Sabtu, Februari 27, 2010

UPAYA MEMPOSISIKAN ISLAM DI BUMI NUSANTARA: Sebuah Aufklarung yang melelahkan



Telah diterangkan bahwa sebelum islam datang ke Nusantara, Negara ini sudah mempunyai dua bagian agama; lokal (agama yang berasal dari nenek moyang sendiri) dan impor (yang berasal dari negara lain). Agama lokal ini mempunyai dua bagian yaitu animisme dan dinamisme, yang mana keduanya tersebut merupakan kepercayaan sekaligus pengabdian masyarakat kepada benda atau kekuatan gaib. Hal ini dapat dikatakan wajar karena masyarakat pasti cenderung bergantung pada sebuah kekuatan yang paling unggul. Terlepas dari kepercayaan ber-Tuhan, di negeri mana pun juga telah banyak menerapkan hal serupa, dimana sebuah kepercayaan –pada apapun- menjadi inti dari sumber kehidupan. Sementara jenis agama yang disebut sebagai produk impor itu adalah agama Hindu dan Budha. Kedua agama itu terbilang cukup berhasil menarik simpati kaum yang masih merasa resah dengan kebergantungan. Hingga sampai kini pun jutaan penganut agama Hindu dan Budha di Indonesia tetap setia menjadi ummat yang taat.

Beberapa waktu kemudian, yaitu pada abad VII islam mulai menjamah Nusantara, dan mulai berkembang luas di abad ke XIII. Perihal siapa pembawa agama ini pun menjadi kontroversi di kalangan pemikir. Hingga muncul empat tempat yang sering disebut sebagai asal dari agama islam masuk ke Nusantara; yaitu India, Arab, Persia, dan Cina.

Arab dan Persia disebut sebagai dua tempat yang lebih dicenderungi sebagai pembawa islam ke Nusantara. Berasal dari arab, karena ada keterangan bahwa dahulu pada tahun 674 M. pertamakali kapal Bani Umayah berlabuh di Aceh dengan tujuan dakwah islam dan berdagang. Sementara Persia juga disinyalir sebagai asal islam di Nusantara karena adanya kesamaan corak islam yang saat itu dibawa oleh Hamzah Fansuri. Ia membawa ajaran islam dengan corak islamnya al-Hallaj dari Persia, yaitu konsep wahdat al-wujud, atau kemudian dikenal dengan istilah Manunggaling Kawula Gusti, dengan tokohnya Siti Jenar. Hamzah Fansuri inilah yang dikenal sebagai pembawa islam pertama ke Nusantara melalui pelabuhan Aceh.

Seperti telah diketahui bahwa islam datang ke Nusantara setelah datangnya dua agama yang juga berstatus impor, yaitu Hindu dan Budha. Bahkan sebelumnya lagi ada pula sebuah kepercayaan nenek moyang (agama lokal); animisme dan dinamisme. Maka agama islam tentu menjadi hal baru bagi mereka yang dapat dibilang sudah mapan dalam beragama. Tetapi pada faktanya islam –secara tidak langsung- mampu mencuri perhatian dari masyarakat dengan metode cerdas dari Hamzah Fansuri yang mampu mendialogkan tasawuf falsafi timur tengahnya dengan budaya setempat. Tasawuf falsafi itu seperti halnya yang diginakan oleh al-Hallaj, yang menggabungkan antara filsafat Plato dan Tasawuf, tentang wujud mutlak dan wujud mungkin, yang kemudian berlanjut pada konsep Hulul dan ittihad.

Hamzah Fansuri pertama kali memperkenalkan islam di Aceh. Ajarannya disambut dengan baik oleh masyarakat karena Ia mampu melogikakan ajarannya secara baik dengan sentuhan syari’at islam yang tepat. Berbeda degan agama-agama sebelumnya yang melulu menuntut kepercayaan, walau tanpa dengan logika kehidupan.

Hal inilah yang membuat islam lebih mudah diterima di benak masyarakat, bahkan lingkup kerajaan Aceh. Sehingga Hamzah Fansuri diangkat sebagai Penasehat Kerajaan (Mufti), yaitu pada masa pemerintahan Sultan ‘Alauddin Ri’ayat Syah dan awal pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1589-1602 M). Maka, pengenalan ajaran islam pun semakin mudah meluas di bumi Sumatera. Yang terkenal dari tasawuf Fansuri adalah tentang filsafat wujudiyah. Masih dengan corak wahdat al-wujud, Fansuri meyakini adanya kebersatuan wujud Tuhan dengan alam, termasuk manusia. Karena sebenarnya alam tidak berwujud, hanya Tuhanlah yang berwujud hakiki.

Pandangan wujudiyahnya itu kemudian menimbulkan kontroversi. Banyak dari masyarakat yang sudah berpikir kritis di ranah ajaran agama. Maka kemudian banyak orang yang meninggalkan ajaran Fansuri. Sementara para penguasa justru mengalihkan perhatiannya pada kebutuhan duniawi. Sejak itulah Fansuri mulai mengasingkan diri dari publik. Karena itulah penganut ajarannya tidak dapat berkembang luas, hanya konsep pemikirannya saja yang dapat dikenal luas.

Seseorang yang masih setia dengan ajaran Hamzah Fansuri yaitu Syamsuddin al-Sumatrani, atau dikenal juga dengan sebutan Samudra Pasai. Ia juga diangkat sebagai penasehat kerajaan pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Fansuri dan as-Sumatrani mempunyai pemikiran falsafi yang benar. Tetapi ajaran keduanya mulai melenceng setelah al-Sumatrani meninggal dunia, hingga terjadi kekacauan di kalangan masyarakat. Kemudian pada saat itu pula datang seorang ulama dari India ke Aceh, bernama Nuruddin Arraniri. Ulama bermadzhab Syafi'I ini menentang keras ajaran Fansuri dan as-Sumatrani, karena Ia penganut tasawuf Sunni, bukan tasawuf falsafi.

Saat kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Thani (II) Arraniri diangkat menjadi mufti kerajaan. Posisi itu dimanfaatkan Arraniri untuk menyebarkan ajaran sunninya dan menghapus seluruh ajaran Fansuri dan as-Sumatrani. Ia membakar kitab-kitab Fansuri dan mengusir bahkan membunuh siapapn dari masyarakat yang masih menjalankan ajaran Fansuri. Menurut Arraniri, Hamzah Fansuri membawa ajaran sesat karena menganggap bahwa alam, manusia, dan Tuhan itu sama saja. Karena itu seluruh ajarannya harus dihapuskan, serta seluruh pengikutnya harus bertaubat.

Tasawuf falsafi tentu berbeda dengan tasawuf sunni. Tasawuf falsafi lebih bersifat plural, yang hanya memandang maghza dari segala sesuatu. Sementara tasawuf sunni lebih bersifat normatif, yang sangat rentan dengan justifikasi kafir, murtad, dan sebagainya, hingga dapat berujung pada pendiskriminasian, kekerasan, bahkan pembunuhan bagi siapapun yang menolak.

Dalam konteks kemasyarakatan, termasuk dalam hal sosialisasi ajaran agama dengan mengundang keimanan murni masyarakat, tentu sangat mustahil jika seandainya saat itu islam datang ke Nusantara dengan ajaran tasawuf sunni (apalagi dengan sikap Arraniri yang berlebihan). Metode tasawuf falsafi begitu sukses mengambil perhatian dari masyarakat dengan tanpa kekerasan dan paksaan, sejalan dengan misi Rasulullah SAW. Sementara metode tasawuf sunni, juga bisa mengambil perhatian, tentu dengan sistem paksa, serta proyek politisnya melalui pemerintah kerajaan. Maka sebenarnya metode tasawuf sunni ini tentu tidak akan diterima di Nusantara tanpa didahului dengan tasawuf falafi oleh Hamzah Fansuri, yang secara beratahap mengenalkan islam, dan mengarahkan pada Tuhan yang Esa.

