Sabtu, September 19, 2009

‘IDUL FITRI; HARI KESEDIHAN


Hari Raya ‘idul fitri sering disebut dengan “Hari Kemenangan”. Dimana semua orang islam bersuka cita . tertawa bercanda disana-sini. Dan suara petasan turut ramaikan suasana. Tentu hal itu wajar dilakukan bagi orang normal. Bertemu sanak saudara dan saling berma’afan. Senyum bahagia selalu terpasang sebagai tanda bahwa hari itu memang sungguh istimewa.

Sementara, di”pojok” keramaian itu, dalam kerahasiaan penulis merasa sedih, khawatir, dan takut yang bercampur menjadi satu. Memang, tidak lazim jika bersedih hati saat datangnya hari raya. Hal ini mirip dengan ke-tidaklazim-an kesedihan Abu Bakar RA. atas kesempurnaan agama islam. Saat itu, para sahabat bersorak gembira setelah Rasulullah SAW. berkata bahwa agama islam telah sempurna turun di bumi ini, berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Dan anehnya Abu Bakar justru bersedih hati dan terus menangis ditengah kegembiraan itu. Beliau menutup diri hingga tiga hari di rumahnya. Para sahabat lain pun menjadi heran, apa sebenarnya yang difikirkan Abu Bakar. Setelah terus didesak, beliau baru menjelaskan bahwa jika agama islam telah sempurna maka tugas Rasulullah telah selesai pula. Itu artinya, tidak lama lagi Rasulullah akan wafat meninggalkan mereka semua. Mendengar penjelasan itu, barulah para sahabat sadar dan kemudian ikut bersedih dan menangis. Maka benarlah terjadi apa yang ditakutkan Abu Bakar. Rasulullah SAW. meninggal dunia, dengan dua warisan besar, al-Qur’an dan al-Hadits.

Seperti itulah agaknya yang dirasakan penulis, saat ini. Merasa bersedih saat orang lain bergembira karena datangnya ‘idul fitri. Penulis tak menafikan bahwa hari itu memang hari kebahagiaan, karena ampunan sedang diobral dari siapa saja, untuk siapa saja. Itulah hari raya besar islam, dimana para insan kembali suci ibarat bayi yang baru lahir.

Maka bukan hal itu yang membuat penulis bersedih. Ia bersedih, karena dengan adanya hari raya ‘idul fitri, maka ia akan ditinggalkan bulan ramadlan. Itu artinya, ia akan kembali jauh dari saat-saat penuh pahala, berkah, dan pelipatan ganda kebaikan di bulan paling mulia itu. Para iblis terpasung sebagai simbol kesempatan bagi kita agar lebih bersemangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bulan penuh perenungan, syukur atas segala nikmat, dan kembai pada kesucian. Sementara tentu tak ada kepastian bahwa kelak akan bertemu lagi dengan buan suci itu di tahun depan, dan selamanya. Mungkin tak banyak orang yang juga turut merasakan hal ini. Penulis tak tahu, ia sedang normal atau tidak. Yang jelas, itulah sebenarnya.

Tapi kemudin, penulis melakukan aktifitas favoritnya, yaitu merenung, dan merenung. Dan akhirnya ia menemukan suatu keputusan, yang mungkin juga bisa dipakai siapa saja;

Pertama, boleh saja bergembira, bahkan berpesta di hari raya ‘idul fitri. Tapi disamping itu harus diingat pula, tidak akan bertahan lama kesucian hati insan terjaga. Semakin lama hidup, semakin banyak pula dosa yang diperbuat. Disinilah seyogyanya rasa takut itu ditumbuhkan. Dan untuk selanjutnya, sebisa mungkin mencegah kesalahan-kesalahan di masa mendatang.

Kedua, memang sudah maklum, bahwa bulan ramadlan adalah yang paling mulia. Tapi itu bukan berarti bulan-bulan yang lain kurang tepat jika dipakai untuk rajin beribadah. Balasan dari Allah tidak mungkin terpaku pada satu bulan saja. Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil. Tidak pandang apa, siapa, dimana, dan kapan. Asal amalan dilakukan dengan ikhlash, maka tentu tak ada kerugian darinya.

Terbukalah senyum semangat penulis, menyambut bulan syawal, DzulQa’dah, DzulHijjah, dan seterusnya…..

1 Syawal 1430 H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar