Selasa, Juli 27, 2010

TAFSIR AL-KASYSYAF

Al-Kasysyaf ‘an Haqaiq Ghawamid At-Tanzil Wa ‘Uyun Al-Aqawil

Fi Wujuh At-Ta’wil

Adalah karya dari Abu al-Qasim Jârullâh Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari yang lebih masyhur dengan nama Az-Zamakhsyari (467-538 H.). Zamakhsyar adalah suatu desa di Khawarizmi, terletak di wilayah Turkistan, Rusia, yang sekarang masuk dalam negara Uzbekistan bagian dari Uni Soviet.

Tafsir Al-Kasysyaf disusun dalam empat jilid, dan dicetakkan oleh berbagai penerbitan. Kitab ini merupakan karya yang ditunggu-tunggu oleh para sahabat Az-Zamakhsyari. Seperti yang tertera dalam muqaddimah tafsirnya;

“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia, selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan Tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku menjelaskan kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`an, serta mengajarkannya kepada mereka ‘sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur`an dan pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan’. Pada mulanya aku tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan yang mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka minta) itu hukumnya fardhu ‘ain. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi (negeri) sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu Bayân dan ilmu Badi`”[1].

Az-Zamakhsyari adalah tokoh yang diakui kehebatannya dalam hal bahasa Arab, hadits, gramatika, bahasa, retorika, filologi, dan seni deklamasi (elocution), hingga dapat menghasilkan tafsir al-Qur’an yang cemerlang.

Latar Belakang Penulisan Tafsir Al-Kasysyaf

Al-Zamakhsyari seringkali berpindah tempat untuk mengejar ilmu. Untuk pertama kalinya Ia belajar tentang bahasa dan nahwu kepada Muhamamad bin Jarir al-Dhabi al-Ashfahani Abu Mudhar, yang bermazhab Mu’tazilah di Khawarizm. Kemudian dengan ambisi kuat ia pergi ke Khurasan dan Isfahan untuk mendekati para pemegang kekuasaan seperti Muji al-Daulah `Ubaidillah bin Nizham al-Mulk, dan Muhammad bin Malik Syah dengan memberikan bait-bait syair pujian. Namun, ia gagal dan ia sempat sakit parah sekitar tahun 512 H. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya karena berambisi mengejar kekuasaan, Ia pergi ke Makkah dan bertemu dengan seorang pemuka `Alawi bin Isa bin Hamzah bin Wahhas, dan membaca kitab Sibawaih atas bimbingan `Abdullah bin Thalhah al-Yabiri. Sebelumnya, Al-Zamakhsyari juga sempat pergi ke Baghdad untuk belajar hadits kepada Abu al-Khitab bin al-Bathar, Abu Sa`d al-Syafani, dan Syaikh Islam Abu Manshur al-Haritsi, dan belajar ilmu Fiqh kepada al-Damghani (seorang Hanafiah) dan Ibn al-Syajari.

Kemudian al-Zamakhsyari kembali ke daerahnya. Saat itu Muhammad Anushtikin (mantan kepala daerah Khawarizm) telah mendirikan rumah raja (Sultan Sinjar) yang kemudian mengukuhkannya sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya, Atsaz. Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsyari dapat berada di dekatnya, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk menulis dan menerbitkan karya-karyanya. Karya-karyanya itu kebanyakan dalam bidang bahasa, sastra, dan gramatika (sehingga layak untuk disebut pakar bidang ini). Kepakarannya itu membuatnya menjadi rujukan rekan-rekan semazhabnya (afâdhil al-nâjiyah al-`adhiyyah), terutama dalam penerapannya terhadap penafsiran al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsyari sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqâwîl fî Wujûh al-Ta’wîl. Akan tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan ia mendapatkan banyak orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya. Sehingga ia berketetapan untuk menyelesaikan tafsirnya di Baitullah[2].

