Rabu, September 30, 2009

KASUS KUNO - IDEALISME MAHASISWA


Bayak yang beranggapan bahwa “mahasiswa” adalah suatu macam “pangkat” pelajar yang tertinggi, sehingga akibatnya orang-orang yang masih berstatus “siswa”(tanpa "Maha") dianggap lebih rendah dari pada mahasiswa, sehingga tidak mau rajin belajar lagi, seperti halnya siswa. Ini adalah kasus kuno yang masih sulit diselesaikan.

Perlu disadari bahwa jika seseorang sudah berstatus mahasiswa,maka iapun masih tetap sebagai seorang pelajar yang harus rajin belajar, sekaligus menjadi utusan masyarakat sekitarnya. Semua orang tahu hal ini, tapi yang sering diabaikan adalah mencoba melengkapi seluruh jenis kebutuhan diri dan masyarakatnya. Kebutuhan itu tidak hanya kesejahteraan dan perlindungan, tapi juga pengetahuan dan wawasan.

Sebenarnya dalam hal ini tidak ada bedanya antara siswa, mahasiswa, atau siapapun. Karena yang dibicarakan adalah perihal kemampuan untuk terus memaksimalkan penggunaan fasilitas berupa kemampuan dan kesempatan demi melengkapi kebutuhan diri dan orang-orang sekitarnya. Tanpa kemalasan, atau memanjakan diri hanya pada satu bidang saja, sementara sebagai kaum muda tentu masih mempunyai potensi tinggi di bidang apapun.

Maka arah dari tulisan ini adalah mengajak para mahasiswa agar menjadi benar-benar mahasiswa. Memenuhi kapasitas normal sebagai mahasiswa, menggunakan kemaksimalan otak kanan dan kiri. Mahasiswa yang aktif bergerak dalam organisasi, tapi juga cerdas dalam tiap pelajarannya (mengingat statusnya adalah juga pelajar).

Ada beberapa permasalahan yang sering terjadi. Diantaranya, adanya mahasiswa yang rajin belajar tapi lemah dalam pergerakan, adanya mahasiswa yang aktif dalam pergerakan tapi lemah dalam pelajarannya. Bahkan yang lebih parah, lemah kedua-duanya. Penulis menganggap hal ini bukan suatu karakter paten yang terbilang wajar. Tapi hal ini merupakan kasus yang harus diselesaikan, tidak boleh dibiarkan. Karena jika tidak, rantai pemisah antar mahasiswa itu akan tetap terus mengulur panjang. Kalimat "kita adalah satu" yang sering mereka teriakkan itu tak akan pernah terwujud.

Sungguh miris jika mendengar kabar bahwa dari 100 mahasiswa, ada 60 mahasiswa yang malas mengunjungi perpustakaan. Dan dari 100 mahaiswa, ada 70 mahasiswa yang malas mengikuti pergerakan. Seolah mereka lupa akan kebutuhannya kelak. Dalam dunia mahasiswa, hal ini bukanlah suatu kewajaran tapi merupakan suatu kesalahan yang harus secepatnya disadari dan dibenahi. Maka bagi mahasiswa baru hendaknya mewaspadai dan mengingat hal ini sejak awal. Tidak sembarang mengikuti arus, tapi selalu berfikir panjang dan matang, tanpa main-main. Karena kampus adalah tempat yang baik untuk menentukan jatidiri.

Sabtu, September 19, 2009

‘IDUL FITRI; HARI KESEDIHAN


Hari Raya ‘idul fitri sering disebut dengan “Hari Kemenangan”. Dimana semua orang islam bersuka cita . tertawa bercanda disana-sini. Dan suara petasan turut ramaikan suasana. Tentu hal itu wajar dilakukan bagi orang normal. Bertemu sanak saudara dan saling berma’afan. Senyum bahagia selalu terpasang sebagai tanda bahwa hari itu memang sungguh istimewa.

Sementara, di”pojok” keramaian itu, dalam kerahasiaan penulis merasa sedih, khawatir, dan takut yang bercampur menjadi satu. Memang, tidak lazim jika bersedih hati saat datangnya hari raya. Hal ini mirip dengan ke-tidaklazim-an kesedihan Abu Bakar RA. atas kesempurnaan agama islam. Saat itu, para sahabat bersorak gembira setelah Rasulullah SAW. berkata bahwa agama islam telah sempurna turun di bumi ini, berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Dan anehnya Abu Bakar justru bersedih hati dan terus menangis ditengah kegembiraan itu. Beliau menutup diri hingga tiga hari di rumahnya. Para sahabat lain pun menjadi heran, apa sebenarnya yang difikirkan Abu Bakar. Setelah terus didesak, beliau baru menjelaskan bahwa jika agama islam telah sempurna maka tugas Rasulullah telah selesai pula. Itu artinya, tidak lama lagi Rasulullah akan wafat meninggalkan mereka semua. Mendengar penjelasan itu, barulah para sahabat sadar dan kemudian ikut bersedih dan menangis. Maka benarlah terjadi apa yang ditakutkan Abu Bakar. Rasulullah SAW. meninggal dunia, dengan dua warisan besar, al-Qur’an dan al-Hadits.

Seperti itulah agaknya yang dirasakan penulis, saat ini. Merasa bersedih saat orang lain bergembira karena datangnya ‘idul fitri. Penulis tak menafikan bahwa hari itu memang hari kebahagiaan, karena ampunan sedang diobral dari siapa saja, untuk siapa saja. Itulah hari raya besar islam, dimana para insan kembali suci ibarat bayi yang baru lahir.