Pada suatu masa kemudian muncul seorang sufi sunni bernama 'Abdurauf al-Singkili, saat posisi penasehat kerajaan dipegang oleh Syaif Rijal setelah 30 tahun Arraniri kembali ke negara asalnya, India. Abdurrauf menawarkan jalan tengah antara tasawuf falsafi yang ternyata juga masih dianut oleh Syaif Rijal sebagai penerus dari Hamzah Fansuri dengan tasawuf sunni dari Arraniri. Maka Abdurrauf diangkat sebagai Qadli Malik al-Adil pada masa pemerintahan Sultan ke 3, Zakiyah al-Din (1678-1688). Dia mendamaikan dua jenis tasawuf itu dengan merujuk pada al-Qur'an dan al-Hadits. Statemennya tentang wahdat al-wujud, tidak penyatuan mutlak antara Tuhan dan alam seperti halnya ajaran Hamzah, tetapi harus sesuai dengan apa yang dikandung dalam al-Qur'an dan al-Hadits (syari'at). Tetapi Ia juga sempat mengecam Arraniri yang telah berani memvonis sesat pada Fansuri.

Sikap moderatnya itu menjadikan perhatian tersendiri dari Raja maupun masyarakat. Maka setelah itu muncul pula seorang sufi sunni yang meneruskan perjuangan 'Abdurrauf as-Singkili, yaitu Syekh Yusuf al-Makassari. Ia adalah sufi yang juga mencoba mengambil jalan tengah antara tasawuf falsafi dan tasawuf sunni, yang menurut Azyumardi Azra disebut dengan tasawuf Syuhudi (sejalan dengan konsep al-Sirkhindi dan al-Dihlawi).

Pada masa selanjutnya perjalanan islam diwarnai juga dengan kedatangan pasukan belanda pada abad 17, yang juga membawa misi kristenisasi, setelah berhasil menguasai Nusantara. Peperangan berlatar belakang agama itu dikenal dengan Perang Padri yang ditokohi oleh Imam Bonjol. Muncul pula penegasan identitas untuk rakyat Nusantara (baca: Indonesia) bahwa siapa yang anti belanda berarti dia islam, dan jika pro belanda berarti dia bukan islam.

Seiring waktu, peperangan itu bergeser menjadi "peperangan" antara kaum Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Hal itu disebabkan karena adanya tiga orang yang datang dari belajar di Makkah, lalu mengajarkan ajaran Wahabi di Indonesia, yang kemudian diikuti oleh kubu Muhammadiyah dan sebagian kubu Sarikat Islam. Sementara kaum NU tetap getol mempertahankan tradisi agama nenek moyang (islam tradisional setempat). Setelah itu datang pula ajaran islam garis keras yang kemudian berusaha merebut kekuasaan Muhammadiyah dan NU. Hingga kini ratusan masjid Muhammadiyah dan ratusan masjid NU telah berhasil direbut oleh cabang-cabang islam garis keras.

Selasa, Februari 16, 2010

FALSAFAH CINTA


Segala permasalahan dalam kehidupan manusia ini bersumber dari berbagai hal yang mempengaruhi akal manusia. Sementara akal belum tentu sepenuhnya mampu menyambut dengan tepat atas apa yang sudah tertangkap sehingga akibatnya dapat memunculkan tindakan-tindakan keliru sebagai wujud dari kasimpulan pemikiran yang belum matang.

Perasaan sangat erat kaitannya dengan hal ini. Dan salah satu hal yang paling berpengaruh pada perasaan manusia adalah Cinta. Baik disadari atau tidak, perasaan cinta ini dapat menimbulkan tindakan-tindakan tertentu yang -secara langsung atau tidak langsung- mewujudkan perasaan cinta tersebut. Cinta adalah perasaan abstrak yang sulit dimengerti, sehingga banyak orang yang merasa salah tingkah, atau bahkan sembarang melakukan tindakan yang justru dapat menodai kesucian cinta itu sendiri.

Maka, dalam makalah ini kita akan membahas tentang perasaan cinta tersebut, yang tentunya tidak hanya sebatas sesama manusia, tetapi juga dengan semua makhluk lain, dan terlebih lagi dengan Tuhan. Dalam pembahasan ini, diawali dengan pemaparan definisi cinta menurut berbagai sumber. Kemudian diteruskan dengan pemaparan berbagai problematika tentang cinta, ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan cinta, dan dilanjutkan dengan kandungan filosofis dalam ayat-ayat tersebut. Kemudian diulas pula kandungan filosofis dalam kisah-kisah cinta yang masyhur.

***

Munculnya berbagai problematika tentang cinta dalam kehidupan manusia membuat ruang kegelisahan tersendiri di benak kita. Cinta telah dirasakan dan dikenal manusia sejak manusia itu pertama akali ada -yaitu Adam. Tetapi hingga kini pun, cinta masih banyak menimbulkan persoalan-persoalan baru yang rumit jika dituntaskan. Malihat kenyataan ini, maka ini menunjukkan bahwa cinta masih menyimpan misteri yang belum terungkap. Dan sesuatu yang tersembunyi itu tentu merupakan pesan moral bagi manusia yang perlu digali.

Perasaan cinta itu memang manusiawi. Tetapi disaat-saat tertentu, perasaan cinta menjadi tidak manusiawi jika manusia itu terseret oleh arus cintanya sendiri. Seolah ada kakuatan lain yang menguasai hatinya, yang kemudian menjadikannya sebagai budak dari hatinya sendiri. Sehingga akibatnya jika ia tidak dapat mengambil alih kendali (berhasil menguasai hakikat cinta), maka ia akan terseret jauh dan membiarkan hatinya yang kosong serta akal fikirannya yang mati.

Banyak kita temukan kisah-kisah tentang cinta dari tokoh-tokoh terkemuka yang sedikit-banyak memberikan gambaran pesan-pesan yang terkandung di kisah-kisah itu, dengan bentuk pengalaman yang mereka alami. Sebagai contoh, yaitu kisah dari Adam dan Hawa, Laila “Majnun”, Rabi’ah al-‘adawiyah. Dapat pula dicontohkan kisah-kisah cinta dari negeri barat yang tentunya memiliki keresahan yang sama dalam mengerungi dunia cinta. Karena diyakini bahwa semua manusia mempunyai perasaan cinta yang dapat membuat bahagia di saat tertentu, dan dapat menyakitkan di saat tertentu pula.

Tuhan tentu tidak hanya sekedar iseng menciptakan perasaan aneh ini. Dia pasti menyisipkan pesan-pesan di dalamnya, agar kemudian manusia dapat mengambil sikap yang bijak dalam menanggapi dan menggunakannya. Kemudian menjadikan kesempurnaan dalam berkehidupan, sesuai dengan petunjukNya itu.

Berangkat dari kegelisahan itulah makalah ini dibuat, dengan harapan agar menjadi bahan perenungan tersendiri, terlebih lagi agar dapat menambah wawasan serta menenukan pesan-pesan yang terkandung pada perasaan dari Tuhan itu.