Karakteristik Penafsiran

Dari segi akidah al-Zamakhsyari dikenal sebagai tokoh mu’tazilah. Sedangkan dalam bemadzhab Ia penganut madzhab Hanafi. Kemazhaban itu tercermin dari sya’irnya sebagai berikut:

“Dan aku sandarkan agamaku, keyakinanku dan mazhabku ke jalan yang lurus. Aku memilihnya dan memegang teguh pada Islam adalah pengikut Hanafi sebagai mazhab mereka yang tidak mengharapkan bagian.”[3]

Ditinjau dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsyârî terhadap mazhabnya belum sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur`an dan Hadits, bahkan tafsir al-Kasysyaf sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas al-Qur`an[4]

Karakteristik ini terlihat mulai dari pembentukan rasionalitas-metodologis penafsiran hingga penerapannya dalam merasionalisasikan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung doktrin-doktrin Mu’tazilah. Rumusan prinsip rasionalitas metodologisnya di dasarkan pada ayat 7 surah Âli `Imrân;

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.

Selanjutnya, dapat ditelusuri bahwa ayat-ayat muhkamat, dalam pandangan al-Zamakhsyârî, adalah yang berada dalam kerangka doktrin-doktrin Mu’tazilah yang terhimpun dalam Ushûl al-Khamsah: 1) Tauhid, 2) Keadilan, 3) Janji dan Ancaman, 4) Manzilah bayn al-Manzilatain, dan 5) Amar Ma’ruf Nahy Munkar. Sedang semua ayat yang zahirnya bertentangan dengan Ushûl al-Khamsah termasuk dalam kategori mutasyâbihât. Untuk menopang rasionalisasinya ini al-Zamakhsyârî sering memanfaatkan pengetahuan bahasa, sastra, gramatika, bahkan qirâ’at.

Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, termasuk juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur’an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.

Metode Penafsiran

Menurut al-Farmâwî ada empat macam metode dalam penafsiran al-Qur’an, yaitu tahlily, ijmâly, muqâran, dan mawdhû’iy. Kemudian berdasarkan rumusan al-Farmâwî tersebut, maka metode tafsir yang digunakan dalam al-Kasysyâf adalah metode tahlily. Hal ini terlihat dari langkah-langkah al-Zamakhsyârî dalam menafsirkan al-Qur`an. Ketika menafsirkan al-Qur’an, ia berusaha mengungkapkan seluruh pengertian yang dimaksud hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan, seperti pengertian tentang nash al-Qur`an, hadits, riwayat sahabat, dan tabi`in, pengetahuan tentang nasikh- mansukh, ilmu qira`at, cerita Israiliyyat, ilmu Ushul Fiqih, ilmu Balaghah serta rahasianya, ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam (teologi). Tahlily, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur’an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani.

Sementara Basuni Faudah mengkategorikan tafsir al-Kasysyâf ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y, yakni penafsiran yang lebih memberikan keleluasan kepada akal pikiran dalam memahami dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Di dalam al-Kasysyâf juga dipergunakan hadits-hadits shahih, al-Zamakhsyârî pun mengutip dari para sahabat dan tabi’in, tetapi tentunya tidak bertolak belakang dengan mazhabnya yang i`tizâl itu.[5]



[1] Zamakhsyârî, al-Kasysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah, hal. 17

[2] Hal ini dijelaskannya dalam mukaddimah tafsirnya al-Zamakhsyârî, Al-Ksysyâf `an Haqâ‘iq al-Tanzîl wa `Uyûn al-Aqawîl fî Wujûh al-Ta’wîl, Mathba’ah Syarqiyyah cet. I, jilid I, hlm. 3.

[3] M.S. Juwainî, Manhaj al-Zamakhsyârî fî Tafsîr al-Qur`ân, Dâr al-Fikr, Kairo, 1968, hlm. 179.

[4] Nadvi Muzaffaruddin, Pemikiran Muslim dan Sumbernya, Pustaka, 1984, hlm. 37.

[5] Mahmud Basuni Faudah, Tafsir-tafsir al-Quran, terj. H.M. Mochtar Zaerni dan Abdul Qodir, Pustaka, Bandung, 1987, hlm. 104.

MASIH TENTANG HERMENEUTIKA

Ketika tradisi ideologi kritis mulai merebak, berbagai kalangan pun mulai lebih hidup dengan bermacam responnya. Salah satunya yaitu ketika kemunculan konsep Hermeneutika sebagai sebuah metode penafsiran teks kitab suci. Metode ini menimbulkan pengaruh yang luar biasa, bahkan hingga kini. Sementara konsep tersebut yang awalnya berskala kecil, yakni direncanakan untuk membedah teks kitab Bibel, kini berkembang menjadi sebuah ilmu pengetahuan sekaligus salah satu metode untuk membedah teks apapun, termasuk al-Qur’an.

A. Konsepsi Hermeneutika

Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani; Hermeneuo (menafsirkan). Berangkat dari sebuah sebutan untuk dewa penyampai berita kepada manusia, Dewa Hermes. Dewa ini juga yang menguasai perihal yang ilmiah, penemuan, kefasihan bicara, seni tulis dan kesenian (Bernard Ramm, Protetant Biblical Interpretation, 1983). Tepatnya, Hermes diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia ke dalam bentuk yang dapat ditangkap intelegensia manusia. Bentuk kata yang beragam itu mengasumsikan adanya proses menggiring sesuatu atau situasi dari yang sebelumnya tak dapat ditangkap oleh intelegensia menjadi dipahami. Orang Yunani berhutang budi pada Hermes dengan penemuan bahasa dan tulisan –sebuah mediasi dimana pemahaman manusia dapat menangkap makna dan menyampaikannya pada orang lain (Richard E. Palmer, Hermeneutika - Teori Baru Mengenai Interpretasi, 2003).

Sebagai obyek kajian dalam metode Hermeneutika ini adalah teks. Sementara pada Hermeneutika modern segala bentuk apapun adalah merupakan teks, baik berupa benda hidup, benda mati, simbol, maupun teks murni. Kesemuanya itu diyakini mempunyai sesuatu yang tersembunyi dibaliknya, yang sesuatu itu merupakan maksud terdalam dari teks, bahkan kemudian dianggap aposteriori oleh personalitas.

Dalam proses interpretasi hermeneutis terhadap al-kitab –dan kini terhadap teks lain pula-, ada beberapa tahapan yang dilalui, diantaranya; Kritik Bentuk dan Kritik Tradisi.

1. Kritik Bentuk

Kritik Bentuk sebenarnya mengkonsentrasikan pada bagian-bagian teks yang lebih luas, bahkan hingga seluruh kitab, akan tetapi secara keseluruhan metode ini menaruh perhatian lebih pada unit atau bagian terkecil yang lebih singkat dari suatu teks atau tulisan. Kritik bentuk ini meneliti proses penyampaian berita (yang ditulis berupa teks), dimulai dari bentuk pewartaan secara lisan (dari mulut ke mulut) hingga bentuk tertulis yang kita miliki sekarang ini (Hasan Sutanto, Hermenutik - Prinsip dan Metode Penafsiran Alkitab, 1998). Kritik bentuk ini berusaha menjelaskan dalam keadaan sosial dan dalam keadaan atau kesempatan yang bagaimanakah bentuk-bentuk itu memiliki peran. Di dalam situasi kehidupan sosial yang bagaimanakah suatu bentuk (dari teks) dapat dijumpai. Di dalam situasi kehidupan sosial yang tertentu sangat menentukan bentuk dan gaya-gaya sastra yang tertentu pula.

Oleh karena itu kritik bentuk ini adalah aspek dari pendekatan kritis yang meneliti bentuk, isi, dan fungsi unit yang khusus dan menilai apakah semuanya itu cukup jelas dan cukup unik sehingga dapat dimasukkan ke dalam salah satu golongan serta menafsirkannya sebagai salah satu bentuk. Proses meneliti bentuk tersebut adalah dengan cara menemukan faktor-faktor dalam pola yang sama yang dapat dijelaskan dan ditentukan ciri-ciri dan tolok ukurnya secara jelas, sehingga teks dapat digolongkan ke dalam sebuah bentuk tertentu. Setelah kita meneliti bentuk (sebuah teks) dengan seksama maka kita mendapatkan sebuah hubungan langsung antara bentuk dan isi sastra dari sebuah teks (Hayes John H. dan Holladay Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, 2006).

2. Kritik Tradisi

Tradisi merupakan hal yang lazim ada pada setiap kebudayaan, karena tradisi mengungkapkan pemahaman diri bangsa-bangsa, pengertian mereka tentang masa lalu, dan berbagai hal yang berlaku dalam kebudayaan tersebut. Sebuah tradisi diteruskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bisa dilakukan dalam bentuk cerita, perkataan, nyanyian, puisi, kepercayaan dll.

Salah satu mediasi antar generasi itu adalah dengan kitab. Kita mengetahui bahwa sebuah teks dapat mengalami perbedaan redaksi dengan teks sejenisnya. Berbagai versi berbeda ditemukan dengan pembahasan yang sama. Hal ini terjadi pula dalam al-kitab, misalnya pada kitab Perjanjian Lama, tentang perintah pemeliharaan hari Sabat dalam Keluaran 20:8-11, berbeda redaksi dengan yang ada pada kitab Ulangan 5:12-15. Dengan didasarkan pada pengamatan isi, struktur dan konteksnya, yang menjadi perhatian dari kritik bentuk, maka kritik tradisi berusaha untuk merekonstruksinya.

B. Implikasinya terhadap al-Qur’an.

Ketika metode hermeneutis ini telah sampai pada ranah teks islam, khususnya al-Quran, maka pembahasan peran metodologi ini menjadi sangat panjang. Begitu banyak tokoh muslim yang merasakan pengaruhnya, diantaranya adalah Nasr Hamid Abu Zayd yang menyatakan, “Aku banyak membaca sendiri, khususnya di dalam bidang filsafat dan hermeneutika. Hermeneutika, ilmu menafsirkan teks-teks, telah membuka cakrawala dunia baru kepadaku.(I did a lot of reading on my own, especially in the fields of philosophy and hermeneutics. Hermeneutics, the science ofinterpreting texts, opened up a brandnew world for me)” (Nasr Abu Zaid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflections on Islam, 2004).

Selanjutnya Nasr Hamid mengatakan, “Al-Quran sebagai sebuah teks pada dasarnya adalah produk budaya, sehingga tidak ada bedanya dengan buku-buku lain yang juga produk akal manusia” (Tekstualitas Al-Quran, 2000). Bahkan Mohammed Arkoun menegaskan bahwa; sebuah tradisi akan kering, mati, dan mandeg jika tidak dihidupkan secara terus-menerus melalui penafsiran ulang sejalan dengan dinamika sosial (Rethinking Islam, 1999).

Penolakan konsep Hermeneutika terhadap al-Qur’an pun juga digencarkan oleh tokoh-tokoh berbeda. Pro dan kontra bersahutan, hingga berlanjut dalam karya mereka masing-masing. Di antara penolakan interpretasi hermeneutis, dan menentang pendapat tokoh pro hermeneutis tersebut adalah adanya pernyataan, “Jika Al-Qur'an produk teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Al-Qur'an dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn 'Abbas tidak mengetahui makna fatir, hananan, ghislin, awwah, al-raqim” (Jalal at-Din al-Suyuti, al-Itqan fi `ulum AI-Qur'an, 2003).

Ada pula pendapat lain, “Al-Qur'an bukanlah produk budaya, karena Al­-Qur'an bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Al-Qur'an justru membawa budaya baru dengan menentang serta mengubah budaya yang ada. Jadi, Al-Qur'an bukanlah produk budaya Arab Jahiliyyah. Namun justru kebudayaan Jahiliyyah Arab yang diubah pada zaman Rasulullah saw. Jadi, budaya pada zaman Rasulullah saw. adalah produk dari Al-Qur'an, bukan sebaliknya” (Adnin Armas, Metodologi Dalam Studi Al-Qur’an, 2005).

Tetapi tak dapat dibendung bahwa nalar kritis telah mampu merambah di benak ummat islam sejak lama. Seiring dengan masuknya materi filsafat barat ke dunia timur, bahkan jauh sebelumnya, di dunia islam pun telah mempunyai metode falsafi yang kemudian disebut dengan epistemologi islam. Jika kita kembali ke sejarah awal Hermeneutika, bahwa Dewa Hermes adalah sosok mistis pengantar pesan dari para dewa kepada manusia, maka dapat disinggungkan pula dengan metode epistemologi irfani yang mengandalkan ilham sebagai patokan.

