Selasa, Februari 16, 2010

SASTRA DI TEPI AJAL

Telah disepakati oleh sejarah bahwa sastra merupakan ruh yang selalu hidup dan menghidupkan di setiap zaman. Sastra akan selalu dibutuhkan karena ia lah yang mewarnai apapun yang ada di sekitarnya. Hanya saja sering kali ia dikubur hidup-hidup dengan lumpur panas oleh kesibukan sesaat. Kemudian ia terlupakan seolah sama sekali tak berfungsi di muka bumi ini.

Terkadang sesekali kuburan itu dibongkar oleh orang-orang yang sedang patah hati atau sedang kasmaran, yang mana sastra mereka anggap sebagai muntahan-muntahan perasaan emosi spontanitas saja. Bait-bait puisi dan syair pun mucul untuk memanjakan hati yang sebentar lagi akan melupakanya.

Ironisnya, kejumudan aroma sastra ini terjadi pula di kalangan muda, yang seharusnya mampu berpotensi lebih tinggi untuk berimajinasi atas hal-hal baru yang mereka hadapi. Lebih khusus lagi, kajian sastra terlihat mulai punah pula di “kampus hijau” kita ini. Sastra menjadi dunia lain yang sulit untuk dijamah, atau lebih tepatnya, malas untuk dijamah.

Kebanyakan dari kaum muda menganggap bahwa sastra selalu condong pada asmara (cinta antar dua sejoli). Padahal itu adalah anggapan yang bernilai nol, karena sastra adalah suatu hal yang begitu abstrak, fleksibel, dan atraktif. Ia adalah fasilitas pribadi bagi opini mereka-mereka yang sedang merasa resah terhadap apapun, serta dapat pula mewakili wajah kebahagiaan dari perasaan seseorang.

Diluar sana, sastra menjadi alternatif pilihan terkuat bagi orang–orang yang telah mendalaminya (sastrawan). Dan ajaibnya, orang-orang lain yang telah melupakan sastra justru tetap saja mengagumi karya-karya para sastrawan itu. Ini menunjukkan bukti bahwa sebenarnya setiap orang membutuhkan, bahkan memiliki bilik yang dikhususkan untuk tempat sastra bersemayam di benak mereka. Maka dapat kita rasakan kehebatan sastra serta kelihaian si-empunya dalam mengarahkan dentuman-dentuman selalu berhasil pada sasaran-sasaran yang memang seharusnya terkena.

Sastra (umumnya seni) mampu mengubah ideologi dan bahkan budaya. Sebagai contoh adalah seperti ide brilian yang digagas oleh Raden Said (sunan Kali jaga) yang menggunakan media wayang kulit dengan dongeng-dongeng fiksinya yang sarat dengan makna dakwah islam mampu menarik minat serta kepercayaan masyarakat. Begitu pula dengan syair-syair jawa yang masyhur dengan sebutan “lir ilir”, oleh Mulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) mampu memuat makna besar yang mengisyaratkan pesan panjang dan mullia. Cara yang cerdas juga dilakukan oleh Jostein Gaarder. ia meramu pelajaran filsafat dasar dalam sebuah cerita panjang mengagumkan, hingga berbentuk novel besar berjudul Sophie’s World (Dunia Sophi) yang mana terjemahannya pun laris di Indonesia.

Sastra menjunjung tinggi nilai pemaknaan. Dari sinilah kesadaran ber-ideologi akan muncul, kemudian menyusun aksi-aksi yang memenuhi seratus persen dari tujuan awal. Maka ini merupakan keberhasilan berfikir, yang notabene hanya disulut oleh letupan kecil sebuah karya, berupa apapun. Karena ia mampu mengumpulkan rangkuman kehidupan walau hanya dalam satu baris kalimat saja.

Memang, sastra dapat pula berposisi sebagai hiburan. Namun, bukan berarti hiburan yang tanpa arah. Karena sangat disayangkan jika kekuatan besar yang dimilikinya hanya diendapkan di angan-angan, hanya memfungsikannya sebagai celotehan sesaat, tanpa membentuknya sebagai buah karya yang mengesankan dan penuh makna.

Sastra memiliki kemampuan yang unik. Ia tidak terikat aturan penulisan, aturan bahasa, dan aturan waktu. Bahkan sah-sah saja jika ia tanpa beraturan, tetapi tetap dengan memegang prinsip etika. Semuanya berawal dari mimpi dan angan-angan. Kemudian dimensi alam membentuk sugesti yang menembus ketidakmungkinan menjadi sebuah harapan. Lalu keyakinan menjemput hasil konstruksi itu, menjadikannya sebuah statemen, yang kemudian diikat dengan sebuah karya. Selanjutnya, dari karya inipun bisa melahirkan mimpi-mimpi baru yang akan berproses sama sepeti induknya.

Sastra erat hubungannya dengan imajinasi. Sementara kita mengetahui bahwa imajinasi merupakan bentuk rasa yang dapat membaca fenomena alam sekitar. Itu artinya adalah menyadari atas apa yang telah terjadi di depan mata, kemudian merombaknya menjadi barisan-barisan kalimat sebagai refleksinya. Terlebih lagi, ia menggunkan kata-kata istimewa, ambigu, dan misterius yang mengundang berbagai versi pemaknaan dan tafsiran, sepertihalnya al-Qur’an, Maha karya sastra terbesar yang pernah ada.

Daya hayal tinggi memang diperlukan dalam mencipta atau membaca sebuah karya. Namun tidak berarti bahwa setiap karya selalu akrab dengan wilayah maya. Karena logika murni juga mempunyai peran penting dalam menciptakan sebuah Aufklarung bagi seluruh kosmos. Baik yang berupa idil (nyanyian kecil), Mazmur (syair memuji Tuhan), bait Saraswati, dan lain sebagainya

Berbagai macam cabang dari sasra dapat dinikmati dengan rasa yang berbeda. Ada yang berjenis puisi yang biasa dengan hentakan-hentakan di benak, syair yang identik dengan iringan nada sebagai pewarnanya, sajak yang cerdas, cerpen atau fiksi yang menawarkan alur perjalanan peran, pantun dengan kecerdikannya, dan lain sebagainya.

Saat kita masuk dalam dunia sastra, selain kita sebagai diri sendiri, kita dapat menjadi siapapun dan apapun untuk mewakili perasaan mereka. Kita bisa menjadi rakyat, presiden, gelandangan, tumbuhan, hewan, bumi, matahari, waktu, bahkan Tuhan. Itu semua tak lain adalah upaya untuk mengungkap secara bebas suara-suara yang selama ini terbungkam atau tidak didengarkan dalam versi formal.

Daya kepekaan seseorang serta potensi yang ia miliki dapat dilihat dari karyanya (berupa apapun). Sementara karya yang mempuyai nilai tertinggi di antara karya-karya lain adalah sastra. Karena ia lebih mempunyai unsur keindahan dan kenikmatan saat dikonsumsi. Sehingga siapapun menjadi sensitif saat berhadapan dengan sastra.

Sementara yang menjadi ironis adalah sikap penokohan yang berlebihan pada seorang sastrawan. Namanya lebih melejit ikenal dan diperhatikan orang, sementara karya-karyanya tak diketahui. Konteks masyarakat sangat berpengaruh dalam hal ini, yang dengan situasi mendesak atau politis dapat membentuk proses pendewaan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar