkat sebagai Qadli Malik al-Adil pada masa pemerintahan Sultan ke 3, Zakiyah al-Din (1678-1688). Dia mendamaikan dua jenis tasawuf itu dengan merujuk pada al-Qur'an dan al-Hadits. Statemennya tentang wahdat al-wujud, tidak penyatuan mutlak antara Tuhan dan alam seperti halnya ajaran Hamzah, tetapi harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits (syari'at). Tetapi Ia juga sempat mengecam Arraniri yang telah berani memvonis sesat pada Fansuri.

Sikap moderatnya itu menjadikan perhatian tersendiri dari Raja maupun masyarakat. Maka setelah itu muncul pula seorang sufi sunni yang meneruskan perjuangan 'Abdurrauf as-Singkili, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari. Ia adalah sufi yang juga mencoba mengambil jalan tengah antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, yang menurut Azyumardi Azra disebut dengan tasawuf Syuhudi (sejalan dengan konsep al-Sirkhindi dan al-Dihlawi).

Pada masa selanjutnya perjalanan islam diwarnai juga dengan kedatangan pasukan belanda pada abad 17, yang juga membawa misi kristenisasi, setelah berhasil menguasai Nusantara. Peperangan berlatar belakang agama itu dikenal dengan Perang Padri yang ditokohi oleh Imam Bonjol. Muncul pula penegasan identitas untuk rakyat Nusantara (baca: Indonesia) bahwa siapa yang anti belanda berarti dia islam, dan jika pro belanda berarti dia bukan islam.

Seiring waktu, peperangan itu bergeser menjadi "peperangan" antara kaum Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu disebabkan karena adanya tiga orang yang datang dari belajar di Makkah, lalu mengajarkan ajaran Wahabi di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh kubu Muhammadiyah dan sebagian kubu Sarikat Islam. Sementara kaum NU tetap getol mempertahankan tradisi agama nenek moyang (islam tradisional setempat). Setelah itu datang pula ajaran islam garis keras yang kemudian berusaha merebut kekuasaan Muhammadiyah dan NU. Hingga kini ratusan masjid Muhammadiyah dan ratusan masjid NU telah berhasil direbut oleh cabang-cabang islam garis keras.