Walaupun hingga kini konsep Hermeneutika masih menjadikan pro dan kontra antar tokoh, tetapi yang jelas metode ini –sedikit banyak- telah memberi kontribusi berharga dalam khazanah keilmuan, termasuk di dunia islam. Bukan hanya ketelitian terhadap teks al-Qur’an, tetapi juga terhadap teks apapun, sesuai dengan ajarannya.

Senin, Juli 26, 2010

EPISTEMOLOGI IRFANI

BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kajian Epistemologi terdapat banyak bagian-bagian yang masing-masing sebagai rancang bangun, yang kemudian membentuk sebuah disiplin ilmu secara otonom. Salah satunya adalah Epistemologi Irfani, yang dikatakan merupakan salah satu cabang dari ilmu filsafat islam, seperti halnya Burhani dan Bayani. Namun ketika pembahasan berlanjut ke ranah ilmu pengetahuan secara umum, maka tentu Epistemologi Irfani juga mempunyai andil di dalamnya.

Mungkin Epistemologi Irfani dianggap merupakan bagian kecil dari cabang filsafat keseluruhan. Namun dalam pembahasannya akan ditemukan fenomena-fenomena menarik yang justru dapat sebagai awal dari ideology selanjutnya

BAB II

PEMBAHASAN

  1. Pengertian

Secara etimologis, Irfani adalah bentuk mashdar (infinitif) dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui[1]. Seakar pula dengan kata Ma’ruf (Keba-jikan) dan Ma’rifat (pengetahuan).

Sedangkan secara epistemologis, irfani merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara pengolahan batin/ruhani, yang kemudian diung-kapkan secara logis.

  1. Konsep

Pengetahuan irfani tidak didasarkan atas teks seperti halnya bayani, tidak juga didasarkan pada rasio sepertihalnya burhani, tetapi pada kasyf, ter-singkapnya rahasia-rahasia realitas oleh Tuhan. Disebutkan juga bahwa Irfani ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf[2]. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, dimana dengan kesucian hati, diharapkan Tuhan akan melimpahkan pengetahuan langsung kepadanya. Masuk dalam pikiran, dikonsep kemu-dian dikemukakan kepada orang lain secara logis. Dengan demikian pe-ngetahuan irfani setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan[3];

    1. Persiapan

Untuk bisa menerima limpahan pengetahuan (kasyf), seseorang harus menempuh jenjang-jenjang kehidupan spiritual. Setidaknya ada tujuh tahapan yang harus dijalani, mulai dari bawah menuju puncak; Taubat, Wara` (menjauhkan diri dari segala sesuatu yang subhât), Zuhud (tidak tamak dan tidak mengutamakan kehidupan dunia), Faqir (mengosongkan seluruh pikiran, tidak menghendaki apapun kecuali Tuhan swt.), Sabar, Tawakkal, Ridla (hilangnya rasa ketidaksenangan dalam hati sehingga yang tersisa hanya gembira dan suka cita).

    1. Penerimaan

Jika telah mencapai tingkat tertentu dalam sufisme, seseorang akan mendapatkan limpahan pengetahuan langsung dari Tuhan secara illuminatif (pencerahan). Pada tahap ini seseorang akan mendapatkan realitas kesadaran diri yang demikian mutlak (kasyf), sehingga dengan kesadaran itu ia mampu melihat realitas dirinya sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui. Namun, realitas kesadaran dan realitas yang disadari tersebut, keduanya bukan sesuatu yang berbeda tetapi merupakan eksistensi yang sama, sehingga objek yang diketahui tidak lain adalah kesadaran yang mengetahui itu sendiri, begitu pula sebaliknya (ittihâd), yang dalam kajian Mehdi Yazdi disebut ‘Ilmu Huduri’ atau pengetahuan swaobjek (self object knowledge).[4]

