Sabtu, Februari 06, 2010

REVISIONISME MUSDAH MULIA


Tentang islam, Musdah Mulia memiliki pemahaman yang berbeda dari kebanyakan ulama lain, terutama ulama tradisional. Bukan berarti Musdah mengingkari islam tradisional tetapi Ia cenderung menawarkan pemahaman baru yang kiranya lebih relevan, sebagai solusi dari kesan “ketidak adilan”atau “ketertindasan”, khususnya bagi kaum perempuan. Ia adalah perempuan pertama peraih gelar doctor dalam bidang polotik islam, di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997).

Musdah sendiri berasal dari lingkungan kaum tradisional, yaitu di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang lebih berpegang pada doktrin islam salafi. Hanya saja cara berpikirnya seolah melawan cara pandang tokoh-tokoh sesepuh NU dalam ber-islam. Itulah sebabnya banyak kalangan yang berani mengecam bahkan mengkafirkan Musdah Mulia, termasuk dari kalangannya sendiri.

Konsep ijtihad yang difavoritkannya membawanya pada pemikiran-pemikiran kritis yang selama ini belum berani diungkapkan oleh kaum perempuan di lingkungannya. Terlebih lagi dengan beberapa kursus singkat tentang HAM dan Civil society yang ia ikuti di Thailand, Australia, Swedia Amerika Serikat, dan Bangladesh, semakin membuatnya getol memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Ia pernah menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington, karena dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan pembaruan hukum Islam.

Ia yakin bahwa selama ini ada substansi tersembunyi yang belum terungkap oleh ijtihad para ulama terdahulu, yang lebih mengacu pada teks, tanpa mempertimbangkan konteks. Substansi inilah yang Ia istilahkan dengan Maqashid al-Syari’ah. Menurutnya, tujuan hakiki syari’at islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-Kulliyat al-Khamsah): hak hidup (hifdz al-Nafs), hak kebebasan beragama (hifdz al-Din), hak beropini dan berekspresi (hifdz al-‘Aql), hak reproduksi (hifdz al-Nasl), dan hak property (hifdz al-Maal), untuk menuju kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat.

Musdah seakan merasa mual ketika mendengar atau membaca teks yang terlalu seenaknya merendahkan perempuan atas dasar wahyu yang belum tentu sepenuhnya dipahami. Mayoritas ulama di dunia islam, termasuk Indonesia, memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Dia hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Hal ini –sembarang- diyakini berdasarkan ayat-ayat yang dipahami secara tekstual. Seperti ayat-ayat yang mengatakan bahwa Hawa, yang mana sebagai perempuan pertama, tercipta dari bagian tubuh Adam, pihak laki-laki, Adam dan Hawa dilaknat jatuh ke bumi gara-garra rayuan Hawa yang terpengaruh iblis, apalagi dengan adanya hadits yang mengatakan, “peremuan itu lemah akal dan agamanya” (HR. Bukhari dari Sa’id ibn Abi Maryam), dan hadits yang mengatakan, “celakalah suatu bangsa yang mempercayakan kepemimpinannya kepada perempuan” (QS. Al-Nisa’: 34). Semuanya itu mempunya implikasi yang fatal bagi posisi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa mahram, tidak boleh keluar malam, tidak perlu sekolah tingkat tinggi, dan tidak perlu aktif di masyarakat, apalagi memimpin. Bahkan dipublikasikan bahwa perempuan itu penyebar dosa, dan terbanyak sebagai penghuni neraka. Inilah yang menurut Musdah menjadi sebab munculnyya diskriminasi dan kekesan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun pemerintahan. Hingga muncullah istilah “konco wingking” untuk perempuan, yang hidupnya hanya radius kasur, sumur, dan dapur.

Dalam bukunya, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Musdah mengatakan,”keterbatasan hukum yang dikandung al-Qur’an dan Sunnah dinyatakan secara jelas dalam hadits Rasul yang ditujukan kepada Muadz ibn Jabal; “…Jika disuatu tempat anda menemukan persoalan maka selesaikanlah dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun jika tidak ditemukan petunjuk dalam keduanya maka gunakanlah nalarmu”. Hadits ini mengindikasikan kebutuhan ijtihad dengan sangat jelas”. Berangkat dari sinilah Musdah Mulia memulai semangatnya untuk bergerak melawan ketidakadilan. Ia merasa bahwa realitas yang terjadi adalah sama sekali bukan maksud dari pesan al-Qur’an dan Tuhan. Islam Ia yakini sebagai agama rahmatan lil’amamin. Termask rahmat kemanusiaan yang tanpa membedakan status kelamin, tetapi yang menjadi problem di hadapan Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketaqwaannya (QS. Al-Hujurat; 13).

Fiqh adalah refleksi pemahaman islam yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu tentunya fiqh bersifat fleksibel, tidak absolut (tidak qath’i). Fiqh adalah hasil ijtihad para ulama yang tentu saja sangat terkait dengan situasi sosio kultural sebatas kehidupan mereka masing-masing. Itu berarti interpretasi dan statemen hukum fiqh akan selalu berubah sesuai dengan perjalanan masa. Maka sebagai pijakan dasar, Musdah begitu menyanjung agama Tauhid (monotheisme mutlak), yang membawa kepada persatuan dan persamaan manusia sebagai makhluq Tuhan yang Esa. Pada hakikatnya seluruh makhluq termasuk manusia berasal dari ciptaan Tuhan. Maka tentunya diantara seluruh manusia itu bersaudara. Segala bentuk perbedaan ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, bahkan agama memang dikehendakiNya agar manusia saling melengkapi satu sama lain, membangun masyarakat baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Kemudian, ajaran monotheisme ini membawa pada paham humanisme, pluralisme, dan egaliteranisme dalam kehidupan masyarakat modern. Tidak boleh lagi ada pemaksaan dalam hal apapun; dalam beragama, berkarir, dan bersosialisasi.

Berdasarkan hal di atas, dalam hal pernikahan Musdah mempunyai pendapat bahwa nikah lintas agama itu boleh asalkan tidak atas dasar motif tertentu, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut; “saya tidak setuju terhadap perkawinan lintas agama manakala; pertama, sebagai modus operan trafiking. Kedua, sebagai alat politisasi agama. Ketiga, sebagai upaya melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan”.

Selain itu muncul isu bahwa Musdah juga menghalalkan pernikahan homoseksual. Menaggapi hal itu, beliau berkata ; “jujur saya katakan, saya tidak dalam posisi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, karena saya bukan Tuhan. Saya hanya menghimbau agar melihat orang atau kelompok apapun sebagai manusia utuh yang perlu dihargai dan dipenuhi hak-haknya sebagi manusia. Soal dosa, itu urusan dia dengan Tuhan. Sebagai manusia jangan pernah menghakimi. Kita perlu belajar lebih banyak soal seksualitas agar mengerti betul tentang hakikat kemanusiaan”.

Demikian sedikit gambaran tentang gaya pemikiran seorang Musdah mulia, yang mungkin dapat menjadi inspirasi bagi Musdah-Musdah berikutnya.



2 komentar:

  1. wah dia bukan reformis mas, tapi perusak agama, lha wong yang di singung2 itu yang sudah qhat'i og.... kecuali masalah furu' ini masih bisa ditoliler...

    BalasHapus
  2. soal mana yang furu', dan mana yang qath'i juga perlu dibicarakan lagi (menurut siapa, dan bagaimana argumen masing2). Saya lebih suka sebut musdah revisionis,bukan revormis. Yang jelas, dia lebih berpikir daripada orang2 yang cuma taqlid. Thanks.

    BalasHapus