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Sebelum membahas cinta lebih jauh, terlebih dahulu kita merambah ke segi definisinya. Ada beberapa opsi yang ditawarkan dari sumber-sumber yang berbeda. Cinta/Love/al-Hubb mempunyai arti: Perasaan kasih dan sayang; perasaan cenderung dan terpikat terhadap lain jenis; perasaan ingin dimiliki dan memiliki; perasaan rindu yang teramat dalam.[1]

Sebagian orang berpendapat bahwa cinta itu sulit untuk didefinisikan, karena merupakan hal yang tidak dapat diraba dan tidak tampak, sehingga sulit dijangkau dengan kata-kata. Seperti yang diungkapkan oleh ibn Qayyim, yang mengatakan; ”cinta tidak bisa didefinisikan dengan jelas. Bahkan jika didefinisikan, tidak menghasilkan (sesuatu), melainkan menambah kabur dan tidak jelas. (Berarti) definisinya adalah adanya cinta itu sendiri”. (Madarius Salikin, 3/9).[2]

Berbeda lagi jika mengais definisi cinta dari orang-orang yang sedang patah hati atau kecewa. Rasa sakit yang mereka rasakan sangat berpengaruh pada gaya pendefinisian cinta versi bebas. Dari mereka, diperoleh ungkapan bahwa cinta itu menyakitkan; cinta itu kejam; cinta itu tidak adil; bahkan menjijikan. Menanggapi hal ini, orang-orang yang berpikir lebih panjang mengatakan bahwa yang telah membuat sakit, kejam, tidak adil, dan sebagainya itu sebenarnya bukan cinta. Tetapi bisa dari sifat egois, matrealis, atau rasis dari si empunya cinta itu sendiri.

B. PROBLEMATIKA CINTA

Cinta merupakan perasaan yang sulit dikendalikan., bahkan selalu terkesan memaksa untuk dipenuhi apapun kemauannya. Inilah kiranya sebab dari munculnya berbagai problematika di dunia cinta.

Untuk mengulas problematika itu, disini perlu adanya pembagian terlebih dahulu tentang jenis-jenis cinta yang ada, berdasarkan pihak yang berbeda sebagai sasarannya. Karena dengan adanya perbedaan pihak ini, menyebabkan munculnya problematika yang berbada-beda pula. Jenis-jenis cinta itu adalah:

  1. Cinta antara dua insan

Cinta inilah yang kiranya paling sering memunculkan problematika. Jika masyarakat diluar sana mengucapkan kata “cinta”, maka mayoritas cinta jenis inilah yang mereka maksud. Ini adalah jenis cinta yang mengarah pada pernikahan dan hidup berdampingan. Perasaan yang muncul dengan tiba-tiba melalui tatapan mata. Tetapi bisa juga perasaan ini muncul secara tidak langsung, tapi bertahap seiring waktu.

Dari segi normalitas, cinta jenis ini dialami oleh sepasang pria dan wanita, yang kemudian mereka ingin menuju ke pernikahan. Baik pernikahan yang pertama maupun yang ke sekian kalinya. Perasaan ini tidak begitu mempedulikan perbedaan umur, harta , rupa, bahkan sifat. Tetapi yang ada hanyalah rasa sayang, kagum, dan rindu yang teramat dalam.

Sebagai suatu kecacatan dari perasaan cinta jenis ini adalah munculnya perasaan cita antara sesama laki-laki atau sesama perempuan. Hal ini tidak hanya terjadi di zaman sekarang, tapi sejak dahulu pun kasus ini telah menjadi kebiasaan pada zaman Nabi Nuh. Kemudian mereka mendapat laknat dari Allah sebagai tanda bahwa hal itu sangatlah dilarang.

Kemudian yang menjadi problematika dari cinta jenis ini adalah karena tidak adanya restu (dari siapapun), keadaan geografis yang tidak memungkinkan, atau adanya perasaan cinta yang hanya sepihak. Dari berbagai faktor tersebut, bisa menimbulkan hal-hal yang negatif, seperti perilaku yang aneh, hilangnya semangat hidup, bahkan kriminalisasi.

Sebagai gambaran dari problematika itu, muncul kisah-kisah fiktif masyhur yang bukan tidak mungkin dialami juga oleh siapapun yang sedang jatuh cinta. Kita ambil contoh kisah cinta antara Laila dengan Qais (karya Nizami, dari Nadj, Jazirah Arab), dan kisah Romeo dengan Juliet (karya William Shakespeare, dari Verona, Italia):

1. Kisah “Laila-Majun”: Laila dan Qais adalah dua insan yang saling mencinta. Mereka berniat untuk hidup bersama sampai kapan pun. Tapi ketika Qais sedang mendampingi ayahnya pergi berniaga ke negeri lain (Damsyik, Jerussalem, Hims, Halb, dan Irak), laila akan dinikahkan secara paksa oleh ayahnya, dengan seorang saudagar kaya bernama Sa’d bin Munif dengan maskawin 1.000 dinar, yang membuat ayah laila kegirangan. Laila tidak bias menolak keputusan ayahnya, karena saat itu adapt mengatakan bahwa laki-laki brkuasa atas perempuan (apalagi antara ayah dan anak). Dalam pelayarannya, Qais merasakan kerinduan yang teramat dalam. Karena merasakasihan dengan Qais, ayahnya memutuskan untuk kembali pulang, dan kemudian langsung melamarkan Lailauntuk Qais, dengan maskawin seratus unta. Tapi kemudian ayah Qais sangat kecewa setelah lamarannya ditolak, dan mendengar keputusan bahwa Laila akan segera menikah dengan orang lain. Setelah Qais mengetahuio hal ini, tentu saja hatinya terasa hancur tak terkira. Sampai-sampai ia menjadi pendiam, bahkansering berbicara sndiri. Karena itulah orang-orang sering memanggilnya dengan sebutan “majnun” (orang gila). Walau telah menjadi istri Sa’d, tapi cinta suci Lila tetap hsnys untuk Qais. Karena tidak kuatdengan penderitaan cinta itu, Laila menjadi sakit, dan selalu menyebut nama Qais. Qais pun dipanggil untuk menemani Laila. Setelah mereka bertemu, Laila mengatakan sesuatu pada Qais, bahwa mereka akan bertemu nanti di akhirat sebagai kekasih ang abadi. Kemudian Laila meninggal. Hancurlah hati Qais untuk kedua kalinya. Kini Qais tidak mempunyai semangat hidup lagi. Yang ia lakukan hanya menunggui pusara Lila, smpai ia meninggal. Kemudian jasat Qais pun dimakamkan di samping makam Laila. Sekitar sepuluh tahun kemudian, ada beberapa musafir berziarah kemakam Laila dan Qais. Mereka melihat rumpun bamboo yang tumbuh di atas kedua makam itu. Dan bagian ujung bamboo itu saling berpelukan. Maka mulai masyhurlah kisah Lila dan Qais dengan sebutan Lila “Majnun”.

2. Kisah Romeo-Juliet: Ketika Juliet telah berusia 17 tahun, orang tuanya mengadakan pesta ulang tahun untuk puteri mereka itu, sekaligus juga memperkenalkan Juliet dan Valiant Paris, pemuda pilihan orang tuanya. Ayah Juliet adalah pemimpin dalam keluarga Capulets yang mempunyai permusuhan begitu lsms dengan keluarga Mountage, sejak nenek moyang keduannya. Romeo, adalah pemuda dari keluarga Mountage yang saat itu baru saja putus cinta karena kekasihnya menikah dengan pria lain. Pada malam pesta dikediaman Capulets, Romeo yang lewat depan Puri kediaman Capulets secara tiba-tiba tertarik untuk masuk secara diam-diam ke dalam Puri kediaman Capulets untuk mengetahui keramaian yang ada di dalamnya. Disanalah Romeo menemukan perasaan cintanya kembali ketika terpesona saat melihat Juliet di pesta ulang tahunnya. Kemudian mereka dapat berkenalan, dan mempunyai kesan didalam hati masing-masing. Sejak pertemuan itu Romeo dan Juliet menjadi pasangan kekasih dimana cinta mereka dirahasiakan dari kedua belah pihak keluarga mereka, yang tentunya tidak menyetujui hubungan itu. Hingga pada suatu hari, terjadi peristiwa yang melibatkan Romeo dan salah satu keluarga Capulets, yang menyebabkan kematian seseorang bernama Mercutio. Mercutio adalah kerabat dari keluarga Mountage. Ia meninggal karena bertarung dengan Tybalt dari keluarga Capulets. Kematian sahabatnya membuat Romeo menjadi gelap mata, dan kemudian balas membunuh Tybalt. Perbuatan Romeo membuat dia dihukum tidak boleh lagi kembali dari Verona untuk selama-lamanya, sehingga terpisah dari kekasihnya Juliet. Dilain pihak, orang tua Juliet tidak bisa menolak lamaran dari Valiant Paris untuk menikahi Juliet. Sehingga mereka memaksa Juliet untuk menikah secepatnya dengan pilihan orang tuanya. Juliet bersedih akan keputusan itu dan ia berusaha menghubungi Romeo melalui guru Romeo atas rencana pernikahannya dengan Valiant Paris. Untuk mencegah pernikahan yang akan dilangsungkan dalam dua hari mendatang, maka sang guru menggunakan ramuan obat tidur untuk membuat Juliet mati suri selama 2 hari sehingga keluarga Juliet tidak bisa menikahkan dia. Sang guru juga berusaha menghubungi Romeo akan rencana itu, tapi surat yang berisikan rencana matang itu tidak sampai pada Romeo. Dan ketika Romeo kembali ke kota dan mendapati sang kekasihnya telah meninggal, maka ia langsung mendatangi tempat Juliet dibaringkan. Melihat Juliet telah mati maka Romeo pun membunuh dirinya disamping jasat kekasihnya dengan membawa perasaan sedih mendalam. Ketika pengaruh obat tidur itu hilang, Juliet tersadar tapi ketika melihat Romeo yang ada disampingnya telah mati membuat Juliet menyusul Romeo dengan mengakhiri hidupnya juga. Sebuah akhir dari tragedi cinta dalam permusuhan diantara dua keluarga besar Capulets dan Mountage.

Dengna melihat dari kedua fiksi diatas, dan umumnya dari semua problematika cinta yang terjadi, menunjukkan adanya ketidakmulusan perjalanan cinta. Jika ndirenungkan lebih dalam, maka akan memunculkan lebih banyak pertanyaan yang membuat pemnbahasan melebar jauh.

  1. Cinta kepada Keluarga

Perasaan jenis ini berbeda dengan jenis yang pertama. Karena lebih berupa rasa saying, bakti dan hormat kepada orang tua dan saudara, yang sama sekali tidak -bahkan dilarang- jika berniat pada pernikahan. Rasa saying ini mulai timbul setelah pengenalan. Bayi yang baru mengenal ayah dan ibunya, adik yang baru manganal kakaknya, cucu yang baru mengenal neneknya, dan lain sebagainya.

Pada suatu ketika perasaan cinta dalam jenis ini dapat bertentangan dengan cinta yang berupa asmara kepada seorang kekasaih. Sehingga dapat menimbulkan permasalahan yang rumit. Maka memerlukan keputusan yang tepat dan bijak agar dapat diterima oleh kedua pihak tersebut.

Sebagai wujud dari cinta kepada keluarga adalah mematuhi kadua orang tua, saling bantu-membantu antar saudara, menjaga kerukunan, perasaaan, dan nama baik keluarga.

  1. Cinta kepada Tuhan

Cinta jenis ini tentu bereda dengan jenis sebelumnya. Perasaan ini susah sekali terwujud, karena memang memerlukan “usaha” yang besar , terutama usaha yang berupa kesungguhan dalam batin.

Lain halnya dengan praktek peribadatan. Perasaan terhadap Tuhan tidak bisa diukur dengan ketaatan dalam menjalankan syari’at yang berupa praktek peribadatan, baik yang sakral maupun tidak. Karena seperti yang kita tahu bahwa perasaan cinta bukanlah sesuatu benda yang terlihat mata, apalagi terukur. Karena itu, terasa sukar juga jika mendevinisikan cinta kepada Tuhan.

Telah disepakati bahwa cinta yang tulus adalah cinta yang tanpa pamrih. Maka dapat dikatakan disini bahwa cinta kepada Tuhan sangat erat kaitannya dengan keikhlasan. Percaya bahwa Tuhan itu ada dengan ke-Esa-anNya, percaya atas firman-firmanNya, dan mematuhi segala “permintaan”Nya dengan tanpa pamrih. Walau tentu belum pernah memandang wujud Tuhan, tetapi hal itu justru menjadi unsur kerinduan yang mendalam.

Ketiga jenis cinta diatas jelas mempunyai arah masing-masing yang sama sekali berbeda. Jika dalam diri seseorang mempunyai upaya untuk melengkapi ketiga jenis cinta itu, tentu sangat sulit untuk membaginya. Bukan hanya membagi hati, tapi juga membagi waktu agar ketiganya dapat secara maksimal terpenuhi. Karena itu, muncul suatu solusi alternatif yang menawarkan pencerahan, yang mengatakan bahwa cinta terhadap manusia itu sama dengan cinta terhadap Tuhan. Keduanya cukup berada pada satu tempat yaitu hati. Maka tidak perlu dibedakan, yang akibatnya harus membagi hati. Kemudian, yang menjadi ukuran hingga taraf 100% adalah kesungguhan hati, memusatkan cinta terhadap apa yang saat itu berada di “depannya”. Jika pada suatu waktu kita memenuhi dan menyelesaikan suatu hal yang menjadi perintah agama, maka saat itulah kita sedang memenuhi 100% cinta kepada Tuhan (tentunya dengan hati yang ikhlas). Jika pada waktu yang lain kita memenuhi dan menyelesaikan hal yang bersifat sosialis, maka saat itu pula kita sedang memenuhi 100% cinta kepada manusia, yang bisa juga terkait bagian dari cinta kepada Tuhan. Maka, taraf cinta antara satu waktu dengan waktu yang lain dapat berbeda, dan dapat pula sama, tergantung keikhlasan hati. Maka sekali lagi, tidak perlu mempertentangkan antara sasaran pihak yang dicintai.[3]

C. FALSAFAH CINTA

Salah satu nama Tuhan adalah al-Wadud, dan di dalam al-Qur’an terdapat begitu banyak keterangan tentang cinta atau hubb, seperti ayat yang mengatakan, “....maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya”. (QS.al-Ma’idah (5): 54). Adalah keyakinan umat islam bahwa Allah Maha Mencintai sebagaimana Dia adalah Maha Pengasih dan Maha Pemaaf seperti ditegaskan dalam ayat-ayat berikut ini, ”.....sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih” (QS. Hud (11): 90), dan , “Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. Al-Buruj (85): 14).[4]