Menemukan kebenaran dengan cara ini juga diakui John S. Brubacher dalam bukunya, Modern Philosophies of Education, bahwa salah satu dari teori tentang kebenaran adalah Teori Religius (Re-ligious), yaitu kebenaran adalah kebenaran ilahi = divine truth, kebe-naran yang bersumber dari Tuhan, kebenaran disampaikan melalui wahyu (ilham). Kebenaran tidak cukup diukur dengan interes dan rasio individu, akan tetapi harus bisa menjawab kebutuhan dan memberi keyakinan pada seluruh umat. Karena itu kebenaran haruslah mutlak, berlaku sepanjang sejarah manusia.[5]

Pengetahuan semacam ini di dunia islam sering disebut dengan ilham, seperti yang dikatakan Ali Issa Othman, bahwa Pengetahuan yang diperoleh di dalam “kebangkitan” disebut ilham. Tetapi ilham bukan merupakan wahyu atau kenabian. Wahyu merupakan kata-kata yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diurunkan Allah dengan maksud supaya disampakan kepada orang-orang lain sebagai petunjuk-petunjuk dari Allah, sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Wahyu hanya diberikan kepada nabi-nabi, sedang ilham diberikan kepada siapa saja yang diperkenankan Allah.[6]

    1. Pengungkapan

Yakni pengalaman mistik diinterpretasikan dan diungkapkan kepada orang lain, lewat ucapan atau tulisan. Namun, karena penge-tahuan irfani bukan masuk tatanan konsepsi dan representasi tetapi terkait dengan kesatuan simpleks kehadiran Tuhan dalam diri dan kehadiran diri dalam Tuhan[7], sehingga tidak bisa dikomunikasikan, maka tidak semua pengalaman ini bisa diungkapkan.[8] Hal ini dibe-narkan pula oleh Ali Issa Othman;

pengetahuan tentang kebenaran tidak dapat diungkapkan secara umum dan hanya dapat diketahui secara pribadi. Usaha-usaha untuk merumuskannya ke dalam kata-kata hanya akan menyesatkan. Kata-kata tidak dapat melukiskan kenyataan, karena kata-kata hanya diciptakan untuk mengutarakan hal-hal secara sepakat, dan kebenaran itu tidak dikenal secara sepakat”.[9]

Kemudian beberapa cara pengungkapan makna atau dimensi batin yang diperoleh dari hasil kasyf tersebut adalah; Pertama, dapat diungkapkan dengan cara i`tibâr atau qiyas irfani. Yakni analogi makna batin yang ditangkap dalam kasyf kepada makna zahir yang ada dalam teks. Kedua, diungkapkan lewat syathahât, suatu ungkapan lisan tentang perasaan (al-wijdân) karena limpahan pengetahuan langsung dari sumbernya dan dibarengi dengan pengakuan, seperti ungkapan ‘Maha Besar Aku’ dari Abu Yazid Bustami (w. 877 M), atauAna al-Haqq dari al-Hallaj (w. 913 M). Ungkapan-ungkapan seperti itu menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat men-dalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang dari ajaran islam yang baku. Meski demikian, secara umum, syathahât sebenarnya diterima dikalangan sufisme, meskipun dikalangan sufisme sunni yang membatasi diri pada aturan syariat, dengan syarat bahwa syathahât tersebut harus ditakwilkan, yakni ungkapannya harus terlebih dahulu dikembalikan pada makna zahir teks. Artinya, syathahat tidak boleh diungkapkan secara ‘liar’ dan berseberangan dengan ketentuan syariat yang ada.

Metode analogi seperti diatas, menurut al-Jabiri, juga dikenal dalam pemikiran di Barat, yakni dalam aliran filsafat esoterik[10], yang disebut analogi intuitif. Namun, dalam analogi filsafat esoterik, perbandingan (qiyas) bukan dialakukan atas dasar kesamaan tetapi karena adanya keterpengaruhan. Bagi al-Jabiri, dengan tidak adanya kesetaraan atau kesamaan diantara dua hal yang dianalogikan berarti analogi (qiyas) tersebut telah jatuh. Karena itu, dan ini merupakan kesalahan al-Jabiri, ia menggunakan metode analogi Barat tersebut untuk menganalisa irfani Islam, sehingga menganggap bahwa pengetahuan irfani yang dibangun diatas dasar qiyas bukan sesuatu yang luar biasa tetapi hanya kreatifitas akal yang didasarkan atas imajinasi. Lebih lanjut, irfani akhirnya hanya merupakan filsafatisasi mitos-mitos, yang tidak memberikan kontribusi apapun terhadap pembangunan masyarakat[11]. Padahal, irfani islam sama sekali berbeda dengan mistik di barat, meski di beberapa bagian ada kesamaan. Irfani lebih berkaitan dengan kebersihan jiwa, rasa dan kayakinan hati, sementara mistik barat kurang berkaitan dengan semua itu tetapi lebih bersifat positifistik.

