Sabtu, Februari 27, 2010

UPAYA MEMPOSISIKAN ISLAM DI BUMI NUSANTARA: Sebuah Aufklarung yang melelahkan



Telah diterangkan bahwa sebelum islam datang ke Nusantara, Negara ini sudah mempunyai dua bagian agama; lokal (agama yang berasal dari nenek moyang sendiri) dan impor (yang berasal dari negara lain). Agama lokal ini mempunyai dua bagian yaitu animisme dan dinamisme, yang mana keduanya tersebut merupakan kepercayaan sekaligus pengabdian masyarakat kepada benda atau kekuatan gaib. Hal ini dapat dikatakan wajar karena masyarakat pasti cenderung bergantung pada sebuah kekuatan yang paling unggul. Terlepas dari kepercayaan ber-Tuhan, di negeri mana pun juga telah banyak menerapkan hal serupa, dimana sebuah kepercayaan –pada apapun- menjadi inti dari sumber kehidupan. Sementara jenis agama yang disebut sebagai produk impor itu adalah agama Hindu dan Budha. Kedua agama itu terbilang cukup berhasil menarik simpati kaum yang masih merasa resah dengan kebergantungan. Hingga sampai kini pun jutaan penganut agama Hindu dan Budha di Indonesia tetap setia menjadi ummat yang taat.

Beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad VII islam mulai menjamah Nusantara, dan mulai berkembang luas di abad ke XIII. Perihal siapa pembawa agama ini pun menjadi kontroversi di kalangan pemikir. Hingga muncul empat tempat yang sering disebut sebagai asal dari agama islam masuk ke Nusantara; yaitu India, Arab, Persia, dan Cina.

Arab dan Persia disebut sebagai dua tempat yang lebih dicenderungi sebagai pembawa islam ke Nusantara. Berasal dari arab, karena ada keterangan bahwa dahulu pada tahun 674 M. pertamakali kapal Bani Umayah berlabuh di Aceh dengan tujuan dakwah islam dan berdagang. Sementara Persia juga disinyalir sebagai asal islam di Nusantara karena adanya kesamaan corak islam yang saat itu dibawa oleh Hamzah Fansuri. Ia membawa ajaran islam dengan corak islamnya al-Hallaj dari Persia, yaitu konsep wahdat al-wujud, atau kemudian dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti, dengan tokohnya Siti Jenar. Hamzah Fansuri inilah yang dikenal sebagai pembawa islam pertama ke Nusantara melalui pelabuhan Aceh.

Seperti telah diketahui bahwa islam datang ke Nusantara setelah datangnya dua agama yang juga berstatus impor, yaitu Hindu dan Budha. Bahkan sebelumnya lagi ada pula sebuah kepercayaan nenek moyang (agama lokal); animisme dan dinamisme. Maka agama islam tentu menjadi hal baru bagi mereka yang dapat dibilang sudah mapan dalam beragama. Tetapi pada faktanya islam –secara tidak langsung- mampu mencuri perhatian dari masyarakat dengan metode cerdas dari Hamzah Fansuri yang mampu mendialogkan tasawuf falsafi timur tengahnya dengan budaya setempat. Tasawuf falsafi itu seperti halnya yang diginakan oleh al-Hallaj, yang menggabungkan antara filsafat Plato dan Tasawuf, tentang wujud mutlak dan wujud mungkin, yang kemudian berlanjut pada konsep Hulul dan ittihad.

Hamzah Fansuri pertama kali memperkenalkan islam di Aceh. Ajarannya disambut dengan baik oleh masyarakat karena Ia mampu melogikakan ajarannya secara baik dengan sentuhan syari’at islam yang tepat. Berbeda degan agama-agama sebelumnya yang melulu menuntut kepercayaan, walau tanpa dengan logika kehidupan.

Hal inilah yang membuat islam lebih mudah diterima di benak masyarakat, bahkan lingkup kerajaan Aceh. Sehingga Hamzah Fansuri diangkat sebagai Penasehat Kerajaan (Mufti), yaitu pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1589-1602 M). Maka, pengenalan ajaran islam pun semakin mudah meluas di bumi Sumatera. Yang terkenal dari tasawuf Fansuri adalah tentang filsafat wujudiyah. Masih dengan corak wahdat al-wujud, Fansuri meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Karena sebenarnya alam tidak berwujud, hanya Tuhanlah yang berwujud hakiki.

Pandangan wujudiyahnya itu kemudian menimbulkan kontroversi. Banyak dari masyarakat yang sudah berpikir kritis di ranah ajaran agama. Maka kemudian banyak orang yang meninggalkan ajaran Fansuri. Sementara para penguasa justru mengalihkan perhatiannya pada kebutuhan duniawi. Sejak itulah Fansuri mulai mengasingkan diri dari publik. Karena itulah penganut ajarannya tidak dapat berkembang luas, hanya konsep pemikirannya saja yang dapat dikenal luas.

Seseorang yang masih setia dengan ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syamsuddin al-Sumatrani, atau dikenal juga dengan sebutan Samudra Pasai. Ia juga diangkat sebagai penasehat kerajaan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Fansuri dan as-Sumatrani mempunyai pemikiran falsafi yang benar. Tetapi ajaran keduanya mulai melenceng setelah al-Sumatrani meninggal dunia, hingga terjadi kekacauan di kalangan masyarakat. Kemudian pada saat itu pula datang seorang ulama dari India ke Aceh, bernama Nuruddin Arraniri. Ulama bermadzhab Syafi'I ini menentang keras ajaran Fansuri dan as-Sumatrani, karena Ia penganut tasawuf Sunni, bukan tasawuf falsafi.