Islam menyatakan bahwa Tuhan adalah Cinta, karena hal ini merupakan salah satu nama-nama Tuhan. Tetapi islam tidak mengidentifikasi Tuhan semata-mata dengan cinta saja karena Dia juga adalah Pengetahuan, Cahaya, Keadilan, dan Kebesaran, begitujuga Keamaian dan Keindahan. Namun, Dia tidak pernah tanpa cinta, dan cintaNya adalah faktor dasar bagi penciptaan alam serta bagi hubungan kita dan Dia.[5]

Maka telah jelaslah bahwa Tuhan mempunyai keagungan cinta. Allah menciptakan segala makhluk (termasuk manusia) dengan rasa cinta. Maka sangatlah wajar jika objek penciptaan Tuhan dengan rasa cinta itu memiliki cinta pula yang merupakan pancaran dari cinta Tuhan. Hal ini harus diketahui, dimengerti, dan disadari. Karena ini merupakan jawaban atas pertanyaan mengapa jika mausia mempunyai rasa cinta pada sesuatu harus karena Allah. Cinta yang dirasakan manusia adalah merupakan pancaran dari cinta yang dimiliki Tuhan. Maka jika manusia mencintai sesuatu hal disekelilingnya, haruslah karena Allah, atau atas dasar cinta kepada Allah. Agar selalu mengingat dari mana rasa cinta itu berasal, dan agar timbul pula unsur rasa syukur terhadap Tuhan atas kenikmatan cinta yang telah diberikan.

Pada level yang lebih praktis, cinta dalam kehidupan muslim memiliki contohnya dalam cinta Tuhan kepada nabi dan cinta nabi kepada Tuhan. Bagi manusia, cinta kepada Tuhan mensyaratkan cinta kepada nabi, dan cinta kepada nabi serta para wali, yang merupakan pewaris biologis maupun spiritual nabi, mengharuskan cinta kepada Tuhan. Lebih juah, terdapat level cinta yang alamiah pada manusia: cinta romantis, cinta anak dan orang tua, cinta keindahan seni dan alam, cinta pengetahuan, dan bahkan cinta kekuasaan, kekayaan, ketenaran, yang kesemuanya, karena diarahkan kepada dunia, bagaimana pun, dapat membahayakan jiwa. Dalam pandangan islam, semua cinta yang bersifat duniawi harus didasarkan dan tidak dipisahkan dari cinta kepada Tuhan, dan segala cinta yang menafikan Tuhan dan menjauhkan kita dari Tuhan adalah suatu ilusi yang dapat menggiring pada keruntuhan jiwa. Para wali islam bahkan telah menetapkan doktrin bahwa hanya cinta tuhanlah yang riil dan cinta yang lain hanyalah metafora atau hiasan. Akan tetapi, cinta metafora ini juga riil pada tatanannya sendiri dan bahkan merupakan anugrah Tuhan kalau cinta itu dihayati dengan seberarnya dsan digunakan sebagai tangga untuk mencapai cinta yang paling riil yaitu cinta kepada sumber dari segala cinta, Tuhan.[6]

Dalam dunia cinta dikenal pula rasa patah hati, kecewa, dan cemburu. Hal ini terjadi kepada seseorang yang telah disakiti dengan diduakan, disepelekan, dibohongi, atau diacuhkan cintanya. Hampir semua orang pernah merasakan hal ini. Tetapi sepertinya sedikit dari mereka yang menyadari bahwa hal itu juga merupakan gambaran yang ditunjukkan oleh Tuhan atas pesrasaan cinta Tuhan yang sering diduakan, disepelekan, dibohongi dan di acuhkan oleh manusia.

Tuhan tidak merasakan sakit atas semua perlakuan manusia itu. Hanya saja mempunyai rasa cemburu yang besar jika ada cinta lain (baca: tuhan lain) yang disukai oleh manusia. Bahkan dijelaskan bahwa dosa atas perlakuan itu tidak terampuni.

”Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat mencintai Allah. Dan jika seandainya orang-orang yang berbuat zalim itu mengetahui ketika mereka melihat siksa (pada hari kiamat), bahwa kekuatan itu kepunyaamn Allah semuanya, dan bahwa Allah amat berat siksaanNya (niscaya mereka menyesal)”. (QS. al-Baqarah: 165)

Tuhan memerintahkan agar kita berbakti dan mencintai orang tua dan keluarga, karena didalam sikap itu terdapat kebaikan-kebaikan yang tanpa mengandung kerugian dan dosa berbakti kepada orang tua adalah sikap yang sangat relevan dan mulia, karena memang orang tualah yang telah mengandung, melahirkan, merawat kita, dan sebagainya. Sudah seharusnya seorang anak membalas budi dengan bakti dan cinta terhadap orang tua, walaupun seandainya Tuhan tidak memerintahkan. Tetapi walau demikian relevennya, tetap saja banyak dari manusia yang mengacuhkan kewajibannya itu hingga Tuhan pelu mengingatkannya.

Cinta erat kaitannya dengan nafsu. Bahkan terkadang sulit dibadakan antara keduanya. Hal ini bisa terjadi pada kaum muda, yang masih mempunyai hati yang rawan bergelora. Sehingga banyak dari mereka yang menganggap bahwa perasaan cinta hanyalan sebuah permainan nyang dapat diperlakukan suka-suka. Mereka tak menyadari bahwa cinta telah pergi dari hati mereka karena tertindih nafsu yang lebih besar.

Setan sangat menyukai hal itu. Karena justru si empunya nafsu itulah yang saat itu sedang menjadi bahan permainan oleh setan. Kemudian, setanlah uyang menjadi nahkoda dari perahu yang tak berdaya itu untuk menerobos batu-batu karang syari’at agama.

Perbedaan antara cinta dan nafsu adalah; kedatangan perasasan cinta itu tak bisa ditolak, selama belum dengan sendirinya menghilang, perasaan cinta akan tetap terasa, bahkan semakin menguat, walaupun dihalang dengan segala upaya untuk menghilangkannya. Berbeda dengan nafsu (syahwat) yang bersifat selalu menuju pada kejelekan. Memang juga datang dengan sendirinya, tetapi nafsu itu dapat dicegah, atau mungkin diarahkan pada hal yang lebih pantas. Tidak mudah mengusir nafsu negatif ini. Maka yang dapat mengusirnya dengan kuat adalah kekuatan hati pula. Karena yang menjadi sasaran utama nafsu sadalah hati. Jika raga melakukan upaya keras (misaklnya dengan selalu menjaga kesucian, mengalihkan perbuatan pada hal-hal positif), kemudian diiringi dengan kesungguhan hati, maka Tuhan akan menolong orang-orang yang berupaya keras. Bahkan al-Qur’an pun juga telah menyampaikan contoh cara-cara mencegah merajanya nafdsu.

“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihata kemaluannya; yang demikian itu adalah labih suci bagi mereka, sesungguhnay Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat” (QS. al-Nur: 30)

“katakanlah pada wanita yang beriman: “hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiaannya kecuali kepada suami merka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau perta-perta mereka” (QS. al-Nur: 31)

Sementara jika berbicara tentang cinta kepada Tuhan, berkaitan erat dengan ranah sufistik. Seorang sufi sejati adalah orang yang melabuhkan cintanya hanya kepada Allah SWT., walaupun tetap bergaul dengan duniawi. Dia mempunyai cinta yang begitu besar pada tuhan, hingga tak terhalang oleh apapun. Ia melakukan peribadatan atas dasar cinta, bukan syari’at,. Itu sebabnya seringkali mereka tak begitu memperhatikan syari’at, tapi justru mengunggulinya. Surga bukanlah tujuan mereka, melainkan hanya berupa “bonus” yang mana mereka juga tidak menolaknya. Karena yang mereka inginkan hanyalah balas cinta dari Tuhan, kemudian dapat bertemu dan berada di sisinya selalu.