BAB III

KESIMPULAN

Epistemologi Irfani merupakan sebuah cabang ilmu filsafat yang kemudian membentuk disiplin ilmu secara otonom. Irfani (bentuk infinitif dari kata ‘arafa yang berarti tahu/mengetahui) ini erat kaitannya dengan konsep tasawuf. Karena itu, pengetahuan irfani tidak diperoleh berdasarkan analisa teks tetapi dengan olah ruhani, yang setidaknya diperoleh melalui tiga tahapan; Persiapan, Penerimaan (ilham), dan Pengungkapan. Ungkapan-ungkapan yang dihasilkan oleh pemikiran secara irfani sering kali menjadi tidak beraturan dan diluar kesadaran, karena keluar saat seseorang mengalami suatu pengalaman intuitif yang sangat mendalam, sehingga sering tidak sesuai dengan kaidah teologis maupun epistemologis tertentu, sehingga karena itu pula ia sering dihujat dan dinilai menyimpang.


[1] Kamus al-Munawwir Arab-Indinesia Terlengkap, A.W. Munawwir, Pustaka Progressif, Surabaya, 1997.

[2] Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H.) dengan meletakkan al-Sufi dibelakang namanya. Dalam sejarah Islam sebelum timbulnya aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. (Asmaran As., Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1996), hlm. 228)

[3] Al-Qusyairi (w. 1072 M) mencatat ada 49 tahapan yang harus dilalui, Abu Said ibn Abu al-Khair mencatat 40 tahapan, Abu Nashr al-Tusi mencatat 7 tingkatan, sedang Thabathabai menulis 24 jenjang. Lihat, al-Qusyairi,al-Risâlah, (Beirut, Dar al-Khair, tt), 89-350; Husein Nashr, Tasawuf Dulu & Sekarang, terj. Abd al-Hadi, (Jakarta, Pustaka Firdaus, 1994), 89-96; Muthahhari, Menapak Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997), 120-155.

[4] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi , terj. Ahsin Muhamd, (Bandung, Mizan, 1994), 51-53.

Uraian tentangkasyf, lihat al-Qusyairi,al-Risâlah, 75.

[5] Teori ini merupakan salah satu dari tiga teori lainnya, Teori Korespondensi, Teori Konsistensi, dan Teori Pragmatisme. (Logika Materiil, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Burhanddin Salam, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. hal. 58)

[6] Manusia Menurut Al-Ghazali, Ali Issa Othman (terj. Johan Smit, Anas, Yusuf), Pustaka, Bandung, 1981. hal. 67

[7] Konsep semacam ini juga erat di kalangan masyarakat jawa dengan pengalaman rohaninya, yang kemudian diistilahkan dalam beberapa sebutan; “Pamoring Kawula-Gusti” (Berhimpunnya Manusia-Tuhan), “Curiga Manjing Warangka” (Manusia Masuk ke dalam Tuhan), “Warangka Manjing Curiga” (Tuhan Masuk ke dalam Manusia), dan lain sebagainya. (Makna Agama Dalam Masyarakat Jawa, Mohammad Damami, Lesfi, Yogyakarta, 2002. hal.41)

[8] Ilmu Hudhuri, Mehdi Hairi Yazdi, hal 245-268

[9] Manusia…, Ali Issa Othman. hal. 64

[10] Bersifat rahasia, hanya diketahui dan dimengerti oleh orang-orang tertentu saja.

[11] Jabiri, bunyah, 378