Telah kita ketahui bahwa tujuan murni (maqâshid asy-syar’iyyah) dari puasa berbeda dengan pengertian istilahnya, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. Disana dikatakan bahwa pengertian puasa adalah menahan makan, minum, marah, bersetubuh, dan segala nafsu lainnya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. (Dan penulis lebih setuju jika itu disebut metode, bukan pengertian).
Sedangkan sebagai maqâshid asy-syar’iyyah dari puasa bisa disimpulkan dengan satu kata; “Tirakat”(jawa, yang bisa diartikan dengan menjauhi enak-enakan). Tirakat ini akan bisa berlanjut ke prihatin pada saudara-saudara kita di luar sana yang susah makan, agar kita sedikit turut merasakan penderitaan itu. Kemudian, sebagai cambuk untuk diri sendiri yang selama ini telah dibudak nafsu. Karena itu puasa juga dipakai sebagai hukuman bagi suatu pelanggaran. Puasa juga sebagai ajang menggali makna hakikat hidup yang sesungguhnya, yang seharusnya jauh dari keserakahan, kesombongan, kemunafikan, dan tentunya ke-tergila-gila-an terhadap dunia. Karena dengan perut yang kenyang nafsu bisa menjadi liar, merasa berkuasa, merasa bisa hidup sendiri, bahkan lupa dengan si Pemberi makanan/rizqi. Padahal sering kita temui ayat al-Qur’an, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS. 2:183)
Menangkap keabsahan puasa itu mudah. Anak SD pun mampu melakukannya. Tapi yang sangat sulit (dan yang sering dilupakan) adalah tujuan dari puasa itu sendiri. Kebanyakan orang selalu bangga atas kesuksesan puasanya. Karena mereka pikir itulah finishnya. Hingga nanti di hari Fitri (hari kemenangan) mereka juga merasa menang. Menang melawan lapar, suatu kebanggaan?? Pasti ayam pun tertawa jika mendengarnya.
Puasa tidak sekedar menunaikan kewajiban, tapi banyak nilai-nilai besar yang bisa diambil di dalamnya, yang tentunya harus diimbangi dengan sikap yang lain. Seperti dalam ayat berikut, yang artinya:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 33:35)
Maka tidakkah sangat merugi bagi orang yang sudah terlanjur kelaparan satu bulan, tapi ia tidak bisa mengambil “ganti rugi” apa-apa dari itu. Mungkin ia sudah mendapatkan pahala atas keabsahan puasanya. Tapi sekali lagi, mungkin. Karena pahala memang tidak bisa sembarangan diperoleh.
Akal kita pasti mampu merambah lebih lebar daripada lebarnya ulasan teks. Kita harus tahu apa saja yang kita lakukan. Atas dasar apa, bagaimana caranya, dan untuk apa kita lakukan. Bukan hanya perihal puasa, tapi juga pekerjaan apapun, sekecil apapun.
Saatnya merenung......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar