Senin, Juli 26, 2010

EPISTEMOLOGI IRFANI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.

Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui[1]. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).

Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.

  1. Konsep

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf[2]. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemu-dian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan[3];

    1. Persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât), Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).

    1. Penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[4]

Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[5]

Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[6]

    1. Pengungkapan

Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan[7], sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[8] Hal ini dibe-narkan pula oleh Ali Issa Othman;

pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[9]

Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atauAna al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.

Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik[10], yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat[11]. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.

BAB III

KESIMPULAN

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.


[1] Kamus al-Munawwir Arab-Indinesia Terlengkap, A.W. Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

[2] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. (Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 228)

[3] Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi,al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd al-Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.

[4] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi , terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994), 51-53.

Uraian tentangkasyf, lihat al-Qusyairi,al-Risâlah, 75.

[5] Teori ini merupakan salah satu dari tiga teori lainnya, Teori Korespondensi, Teori Konsistensi, dan Teori Pragmatisme. (Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Burhanddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. hal. 58)

[6] Manusia Menurut Al-Ghazali, Ali Issa Othman (terj. Johan Smit, Anas, Yusuf), Pustaka, Bandung, 1981. hal. 67

[7] Konsep semacam ini juga erat di kalangan masyarakat jawa dengan pengalaman rohaninya, yang kemudian diistilahkan dalam beberapa sebutan; “Pamoring Kawula-Gusti” (Berhimpunnya Manusia-Tuhan), “Curiga Manjing Warangka” (Manusia Masuk ke dalam Tuhan), “Warangka Manjing Curiga” (Tuhan Masuk ke dalam Manusia), dan lain sebagainya. (Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Mohammad Damami, Lesfi, Yogyakarta, 2002. hal.41)

[8] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi, hal 245-268

[9] Manusia…, Ali Issa Othman. hal. 64

[10] Bersifat rahasia, hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.

[11] Jabiri, bunyah, 378

2 komentar:

  1. Irfan??? -maaf sebelumnya belum sempet baca, tapi langsung koment aja; semoga gak papa- iya, menurut Habib Murtadho al-Hinduan; konsepsi Irfan sama halnya dengan konsepsi Tasawuf, kebetulan beliua belajar di Qum Iran dengan cara ajar Syiahnya, meskipun demikian beliau lahir dari rahim Sunni Indonesia, NU Situbondo, dengan keluarga Sunni. Saya rasa akan lebih menarik bila filsafat Islam -maaf, untuk tidak menyebut filsafat ala Syiah- juga tidak dipandang sebelah mata, saya pikir usaha Anda sangat menarik perhatian.

    BalasHapus
  2. terimakasih sebelumnya. irfani memang bagian dari filsafat islam. dan memang erat kaitannya degan konsep tasawuf (lihat footnot 2). saya sama sekali nggak nyinggung tentang syi'ah-sunni.

    BalasHapus