Selasa, Juli 27, 2010

MASIH TENTANG HERMENEUTIKA

Ketika tradisi ideologi kritis mulai merebak, berbagai kalangan pun mulai lebih hidup dengan bermacam responnya. Salah satunya yaitu ketika kemunculan konsep Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran teks kitab suci. Metode ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa, bahkan hingga kini. Sementara konsep tersebut yang awalnya berskala kecil, yakni direncanakan untuk membedah teks kitab Bibel, kini berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan sekaligus salah satu metode untuk membedah teks apapun, termasuk al-Qur’an.

A. Konsepsi Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; Hermeneuo (menafsirkan). Berangkat dari sebuah sebutan untuk dewa penyampai berita kepada manusia, Dewa Hermes. Dewa ini juga yang menguasai perihal yang ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian (Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, 1983). Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan –sebuah mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain (Richard E. Palmer, Hermeneutika - Teori Baru Mengenai Interpretasi, 2003).

Sebagai obyek kajian dalam metode Hermeneutika ini adalah teks. Sementara pada Hermeneutika modern segala bentuk apapun adalah merupakan teks, baik berupa benda hidup, benda mati, simbol, maupun teks murni. Kesemuanya itu diyakini mempunyai sesuatu yang tersembunyi dibaliknya, yang sesuatu itu merupakan maksud terdalam dari teks, bahkan kemudian dianggap aposteriori oleh personalitas.

Dalam proses interpretasi hermeneutis terhadap al-kitab –dan kini terhadap teks lain pula-, ada beberapa tahapan yang dilalui, diantaranya; Kritik Bentuk dan Kritik Tradisi.

1. Kritik Bentuk

Kritik Bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini (Hasan Sutanto, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, 1998). Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.

Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks (Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, 2006).

2. Kritik Tradisi

Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Sebuah tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll.

Salah satu mediasi antar generasi itu adalah dengan kitab. Kita mengetahui bahwa sebuah teks dapat mengalami perbedaan redaksi dengan teks sejenisnya. Berbagai versi berbeda ditemukan dengan pembahasan yang sama. Hal ini terjadi pula dalam al-kitab, misalnya pada kitab Perjanjian Lama, tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11, berbeda redaksi dengan yang ada pada kitab Ulangan 5:12-15. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjadi perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

B. Implikasinya terhadap al-Qur’an.

Ketika metode hermeneutis ini telah sampai pada ranah teks islam, khususnya al-Quran, maka pembahasan peran metodologi ini menjadi sangat panjang. Begitu banyak tokoh muslim yang merasakan pengaruhnya, diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.(I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me)” (Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, 2004).

Selanjutnya Nasr Hamid mengatakan, “Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia” (Tekstualitas Al-Quran, 2000). Bahkan Mohammed Arkoun menegaskan bahwa; sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999).

Penolakan konsep Hermeneutika terhadap al-Qur’an pun juga digencarkan oleh tokoh-tokoh berbeda. Pro dan kontra bersahutan, hingga berlanjut dalam karya mereka masing-masing. Di antara penolakan interpretasi hermeneutis, dan menentang pendapat tokoh pro hermeneutis tersebut adalah adanya pernyataan, “Jika Al-Qur'an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Al-Qur'an dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui makna fatir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim” (Jalal at-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum AI-Qur'an, 2003).

Ada pula pendapat lain, “Al-Qur'an bukanlah produk budaya, karena Al­-Qur'an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur'an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur'an bukanlah produk budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari Al-Qur'an, bukan sebaliknya” (Adnin Armas, Metodologi Dalam Studi Al-Qur’an, 2005).

Tetapi tak dapat dibendung bahwa nalar kritis telah mampu merambah di benak ummat islam sejak lama. Seiring dengan masuknya materi filsafat barat ke dunia timur, bahkan jauh sebelumnya, di dunia islam pun telah mempunyai metode falsafi yang kemudian disebut dengan epistemologi islam. Jika kita kembali ke sejarah awal Hermeneutika, bahwa Dewa Hermes adalah sosok mistis pengantar pesan dari para dewa kepada manusia, maka dapat disinggungkan pula dengan metode epistemologi irfani yang mengandalkan ilham sebagai patokan.

Walaupun hingga kini konsep Hermeneutika masih menjadikan pro dan kontra antar tokoh, tetapi yang jelas metode ini –sedikit banyak- telah memberi kontribusi berharga dalam khazanah keilmuan, termasuk di dunia islam. Bukan hanya ketelitian terhadap teks al-Qur’an, tetapi juga terhadap teks apapun, sesuai dengan ajarannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar