Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid
Fi Wujuh At-Ta’wil
Adalah karya dari Abu al-Qasim Jârullâh Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari yang lebih masyhur dengan nama Az-Zamakhsyari (467-538 H.). Zamakhsyar adalah suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia, yang sekarang masuk dalam negara
Tafsir Al-Kasysyaf disusun dalam empat jilid, dan dicetakkan oleh berbagai penerbitan. Kitab ini merupakan karya yang ditunggu-tunggu oleh para sahabat Az-Zamakhsyari. Seperti yang tertera dalam muqaddimah tafsirnya;
“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia, selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan Tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku menjelaskan kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`an, serta mengajarkannya kepada mereka ‘sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur`an dan pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan’. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan yang mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya fardhu ‘ain. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi (negeri) sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu Bayân dan ilmu Badi`”[1].
Az-Zamakhsyari adalah tokoh yang diakui kehebatannya dalam hal bahasa Arab, hadits, gramatika, bahasa, retorika, filologi, dan seni deklamasi (elocution), hingga dapat menghasilkan tafsir al-Qur’an yang cemerlang.
Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Kasysyaf
Al-Zamakhsyari seringkali berpindah tempat untuk mengejar ilmu. Untuk pertama kalinya Ia belajar tentang bahasa dan nahwu kepada Muhamamad bin Jarir al-Dhabi al-Ashfahani Abu Mudhar, yang bermazhab Mu’tazilah di Khawarizm. Kemudian dengan ambisi kuat ia pergi ke Khurasan dan
Kemudian al-Zamakhsyari kembali ke daerahnya. Saat itu Muhammad Anushtikin (mantan kepala daerah Khawarizm) telah mendirikan rumah raja (Sultan Sinjar) yang kemudian mengukuhkannya sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya, Atsaz. Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsyari dapat berada di dekatnya, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya. Karya-karyanya itu kebanyakan dalam bidang bahasa, sastra, dan gramatika (sehingga layak untuk disebut pakar bidang ini). Kepakarannya itu membuatnya menjadi rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdhil al-nâjiyah al-`adhiyyah), terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsyari sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl. Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran
Karakteristik Penafsiran
Dari segi akidah al-Zamakhsyari dikenal sebagai tokoh mu’tazilah. Sedangkan dalam bemadzhab Ia penganut madzhab Hanafi. Kemazhaban itu tercermin dari sya’irnya sebagai berikut:
“Dan aku sandarkan agamaku, keyakinanku dan mazhabku ke jalan yang lurus. Aku memilihnya dan memegang teguh pada Islam adalah pengikut Hanafi sebagai mazhab mereka yang tidak mengharapkan bagian.”[3]
Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsyârî terhadap mazhabnya belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadits, bahkan tafsir al-Kasysyaf sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas al-Qur`an[4]
Karakteristik ini terlihat mulai dari pembentukan rasionalitas-metodologis penafsiran hingga penerapannya dalam merasionalisasikan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung doktrin-doktrin Mu’tazilah. Rumusan prinsip rasionalitas metodologisnya di dasarkan pada ayat 7 surah Âli `Imrân;
“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muhkamat, dalam pandangan al-Zamakhsyârî, adalah yang berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu’tazilah yang terhimpun dalam Ushûl al-Khamsah: 1) Tauhid, 2) Keadilan, 3) Janji dan Ancaman, 4) Manzilah bayn al-Manzilatain, dan 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar. Sedang semua ayat yang zahirnya bertentangan dengan Ushûl al-Khamsah termasuk dalam kategori mutasyâbihât. Untuk menopang rasionalisasinya ini al-Zamakhsyârî sering memanfaatkan pengetahuan bahasa, sastra, gramatika, bahkan qirâ’at.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, termasuk juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Metode Penafsiran
Menurut al-Farmâwî ada empat macam metode dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu tahlily, ijmâly, muqâran, dan mawdhû’iy. Kemudian berdasarkan rumusan al-Farmâwî tersebut, maka metode tafsir yang digunakan dalam al-Kasysyâf adalah metode tahlily. Hal ini terlihat dari langkah-langkah al-Zamakhsyârî dalam menafsirkan al-Qur`an. Ketika menafsirkan al-Qur’an, ia berusaha mengungkapkan seluruh pengertian yang dimaksud hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengertian tentang nash al-Qur`an, hadits, riwayat sahabat, dan tabi`in, pengetahuan tentang nasikh- mansukh, ilmu qira`at, cerita Israiliyyat, ilmu Ushul Fiqih, ilmu Balaghah serta rahasianya, ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam (teologi). Tahlily, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani.
Sementara Basuni Faudah mengkategorikan tafsir al-Kasysyâf ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y, yakni penafsiran yang lebih memberikan keleluasan kepada akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam al-Kasysyâf juga dipergunakan hadits-hadits shahih, al-Zamakhsyârî pun mengutip dari para sahabat dan tabi’in, tetapi tentunya tidak bertolak belakang dengan mazhabnya yang i`tizâl itu.[5]
[1] Zamakhsyârî, al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah, hal. 17
[2] Hal ini dijelaskannya dalam mukaddimah tafsirnya al-Zamakhsyârî, Al-Ksysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah cet. I, jilid I, hlm. 3.
[3] M.S. Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyârî fî Tafsîr al-Qur`ân, Dâr al-Fikr, Kairo, 1968, hlm. 179.
[4] Nadvi Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, Pustaka, 1984, hlm. 37.
[5] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, terj. H.M. Mochtar Zaerni dan Abdul Qodir, Pustaka,