Maka bukan hal itu yang membuat penulis bersedih. Ia bersedih, karena dengan adanya hari raya ‘idul fitri, maka ia akan ditinggalkan bulan ramadlan. Itu artinya, ia akan kembali jauh dari saat-saat penuh pahala, berkah, dan pelipatan ganda kebaikan di bulan paling mulia itu. Para iblis terpasung sebagai simbol kesempatan bagi kita agar lebih bersemangat mendekatkan diri kepada Tuhan. Bulan penuh perenungan, syukur atas segala nikmat, dan kembai pada kesucian. Sementara tentu tak ada kepastian bahwa kelak akan bertemu lagi dengan buan suci itu di tahun depan, dan selamanya. Mungkin tak banyak orang yang juga turut merasakan hal ini. Penulis tak tahu, ia sedang normal atau tidak. Yang jelas, itulah sebenarnya.

Tapi kemudin, penulis melakukan aktifitas favoritnya, yaitu merenung, dan merenung. Dan akhirnya ia menemukan suatu keputusan, yang mungkin juga bisa dipakai siapa saja;

Pertama, boleh saja bergembira, bahkan berpesta di hari raya ‘idul fitri. Tapi disamping itu harus diingat pula, tidak akan bertahan lama kesucian hati insan terjaga. Semakin lama hidup, semakin banyak pula dosa yang diperbuat. Disinilah seyogyanya rasa takut itu ditumbuhkan. Dan untuk selanjutnya, sebisa mungkin mencegah kesalahan-kesalahan di masa mendatang.

Kedua, memang sudah maklum, bahwa bulan ramadlan adalah yang paling mulia. Tapi itu bukan berarti bulan-bulan yang lain kurang tepat jika dipakai untuk rajin beribadah. Balasan dari Allah tidak mungkin terpaku pada satu bulan saja. Allah Maha Bijaksana dan Maha Adil. Tidak pandang apa, siapa, dimana, dan kapan. Asal amalan dilakukan dengan ikhlash, maka tentu tak ada kerugian darinya.

Terbukalah senyum semangat penulis, menyambut bulan syawal, DzulQa’dah, DzulHijjah, dan seterusnya…..

1 Syawal 1430 H.

Selasa, September 08, 2009

PUASA; ANTARA KESIA-SIAAN DAN KEPAHAMAN

Telah kita ketahui bahwa tujuan murni (maqâshid asy-syar’iyyah) dari puasa berbeda dengan pengertian istilahnya, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab kuning. Disana dikatakan bahwa pengertian puasa adalah menahan makan, minum, marah, bersetubuh, dan segala nafsu lainnya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. (Dan penulis lebih setuju jika itu disebut metode, bukan pengertian).

Sedangkan sebagai maqâshid asy-syar’iyyah dari puasa bisa disimpulkan dengan satu kata; “Tirakat”(jawa, yang bisa diartikan dengan menjauhi enak-enakan). Tirakat ini akan bisa berlanjut ke prihatin pada saudara-saudara kita di luar sana yang susah makan, agar kita sedikit turut merasakan penderitaan itu. Kemudian, sebagai cambuk untuk diri sendiri yang selama ini telah dibudak nafsu. Karena itu puasa juga dipakai sebagai hukuman bagi suatu pelanggaran. Puasa juga sebagai ajang menggali makna hakikat hidup yang sesungguhnya, yang seharusnya jauh dari keserakahan, kesombongan, kemunafikan, dan tentunya ke-tergila-gila-an terhadap dunia. Karena dengan perut yang kenyang nafsu bisa menjadi liar, merasa berkuasa, merasa bisa hidup sendiri, bahkan lupa dengan si Pemberi makanan/rizqi. Padahal sering kita temui ayat al-Qur’an, yang artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa. (QS. 2:183)

Menangkap keabsahan puasa itu mudah. Anak SD pun mampu melakukannya. Tapi yang sangat sulit (dan yang sering dilupakan) adalah tujuan dari puasa itu sendiri. Kebanyakan orang selalu bangga atas kesuksesan puasanya. Karena mereka pikir itulah finishnya. Hingga nanti di hari Fitri (hari kemenangan) mereka juga merasa menang. Menang melawan lapar, suatu kebanggaan?? Pasti ayam pun tertawa jika mendengarnya.

Puasa tidak sekedar menunaikan kewajiban, tapi banyak nilai-nilai besar yang bisa diambil di dalamnya, yang tentunya harus diimbangi dengan sikap yang lain. Seperti dalam ayat berikut, yang artinya:

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar”. (QS. 33:35)

Maka tidakkah sangat merugi bagi orang yang sudah terlanjur kelaparan satu bulan, tapi ia tidak bisa mengambil “ganti rugi” apa-apa dari itu. Mungkin ia sudah mendapatkan pahala atas keabsahan puasanya. Tapi sekali lagi, mungkin. Karena pahala memang tidak bisa sembarangan diperoleh.

Akal kita pasti mampu merambah lebih lebar daripada lebarnya ulasan teks. Kita harus tahu apa saja yang kita lakukan. Atas dasar apa, bagaimana caranya, dan untuk apa kita lakukan. Bukan hanya perihal puasa, tapi juga pekerjaan apapun, sekecil apapun.

Saatnya merenung......

18 Ramadlan 1430 H.