Sekelumit Pengakuan
Ketika Nusantara telah percaya diri untuk berubah menjadi Indonesia, ketika para pejuang telah merasa kuat melawan penindas, dan ketika bendera Merah Putih telah berani berkibar bebas di tengah bangsa, sama sekali tidak ada perbedaan warna pakaian yang mengganggu. Tetapi kini, masyarakat justru telah terbiasa dengan berita-berita konyol, yang menyuguhkan berbagai perselisihan di tengah rakyat, maupun di kalangan pemerintah, yang konon disebabkan karena perbedaan golongan.
Memang terlalu memalukan jika diungkit lebih panjang. Tetapi berbicara tentang golongan dalam masyarakat yang beragam, sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang menjadi biang keladi sebuah perselisihan. Karena jika hal itu dianggap sebagai biang keladi, maka tentunya yang menjadi momok utama adalah konsep Demokrasi. Namun anehnya, ternyata Demokrasi masih dijunjung tinggi di Negara ini. Maka sebenarnya adanya keberagaman golongan adalah hal yang wajar dalam lapisan masyarakat, karena memang melalui media itulah ideologi dan ekspresi tersalurkan sesuai dengan taraf dan motif masing-masing. Bahkan keberagaman tersebut terhitung penting sebagai penyumbang berbagai ide yang menjadi opsi demi kemajuan, dan sebagai wujud pengabdian kepada bangsa.
Kata “Persatuan” telah tertera selama puluhan tahun pada poin nomor tiga Pancasila. Namun kini implementasinya sama sekali tidak memuaskan asumsi. Maka alih-alih persaingan memajukan bangsa dan negara, alasan itulah yang selalu dijadikan kambing hitam oleh para oknum, ditengah rakyat yang terlanjur lelah mendengarnya. Perselisihan bahkan pertikaian masih sering kita temui di Negeri ini, dan seringkali itu disebabkan oleh hal sepele. Tidak lain tentu yang demikian itu disebabkan adanya dominasi sifat egois dengan pendapat sendiri, gengsi jika harus menarik kembali pendapatnya, maupun memang ada unsur persaingan yang tidak sehat sejak lama. Sebagai contohnya, pertikaian antar suku terjadi di Poso, perselisihan antar organisasi islam, antar Partai Politik saling bertanding atas kepentingan Partai, fenomena keributan para Anggota Dewan di gedung DPR, dan masih banyak lagi.
Pancasila mewantikan sebuah persatuan. Sementara persatuan yang dimaksud tentu saja bukan sebagai pasukan perang yang berkumpul dalam satu komando, karena setiap golongan mempunyai keunggulan masing-masing dalam sikap Nasionalisnya. Tetapi persatuan yang dimaksud adalah adanya cita-cita yang sama terhadap bangsa dengan sikap fokus, terbuka, teliti, tegas dan toleran, meskipun berada pada berbagai kotak golongan/ komunitas yang berbeda.
Bangsa yang terkotak-kotak bukanlah suatu kecacatan, tetapi justru menunjukkan adanya berbagai komunitas dengan berbagai keistimewaannya pula. Sementara yang menjadi benalu di antara kotak-kotak tersebut adalah adanya budaya rivalitas golongan yang membawa pada rivalitas antar individu. Ini terjadi bukan hanya di kalangan pemerintahan, tetapi dimana pun dan dalam bidang apapun. Di masyarakat
Keberagaman komunitas ini juga terjadi pada kaum pemuda, terutama gerakan Mahasiswa. Bersifat non-akademis, terlepas dari kepentingan Perguruan Tinggi. Bisa bidang politik, agama, maupun yang lain. Pada Mahasiswa telah terbiasa pula -dan terus saja membiasakan diri- dengan rivalitas antar kelompok. Padahal banyak juga dari mereka yang tidak mengerti mengapa mereka harus mewaspadai kelompok lain. Keadaan ini tentu membawa dampak tersendiri di kegiatan akademis bahkan dalam kehidupan sehari-hari.
Gue sudah muak dengan semua itu. Sangat disayangkan jika orang-orang yang tergolong kaum intelektual justru menciptakan iklim dokmatis dalam suatu komunitas, yang biasanya dibungkus dengan konsep disiplin. Sehingga jika ada seorang anggota yang melanggar, akan muncul klaim penghianat, penyusup, sesat, murtad, atau yang lainnya, tanpa ada kesadaran untuk introspeksi kebijakan. Hal-hal semacam inilah yang membuat terputusnya rantai persatuan antar golongan (jika rantai itu pernah ada). Rantai yang memuat cita-cita esensial seluruh aktifis nasionalis, yaitu kemajuan dan kemakmuran bangsa.