Bahkan dikisahkan dalam alur fiktif, bahwa ada seseorang yang bernama farisi terbiasa hidup dengan sederhana kemudian takdir mengatakan bahwa ia mendapatkan surga, tetapi setelah sampai di surga farisi justru muak melihat gelimang kemewahan kenikmatan dan orang-orang yang mengumbar nafsu di surga. Ia terus berjalan mencari keberadaan Allah.,tetapi setiap orang yang ditanyainya selalu tak peduli karena keenakan dengan nafsunya. Ia muak berada di surga. Ia ingin kembali ke dunia menikmati hidup bersama Tuhan, menikmati indahnya beribadah dengan kesederhanaan. Tetapi setelah ia bertemu Tuhan disurga, kemudain ia di tempatkan di manzilah baina manzilataini.[7]

Salah satu nikmat cinta adalah, ia selalu memuat hati merasa bahagia dan hidup. Tetapi sakit hati juga tentu tak luput dari perjulanan cinta, karena itu semata-mata hanyalah ujian dan peringatan dari Allah, bahwa segala cinta akan hilang, kecuali cinta Tuhan yang Maha Kasih. Cinta Allah meliputi seluruh alam. Itulah cinta teragung yang pernah ada. Jika seorang manusia menjadikan pihak lain sebagai sekutu cinta dari Allah, maka sungguh itu merupakan suatu kebodohan yang tanpa disadari.


[1] Kamus Bahasa Indonesia, Amran Y.S. Chaniago, CV.Pustaka Setia, Bandung, 1997

[2] Arti Sebuah Cinta, Abu Usamah Abdurrahman (http://www.asysyariah.com/print.php?id_online

[3] Disampaikan di Work Shop Bedah Buku Islam Madzhab Cinta

[4] the heart of islam: Pesan-pesan Universal Islam untuk kemanusiaan, Seyyed Hossein Nasr, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2003. hal.251

[5] ibid, hal.252

[6] Ibid, hal.254

[7] Kitab Dusta Dari Surga, Aguk Irawan MN., P_idea, kelompok Pilar Media (anggota IKAPI), Yogyakarta, 2007.

MEMBONGKAR MAKAM SASTRA


Kasus ini erat terkait dengan pembentukan generasi. Karena jiwa sastra merupakan warisan yang harus tetap mengalir dan berkembang ke generasi-generasi yang telah lahir. Maka perlu adanya pengenalan kembali tentang dunia sastra pada mereka yang hanya samar-samar mendengarnya. Bahkan perlu adanya pembiasaan sejak dini bagi anak-anak agar inspirasi selalu melekat dalam seni kehidupan mereka.

Diketahui bahwa ternyata begitu banyak dari kaum muda-mudi yang telah merindukan kebagkitan kembali gelombang seni sastra. Hal ini dapat dibuktikan dengan diselenggarakannya event-event khusus yang membahas tentang sastra untuk khlayak umum. Kegiatan ini akan menyedot banyak perhatian dari masyarakat yang akan memberikan respon simpatiknya. Maka disinilah bibit-bibit generasi pembaharu akan tampak, dan memuluskan perjalanan sastra, memperjuangkan ke-eksisan perannya.

Dalam membubuhkan suatu karya diperlukan suplemen khusus berupa imajinasi. Sementara banyak orang mengatakan bahwa untuk mendapatkan imajinasi maka seseorang harus mengasingkan diri ditempat sepi dan sesuai. Anggapan itu mungkin benar dan dapat membantu. Tetapi sebenarnya imajinasi tidak perlu dicari, karena sesunguhnya ia selalu bersama kita. Layaknya sebuah tenaga yang dapat langsug kita gunakan saat kita membutuhkannya. Imajinasi tak terikat ruang dan waktu. Hanya saja ia sering terpenaruh oleh kondisi kejiwaan si-empunya, atas keadaan disekitarnya. Karya yang lahir di gurun pasir dapat berbeda dengan karya yang lahir di hutan. Seperti halnya perbedaan sumber imajinasi antara di rumah mewah dan di dalam penjara. Namun pada suatu kesempatan imajinasi dapat menembus semua itu dengan impian-impiannya yang tidak terpengaruh ruang dan waktu.

Tidak ada kata mumpuni dalam sebuah proses.karena semuanya berawal dari titik nol. Dan hal itu justru akan menunjukkan suatu keberhasilan saat bergeser ke titik satu, dan seterusnya. Apapun unsur yang ada dalam pembentukan proses sastralogi selalu akan menjadi hal potensial yang mulai menentukan arah. Begitu pula dengan apapun konsonan yang dihasilkan dari semua tahap, adalah suatu wujud keberhasilan yang menjanjikan keniscayaan.

Dukungan dan semangat juga terhitung penting. Terlebih lagi jika didukung dengan adanya tawaran kolom-kolom media sebagai wujud pengabadian karya, sekaligus sebagai kristal pemukau yang memanggil peminat lain di masyarakat luas. Dari partikel-partikel itulah kemudian membentuk gelembung besar yang akhirnya menjadi perhatian khusus bagi bangsa, bahwa dunia sastra merupakan dunia lain yang justru menjadi penguasa atas kehidupan yang sebenarnya.

Proyeksi sebuah karya tentu berkaitan erat dengan konteks. Baik yang saat itu terjadi di sekitar tubuh, maupun karena adanya postur-postur lain yang masih bersarang di benak, sebagai simbol sesuatu yang teramat jauh di luar sana. Selain sebagai sebuah wujud kreatifitas, lebih penting lagi yaitu merupakan obsesi yang berpeluang besar menyampaikan sebuah ideologi, kritik pembaharu, dan sebagainya yang membangun.

Segala sesuatu mempunyai ritme-ritme pribadi yang membentuk filosofi atas drinya. Dan ranah itu hanya bisa ditangkap oleh daya imajinatif. Kemudian pada gilirannya, seremeh apapun wujud suatu benda akan memancar maknanya di tangan para pujangga, bahkan menjadikannya sebagai sesuatu yang nirmala. Menemukan nilai-nilai yang tersembunyi adalah suatu keniscayaan, karena wajah pertama selalu mempunyai sisi keejawantahan yang semakin menghidupkan wajah pertama sekaligus melebarkan pengaruhnya kesegala arah.

Kemudian hasil dari perenungan sensitif itu dapat pula mengalir sebagai himne-himne indah pemikat hasrat dan minat dari para pemerhatinya. Terlebih lagi dapat memancing epigon-epigon baru yang selama ini malu atau ragu atas karyanya sendiri. Karena dalam setiap karya itu mempunyai nyawa sendiri yang mengajak berdialog siapa para penyimaknya.

Boleh saja sesekali kita memanjakan diri dengan memanfaatkan keindahan sastra untuk memenuhi sisi egoisme pribadi. Tetapi hal itu hanyalah luapan emosi yang sering kali tanpa memuat makna obyektif. Maka untuk mengisi kenihilan itu tentu diperlukan ketegasan untuk sejenak meniggalkan sisi romantisme yang bersifat “musiman”, tapi pengaruhnya dapat mengganggu semua aspek.

SASTRA DI TEPI AJAL

Telah disepakati oleh sejarah bahwa sastra merupakan ruh yang selalu hidup dan menghidupkan di setiap zaman. Sastra akan selalu dibutuhkan karena ia lah yang mewarnai apapun yang ada di sekitarnya. Hanya saja sering kali ia dikubur hidup-hidup dengan lumpur panas oleh kesibukan sesaat. Kemudian ia terlupakan seolah sama sekali tak berfungsi di muka bumi ini.