Saat kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (II) Arraniri diangkat menjadi mufti kerajaan. Posisi itu dimanfaatkan Arraniri untuk menyebarkan ajaran sunninya dan menghapus seluruh ajaran Fansuri dan as-Sumatrani. Ia membakar kitab-kitab Fansuri dan mengusir bahkan membunuh siapapn dari masyarakat yang masih menjalankan ajaran Fansuri. Menurut Arraniri, Hamzah Fansuri membawa ajaran sesat karena menganggap bahwa alam, manusia, dan Tuhan itu sama saja. Karena itu seluruh ajarannya harus dihapuskan, serta seluruh pengikutnya harus bertaubat.

Tasawuf falsafi tentu berbeda dengan tasawuf sunni. Tasawuf falsafi lebih bersifat plural, yang hanya memandang maghza dari segala sesuatu. Sementara tasawuf sunni lebih bersifat normatif, yang sangat rentan dengan justifikasi kafir, murtad, dan sebagainya, hingga dapat berujung pada pendiskriminasian, kekerasan, bahkan pembunuhan bagi siapapun yang menolak.

Dalam konteks kemasyarakatan, termasuk dalam hal sosialisasi ajaran agama dengan mengundang keimanan murni masyarakat, tentu sangat mustahil jika seandainya saat itu islam datang ke Nusantara dengan ajaran tasawuf sunni (apalagi dengan sikap Arraniri yang berlebihan). Metode tasawuf falsafi begitu sukses mengambil perhatian dari masyarakat dengan tanpa kekerasan dan paksaan, sejalan dengan misi Rasulullah SAW. Sementara metode tasawuf sunni, juga bisa mengambil perhatian, tentu dengan sistem paksa, serta proyek politisnya melalui pemerintah kerajaan. Maka sebenarnya metode tasawuf sunni ini tentu tidak akan diterima di Nusantara tanpa didahului dengan tasawuf falafi oleh Hamzah Fansuri, yang secara beratahap mengenalkan islam, dan mengarahkan pada Tuhan yang Esa.

Pada suatu masa kemudian muncul seorang sufi sunni bernama 'Abdurauf al-Singkili, saat posisi penasehat kerajaan dipegang oleh Syaif Rijal setelah 30 tahun Arraniri kembali ke negara asalnya, India. Abdurrauf menawarkan jalan tengah antara tasawuf falsafi yang ternyata juga masih dianut oleh Syaif Rijal sebagai penerus dari Hamzah Fansuri dengan tasawuf sunni dari Arraniri. Maka Abdurrauf diangkat sebagai Qadli Malik al-Adil pada masa pemerintahan Sultan ke 3, Zakiyah al-Din (1678-1688). Dia mendamaikan dua jenis tasawuf itu dengan merujuk pada al-Qur'an dan al-Hadits. Statemennya tentang wahdat al-wujud, tidak penyatuan mutlak antara Tuhan dan alam seperti halnya ajaran Hamzah, tetapi harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits (syari'at). Tetapi Ia juga sempat mengecam Arraniri yang telah berani memvonis sesat pada Fansuri.

Sikap moderatnya itu menjadikan perhatian tersendiri dari Raja maupun masyarakat. Maka setelah itu muncul pula seorang sufi sunni yang meneruskan perjuangan 'Abdurrauf as-Singkili, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari. Ia adalah sufi yang juga mencoba mengambil jalan tengah antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, yang menurut Azyumardi Azra disebut dengan tasawuf Syuhudi (sejalan dengan konsep al-Sirkhindi dan al-Dihlawi).

Pada masa selanjutnya perjalanan islam diwarnai juga dengan kedatangan pasukan belanda pada abad 17, yang juga membawa misi kristenisasi, setelah berhasil menguasai Nusantara. Peperangan berlatar belakang agama itu dikenal dengan Perang Padri yang ditokohi oleh Imam Bonjol. Muncul pula penegasan identitas untuk rakyat Nusantara (baca: Indonesia) bahwa siapa yang anti belanda berarti dia islam, dan jika pro belanda berarti dia bukan islam.

Seiring waktu, peperangan itu bergeser menjadi "peperangan" antara kaum Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu disebabkan karena adanya tiga orang yang datang dari belajar di Makkah, lalu mengajarkan ajaran Wahabi di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh kubu Muhammadiyah dan sebagian kubu Sarikat Islam. Sementara kaum NU tetap getol mempertahankan tradisi agama nenek moyang (islam tradisional setempat). Setelah itu datang pula ajaran islam garis keras yang kemudian berusaha merebut kekuasaan Muhammadiyah dan NU. Hingga kini ratusan masjid Muhammadiyah dan ratusan masjid NU telah berhasil direbut oleh cabang-cabang islam garis keras.

2 komentar:

  1. Mampirr, slm knal yaaa... please follow me dan aq jga akan follow u, tq... Tar aq psg link u di Friends' Links aq... tq

    BalasHapus