Cahaya Sebatang Lilin
Mendirikan sebuah Negara dapat diibaratkan dengan bekerja keras membangun pabrik. Pengelola tentu mempunyai segudang cita-cita dengan mempunyai pabrik itu. Namun dia juga sadar betul bahwa jika pabrik benar-benar telah berdiri, tentu dalam perjalanannya nanti akan banyak menemui rintangan, yang seolah-olah merupakan hal wajib yang harus dilalui seseorang yang ingin sukses. Baik rintangan yang bersifat intern maupun ekstern. Maka sistem yang bijak tentu akan membudayakan rapat atau musyawarah, baik secara formal maupun non-formal, untuk membicarakan segala permasalahan, tanpa membedakan status. Begitu pula Negara seharusnya, selalu membudayakan musyawarah antar golongan, instansi, maupun individual. Selain dapat menemukan titik pangkal permasalahan sekaligus penyelesaiannya secara bersama, juga dapat mempererat tali persaudaraan dan persatuan. Maka Negara yang dianalogikan dengan sebuah pabrik ini akan semakin berkembang karena menggunakan setiap potensi yang ada, sekecil apapun, tanpa ada pembedaan pihak. Dan yang lebih membanggakan lagi, perkembangan itu merupakan hasil pikiran bersama dengan hubungan kekeluargaan dan komunikasi yang baik.
Saya percaya bahwa setiap kelompok komunitas Nasionalis baik lembaga maupun non-lembaga mempunyai tujuan yang mulia untuk bangsa, kecuali beberapa oknum yang sengaja merusak citra pengabdian terhadap bangsa –yang jelas-jelas harus diadili. Hal ini sudah membentuk susunan visi dan misi umum yang seragam dari seluruh komunitas. Visi dan misi umum inilah yang harus selalu diperhatikan dalam menghadapi perbedaan persepsi dan aksi.
Semangat mempertahankan keindahan Negeri yang Bhineka juga harus tetap dipupuk dengan saling menghormati dan bangga akan kekayaan budaya. Karena setiap kebudayaan mempunyai nilai filosofi masing-masing yang diciptakan oleh para leluhur dan mengandung daya tarik keindahan yang beragam.
Sikap pluralitas dan humanistik menjadi alat penting dalam bermasyarakat. Karena jika memang ingin bersatu, maka semua sekat pemisah harus dihapuskan dan semua pihak turut andil ketika merumuskan sebuah keputusan. Tidak ada diskriminasi maupun pemaksaan kehendak.
Maka, untuk mewadahi semua itu perlu dibentuk beberapa forum komunikasi yang menjaring seluruh komunitas sesuai bidang masing-masing. Karena jelas tidak cukup jika fokus komunikasi suatu bidang hanya bertumpu pada sang menteri. Misalnya di bidang pariwisata, begitu banyak lokasi pariwisata di Indonesia, perwakilan pihak dari masing-masing lokasi itu dapat sharing dan bahkan bermitra melalui media sebuah forum, yangmana forum ini juga berperan penting dalam memberikan informasi tentang dunia pariwisata kepada masyarakat. Bukan hanya bertumpu pada Menteri Kebudayaan dan Pariwisata. Begitu pula dengan bidang lain, sepertihalnya Politik, Agama, Kesenian, Organisasi Pemuda, dan Pembangunan. Kemudian, dari setiap masing-masing bidang itu akan dikumpulkan lagi dalam suatu forum besar yang langsung berhubungan erat pula dengan Presiden, karena di forum besar inilah wajah
Terdapat banyak keuntungan dari pertemuan besar secara rutin ini, di antaranya :
1. Semua bidang telah terkumpul untuk saling melengkapi satu sama lain. Maka solusi untuk sebuah permasalahan akan lebih mudah ditemukan.
2. Sebagai media komunikasi antar golongan dengan azas kekeluargaan, yang mempunyai manfaat besar.
3. Sebagai wujud kedekatan rakyat dengan Pemerintah, merupakan kesempatan diskusi bersama dalam satu meja terhadap suatu permasalahan.
Jadi intinya, Nasionalisme Ala Gue, adalah adanya komunikasi yang sehat dan tertata, dengan sikap bijak dan penuh kekeluargaan, karena hal itu akan menciptakan pikiran jernih, sikap toleran, dan kesadaran atas keseragaman cita-cita bangsa.