Terkadang sesekali kuburan itu dibongkar oleh orang-orang yang sedang patah hati atau sedang kasmaran, yang mana sastra mereka anggap sebagai muntahan-muntahan perasaan emosi spontanitas saja. Bait-bait puisi dan syair pun mucul untuk memanjakan hati yang sebentar lagi akan melupakanya.

Ironisnya, kejumudan aroma sastra ini terjadi pula di kalangan muda, yang seharusnya mampu berpotensi lebih tinggi untuk berimajinasi atas hal-hal baru yang mereka hadapi. Lebih khusus lagi, kajian sastra terlihat mulai punah pula di “kampus hijau” kita ini. Sastra menjadi dunia lain yang sulit untuk dijamah, atau lebih tepatnya, malas untuk dijamah.

Kebanyakan dari kaum muda menganggap bahwa sastra selalu condong pada asmara (cinta antar dua sejoli). Padahal itu adalah anggapan yang bernilai nol, karena sastra adalah suatu hal yang begitu abstrak, fleksibel, dan atraktif. Ia adalah fasilitas pribadi bagi opini mereka-mereka yang sedang merasa resah terhadap apapun, serta dapat pula mewakili wajah kebahagiaan dari perasaan seseorang.

Diluar sana, sastra menjadi alternatif pilihan terkuat bagi orang–orang yang telah mendalaminya (sastrawan). Dan ajaibnya, orang-orang lain yang telah melupakan sastra justru tetap saja mengagumi karya-karya para sastrawan itu. Ini menunjukkan bukti bahwa sebenarnya setiap orang membutuhkan, bahkan memiliki bilik yang dikhususkan untuk tempat sastra bersemayam di benak mereka. Maka dapat kita rasakan kehebatan sastra serta kelihaian si-empunya dalam mengarahkan dentuman-dentuman selalu berhasil pada sasaran-sasaran yang memang seharusnya terkena.

Sastra (umumnya seni) mampu mengubah ideologi dan bahkan budaya. Sebagai contoh adalah seperti ide brilian yang digagas oleh Raden Said (sunan Kali jaga) yang menggunakan media wayang kulit dengan dongeng-dongeng fiksinya yang sarat dengan makna dakwah islam mampu menarik minat serta kepercayaan masyarakat. Begitu pula dengan syair-syair jawa yang masyhur dengan sebutan “lir ilir”, oleh Mulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) mampu memuat makna besar yang mengisyaratkan pesan panjang dan mullia. Cara yang cerdas juga dilakukan oleh Jostein Gaarder. ia meramu pelajaran filsafat dasar dalam sebuah cerita panjang mengagumkan, hingga berbentuk novel besar berjudul Sophie’s World (Dunia Sophi) yang mana terjemahannya pun laris di Indonesia.

Sastra menjunjung tinggi nilai pemaknaan. Dari sinilah kesadaran ber-ideologi akan muncul, kemudian menyusun aksi-aksi yang memenuhi seratus persen dari tujuan awal. Maka ini merupakan keberhasilan berfikir, yang notabene hanya disulut oleh letupan kecil sebuah karya, berupa apapun. Karena ia mampu mengumpulkan rangkuman kehidupan walau hanya dalam satu baris kalimat saja.

Memang, sastra dapat pula berposisi sebagai hiburan. Namun, bukan berarti hiburan yang tanpa arah. Karena sangat disayangkan jika kekuatan besar yang dimilikinya hanya diendapkan di angan-angan, hanya memfungsikannya sebagai celotehan sesaat, tanpa membentuknya sebagai buah karya yang mengesankan dan penuh makna.

Sastra memiliki kemampuan yang unik. Ia tidak terikat aturan penulisan, aturan bahasa, dan aturan waktu. Bahkan sah-sah saja jika ia tanpa beraturan, tetapi tetap dengan memegang prinsip etika. Semuanya berawal dari mimpi dan angan-angan. Kemudian dimensi alam membentuk sugesti yang menembus ketidakmungkinan menjadi sebuah harapan. Lalu keyakinan menjemput hasil konstruksi itu, menjadikannya sebuah statemen, yang kemudian diikat dengan sebuah karya. Selanjutnya, dari karya inipun bisa melahirkan mimpi-mimpi baru yang akan berproses sama sepeti induknya.

Sastra erat hubungannya dengan imajinasi. Sementara kita mengetahui bahwa imajinasi merupakan bentuk rasa yang dapat membaca fenomena alam sekitar. Itu artinya adalah menyadari atas apa yang telah terjadi di depan mata, kemudian merombaknya menjadi barisan-barisan kalimat sebagai refleksinya. Terlebih lagi, ia menggunkan kata-kata istimewa, ambigu, dan misterius yang mengundang berbagai versi pemaknaan dan tafsiran, sepertihalnya al-Qur’an, Maha karya sastra terbesar yang pernah ada.

Daya hayal tinggi memang diperlukan dalam mencipta atau membaca sebuah karya. Namun tidak berarti bahwa setiap karya selalu akrab dengan wilayah maya. Karena logika murni juga mempunyai peran penting dalam menciptakan sebuah Aufklarung bagi seluruh kosmos. Baik yang berupa idil (nyanyian kecil), Mazmur (syair memuji Tuhan), bait Saraswati, dan lain sebagainya

Berbagai macam cabang dari sasra dapat dinikmati dengan rasa yang berbeda. Ada yang berjenis puisi yang biasa dengan hentakan-hentakan di benak, syair yang identik dengan iringan nada sebagai pewarnanya, sajak yang cerdas, cerpen atau fiksi yang menawarkan alur perjalanan peran, pantun dengan kecerdikannya, dan lain sebagainya.

Saat kita masuk dalam dunia sastra, selain kita sebagai diri sendiri, kita dapat menjadi siapapun dan apapun untuk mewakili perasaan mereka. Kita bisa menjadi rakyat, presiden, gelandangan, tumbuhan, hewan, bumi, matahari, waktu, bahkan Tuhan. Itu semua tak lain adalah upaya untuk mengungkap secara bebas suara-suara yang selama ini terbungkam atau tidak didengarkan dalam versi formal.

Daya kepekaan seseorang serta potensi yang ia miliki dapat dilihat dari karyanya (berupa apapun). Sementara karya yang mempuyai nilai tertinggi di antara karya-karya lain adalah sastra. Karena ia lebih mempunyai unsur keindahan dan kenikmatan saat dikonsumsi. Sehingga siapapun menjadi sensitif saat berhadapan dengan sastra.

Sementara yang menjadi ironis adalah sikap penokohan yang berlebihan pada seorang sastrawan. Namanya lebih melejit ikenal dan diperhatikan orang, sementara karya-karyanya tak diketahui. Konteks masyarakat sangat berpengaruh dalam hal ini, yang dengan situasi mendesak atau politis dapat membentuk proses pendewaan ini.

Sabtu, Februari 06, 2010

REVISIONISME MUSDAH MULIA


Tentang islam, Musdah Mulia memiliki pemahaman yang berbeda dari kebanyakan ulama lain, terutama ulama tradisional. Bukan berarti Musdah mengingkari islam tradisional tetapi Ia cenderung menawarkan pemahaman baru yang kiranya lebih relevan, sebagai solusi dari kesan “ketidak adilan”atau “ketertindasan”, khususnya bagi kaum perempuan. Ia adalah perempuan pertama peraih gelar doctor dalam bidang polotik islam, di IAIN/UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1997).

Musdah sendiri berasal dari lingkungan kaum tradisional, yaitu di bawah naungan organisasi Nahdlatul Ulama (NU), organisasi yang lebih berpegang pada doktrin islam salafi. Hanya saja cara berpikirnya seolah melawan cara pandang tokoh-tokoh sesepuh NU dalam ber-islam. Itulah sebabnya banyak kalangan yang berani mengecam bahkan mengkafirkan Musdah Mulia, termasuk dari kalangannya sendiri.

Konsep ijtihad yang difavoritkannya membawanya pada pemikiran-pemikiran kritis yang selama ini belum berani diungkapkan oleh kaum perempuan di lingkungannya. Terlebih lagi dengan beberapa kursus singkat tentang HAM dan Civil society yang ia ikuti di Thailand, Australia, Swedia Amerika Serikat, dan Bangladesh, semakin membuatnya getol memperjuangkan kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan. Bahkan Ia pernah menerima penghargaan International Women of Courage dari Menteri Luar Negeri Condoleezza Rice di kantor kementerian luar negeri Amerika Serikat (AS), Washington, karena dianggap sukses menyuarakan, membela dan mengembalikan hak perempuan di mata agama dengan cara melakukan pembaruan hukum Islam.

Ia yakin bahwa selama ini ada substansi tersembunyi yang belum terungkap oleh ijtihad para ulama terdahulu, yang lebih mengacu pada teks, tanpa mempertimbangkan konteks. Substansi inilah yang Ia istilahkan dengan Maqashid al-Syari’ah. Menurutnya, tujuan hakiki syari’at islam adalah mewujudkan kemaslahatan manusia melalui perlindungan terhadap lima hak dasar manusia (al-Kulliyat al-Khamsah): hak hidup (hifdz al-Nafs), hak kebebasan beragama (hifdz al-Din), hak beropini dan berekspresi (hifdz al-‘Aql), hak reproduksi (hifdz al-Nasl), dan hak property (hifdz al-Maal), untuk menuju kesejahteraan lahir dan batin di dunia dan akhirat.

Musdah seakan merasa mual ketika mendengar atau membaca teks yang terlalu seenaknya merendahkan perempuan atas dasar wahyu yang belum tentu sepenuhnya dipahami. Mayoritas ulama di dunia islam, termasuk Indonesia, memposisikan perempuan sebagai subordinat laki-laki. Dia hanyalah the second human being, manusia kelas dua. Hal ini –sembarang- diyakini berdasarkan ayat-ayat yang dipahami secara tekstual. Seperti ayat-ayat yang mengatakan bahwa Hawa, yang mana sebagai perempuan pertama, tercipta dari bagian tubuh Adam, pihak laki-laki, Adam dan Hawa dilaknat jatuh ke bumi gara-garra rayuan Hawa yang terpengaruh iblis, apalagi dengan adanya hadits yang mengatakan, “peremuan itu lemah akal dan agamanya” (HR. Bukhari dari Sa’id ibn Abi Maryam), dan hadits yang mengatakan, “celakalah suatu bangsa yang mempercayakan kepemimpinannya kepada perempuan” (QS. Al-Nisa’: 34). Semuanya itu mempunya implikasi yang fatal bagi posisi perempuan. Mereka tidak diperbolehkan keluar rumah tanpa mahram, tidak boleh keluar malam, tidak perlu sekolah tingkat tinggi, dan tidak perlu aktif di masyarakat, apalagi memimpin. Bahkan dipublikasikan bahwa perempuan itu penyebar dosa, dan terbanyak sebagai penghuni neraka. Inilah yang menurut Musdah menjadi sebab munculnyya diskriminasi dan kekesan terhadap perempuan baik dalam keluarga maupun pemerintahan. Hingga muncullah istilah “konco wingking” untuk perempuan, yang hidupnya hanya radius kasur, sumur, dan dapur.

Dalam bukunya, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Musdah mengatakan,”keterbatasan hukum yang dikandung al-Qur’an dan Sunnah dinyatakan secara jelas dalam hadits Rasul yang ditujukan kepada Muadz ibn Jabal; “…Jika disuatu tempat anda menemukan persoalan maka selesaikanlah dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Sunnah. Namun jika tidak ditemukan petunjuk dalam keduanya maka gunakanlah nalarmu”. Hadits ini mengindikasikan kebutuhan ijtihad dengan sangat jelas”. Berangkat dari sinilah Musdah Mulia memulai semangatnya untuk bergerak melawan ketidakadilan. Ia merasa bahwa realitas yang terjadi adalah sama sekali bukan maksud dari pesan al-Qur’an dan Tuhan. Islam Ia yakini sebagai agama rahmatan lil’amamin. Termask rahmat kemanusiaan yang tanpa membedakan status kelamin, tetapi yang menjadi problem di hadapan Tuhan adalah prestasi dan kualitas ketaqwaannya (QS. Al-Hujurat; 13).

Fiqh adalah refleksi pemahaman islam yang digali dari al-Qur’an dan Sunnah. Karena itu tentunya fiqh bersifat fleksibel, tidak absolut (tidak qath’i). Fiqh adalah hasil ijtihad para ulama yang tentu saja sangat terkait dengan situasi sosio kultural sebatas kehidupan mereka masing-masing. Itu berarti interpretasi dan statemen hukum fiqh akan selalu berubah sesuai dengan perjalanan masa. Maka sebagai pijakan dasar, Musdah begitu menyanjung agama Tauhid (monotheisme mutlak), yang membawa kepada persatuan dan persamaan manusia sebagai makhluq Tuhan yang Esa. Pada hakikatnya seluruh makhluq termasuk manusia berasal dari ciptaan Tuhan. Maka tentunya diantara seluruh manusia itu bersaudara. Segala bentuk perbedaan ras, warna kulit, bahasa, jenis kelamin, bahkan agama memang dikehendakiNya agar manusia saling melengkapi satu sama lain, membangun masyarakat baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur. Kemudian, ajaran monotheisme ini membawa pada paham humanisme, pluralisme, dan egaliteranisme dalam kehidupan masyarakat modern. Tidak boleh lagi ada pemaksaan dalam hal apapun; dalam beragama, berkarir, dan bersosialisasi.

Berdasarkan hal di atas, dalam hal pernikahan Musdah mempunyai pendapat bahwa nikah lintas agama itu boleh asalkan tidak atas dasar motif tertentu, seperti yang diungkapkannya sebagai berikut; “saya tidak setuju terhadap perkawinan lintas agama manakala; pertama, sebagai modus operan trafiking. Kedua, sebagai alat politisasi agama. Ketiga, sebagai upaya melakukan tindakan kekerasan terhadap perempuan”.

Selain itu muncul isu bahwa Musdah juga menghalalkan pernikahan homoseksual. Menaggapi hal itu, beliau berkata ; “jujur saya katakan, saya tidak dalam posisi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu, karena saya bukan Tuhan. Saya hanya menghimbau agar melihat orang atau kelompok apapun sebagai manusia utuh yang perlu dihargai dan dipenuhi hak-haknya sebagi manusia. Soal dosa, itu urusan dia dengan Tuhan. Sebagai manusia jangan pernah menghakimi. Kita perlu belajar lebih banyak soal seksualitas agar mengerti betul tentang hakikat kemanusiaan”.

Demikian sedikit gambaran tentang gaya pemikiran seorang Musdah mulia, yang mungkin dapat menjadi inspirasi bagi Musdah-Musdah berikutnya.



Selasa, Februari 02, 2010

KEPERCAYAAN